Oleh Ali Ma’nawi *
Menguatnya trans-nasionalisme atau
globalisasi telah menyeret perbincangan seputar nasionalisme ke dalam
ruang yang menampakkan sikap berbeda-beda dari para pelaku sejarah
negara-bangsa. Dimana ada yang merasa geram dan sinis –fundamentalis
agama maupun politik- atas munculnya trans-nasionalisme karena
kekhawatiran akan tercerabutnya identitas mereka. Namun ada juga yang
bangga akan trans-nasionalisme (liberalis), mengingat
trans-nasionalisme telah meraih prestasi gemilang dalam menyatukan
masyarakat dunia lewat arus informasi dan tekhnologi.
Trans-nasionalisme
adalah paham yang berusaha menanggalkan sisi partikular-lokalistik
menjadi global yang pengglobalan tersebut kemudian menjadi lokalitas.
Maksudnya, suatu bangsa dengan sendirinya meleburkan diri dalam
peradaban baru sehingga peradaban yang dimiliki manusia menjadi satu.
Disini tidak ada lagi peradaban bangsa tertentu karena yang ada hanya
peradaban manusia secara tunggal, baik dalam politik, sosial, ekonomi
dan budaya.
Sementara nasionalisme sendiri merupakan pilihan
suatu bangsa untuk menentukan nasibnya secara sendiri, baik politik,
sosial, ekonomi dan budaya. Nasionalisme adalah sikap memiliki dari
bangsa tertentu atas khazanah yang ada yang terbatas pada garis
territorial. Seperti nasionalisme Indonesia berarti sikap pilihan
bangsa Indonesia atas kepemilikannya terhadap teritorial dan kekayaan
yang dimiliki. Nasionalisme lahir dari solidaritas komunitas bangsa,
seperti yang dikatakan Renan bahwa nasionalisme adalah hasil
solidaritas yang terbentuk oleh pengalaman penderita bersama yang telah
terjadi dan pengalaman itu dijadikan sebagai dasar pembentukan
komunitas hari ini dan dimasa datang. Senada dengan Renan, Antthony
Smith menegaskan bahwa bangsa adalah komunitas kultural politik yang
ada dalam gerak berayun antara pencarian identitas ke masa lalu dan
pencarian arah pada rentang sejarah ke depan.
Bertitik tolak
pada pemahaman tersebut, maka nasionalisme dalam tinjauan
trans-nasionalisme merupakan paham yang cenderung
partikularistik-lokalistik. Dan paham ini jelas berseberangan dengan
trans-nasionalisme yang berusaha meyatukan manusia tanpa tersekat oleh
territorial dan kebudayaan tertentu.
Pertanyaannya, bagaimana
sikap nasionalisme ditengah menguatnya trans-nasionalime? masih
relevankah nasionalisme? Untuk menjawab pertanyaan tersebut dibutuhkan
kajian kritis atas realitas yang dilahirkan oleh trans-nasionalisme.
Ada
banyak hal yang harus disoroti ketika mengkaji trans-nasionalisme,
diantaranya adalah politik ekonomi yang dibangun oleh paham ini.
Trans-nasionalisme sebenarnya bukanlah menyatukan masyarakat dunia
dalam mencapai peradaban yang menjungjung tinggi nilai kemanusiaan,
tetapi sebaliknya trans-nasionalisme telah menciptakan konflik baru
antara negara kuat dan lemah. Dimana trans-nasionalisme merupakan
konspirasi negara-negara kuat atas kepentingan produksi mereka.
Artinya, dalam dimensi ekonomi-politik trans-nasionalisme telah membagi
job antara negara kuat dan negara pinggiran, dalam hal ini negara kuat
menjadi penopang produksi sementara negara pinggiran menjadi penikmat
dan konsumen atas produksi negara maju, maka lahirnya budaya
konsumerisme dan terpangkaslah jiwa kreatifitas negara pinggiran.
Akibat lainnya negara kuat semakin kuat dan negara pinggiran terus
menghamba pada negara kuat. Janji kemakmuran dan percepatan pertumbuhan
ekonomi yang digagas oleh trans-nasionalisme hanya mitos yang menjadi
kepanjangan dari sistem kolonial.
Nasionalisme sebagai paham
yang lahir dari ketidakdilan harus mampu menjadi pendorong perubahan
atas arogansi trans-nasionalisme. Bukan untuk melawannya karena
trans-nasionalisme adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa terelakan,
tetapi dengan peran aktif bangsa-bangsa atas gejala tidak manusiawi
yang dilahirkan trans-nasionalisme, dengan cara tetap memperkuat
demokrasi, keadilan dan mitos nasionalisme. Berkaitan dengan
nasionalisme Coleman mengatakan relevansi nasionalisme dapat ditegakan
dengan menegakkan legitimasi negara-bangsa modern yaitu; demokrasi,
keadilan dan mitos nasionalisme. Untuk itu, nasionalisme tetap relevan
dan selamanya akan relevan.
Jadi, nasionalisme yang kita pahami
sekarang adalah sikap kebangsaan yang didorong untuk menjaga keadilan
dan kemakmuran masyarakat dunia. Dan untuk menuju kearah tersebut
nasionalisme harus dijelmakan dalam diri bangsa Indonesia dengan
meletakkan keadilan, kebebasan dan persamaan sebagai ruh.
Miliran, Yogyakarta
Penulis adalah senior LSO Jurnalistik Ikatan Sillaturrahim Alumni Buntet Pesantern Cirebon (INSAN BPC)
Posting Komentar