Oleh: Agus Iswanto*
Udin terus berlari menyusuri gang-gang
sempit di perkampungan yang kumuh Tampak wajah dan tubuhnya penuh
dengan peluh, rasa takut terlihat dari sorot mata dan raut wajahnya.
Nafasnya tersengal-sengal seperti dikejar setan yang menyeramkan dan
akan menerkamnya. Udin berhenti sesaat. Matanya mengawasi ke ujung
jalan bak kucing memburu mangsanya, badan berputar ke belakang, rasa
tenang pun terlihat pada dirinya. Kemudian duduk bersandar pada tiang
listrik, wajahnya tertunduk, nafasnya masih memburu, ia tutup wajahnya
dengan telapak tangan seraya menghela nafas Begitulah bagian sisi kehidupan Udin, hampir setiap malam harus bertaruh dengan maut hanya untuk menyambung hidupnya.
Malam
ini mungkin tuhan masih memberi kesempatan padanya untuk kembali
kejalannya. Malam ini dia boleh bersenang dan lega hati, karena masih
dapat menghirup udara bebas tanpa harus menghabiskan hidupnya di balik
terali besi menunggu sang hakim memukulkan palunya untuk hukumannya,
tapi bisakah itu terus berlanjut ?, bisakah ia terus melepaskan diri
dari kejaran kesalahan yang selalu menghantuinya, mampukah ia lepas dan
bebas dari bayang-bayang kesalahan yang membuntutinya, hatinya tak
dapat berbohong dan akan selalu menjadi saksi akan kebenaran yang
sebenarnya. Lalu adakah kebenaran yang tidak sebenarnya?.
Dua
hari yang lalu, Ucok seorang teman asal pelabuhan Tanjung Balai Medan
tewas tertembak sewaktu melawan petugas yang akan menyergapnya. Tak
ayal lagi ibunya yang mengharap anak satu-satunya itu sebagai tumpuan
harus tiada. Hari sebelumnya, Asep temannya juga mendekam di sel
tahanan setelah timah panas menembus kakinya. Baru berselang satu hari.
Gembong besar kriminal kota itu tertangkap tanpa perlawanan di
sarangnnya. Udin meringis mengingat kejadian itu semua. Kini ia harus
mempertahankan nasibnya yang tak menentu itu bagai telur diujung
tanduk. Wajah pucat pasi, lemas tiada berdaya seakan pasrah menunggu
nasib yang akan ia terima. Tubuhnya pun lemas tiada daya lagi untuk
tegakkan kaki untuk menapak hari-hari depan yang entah baginya suram
ataupun terang. Kini ia hanya menghitung nasib dan pengharapan.
“Dunia ini bohong”
“Dunia ini penipu”
“Hanya manusia bodoh yang mau tertipu”
“Untuk tidak tertipu, kau harus menipu lebih dulu !”
“Aku kasihan pada emak, abah, juga adikku”
“Ha…ha…ha”
“Omong kosong”
“Emak dan bapakmu sudah di dalam tanah”
“Adikku ?”
“Tahu apa dia ?”
“Sudahlah aku tak mau berdebat dengan uwa”
“Tapi ingat nasibmu tidak akan berubah jika kau hanya berlagak suci”
“Dunia
ini bukan hanya kampung, rumah, emak, bapak , adik, makan, sawah, atau
tetek bengek lainnya, tapi dunia ini lebih luas, lebih ganas, lebih
kejam dari yang kau bayangkan. Bagaimana bisa kau membahagiakan adikmu
kalau dirimu saja masih kere”
Udin terdiam membisu.
“Sudahlah
aku masih banyak urusan, pikirkan baik-baik, untuk beberapa hari ini
kau boleh tinggal disini, tapi ingat, tidak untuk selamanya”.
Udin
menghela nafas dalam-dalam, mukanya terlihat kusut, terlihat keraguan
dan keputusasaan yang menghantui jiwa. Hatinya hanya bertanya-tanya.
Dia ambil tas ransel bututnya pemberian ayahnya sepuluh tahun yang
lalu. Ia keluarkan sebagian isi tas kedalam lemari kayu yang sudah agak
rapuh. Hatinya menangis dalam kebisuan. Terbayang senyum ibu, bapak dan
adiknya yang selalu mengharapkannya. Seakan hidup dalam lautan duri
yang terus menyiksanya, perih, pedih dan sembilu menyayat hati. Udin
duduk menghadap kesebuah meja, tangannya menyambar kertas yang bercecer
diatas tumpukan buku-buku yang usang, ia tulis surat untuk adiknya.
*****
Udin
adalah yatim piatu yang dilahirkan di sebuah kota pinggiran kota besar.
Ia putuskan untuk keluar dari pesantren setelah tiga tahun mondok
karena tak mampu lagi membiayai sekolahnya. Kedua orang tuanya
memasukannya ke sebuah pesantren kecil di kotanya walaupun dengan
kekurangan dan susah payah yang tetap ingin anaknya menjadi anak yang
mempunyai derajat dan mampu menagangkat derajat keluargnya,. Udin
sebagai seorang anak laki-laki merasa bertanggung jawab pada adiknya
yang masih duduk di kelas enam SD. Udin memilih keluar dari
pesantrennya karena dia bertekad untuk mencukupi dan membiayai sekolah
adaiknya.
Udin pun pergi ke kota metropolitan. Ia bermaksud
mencari pamannya yang kabarnya sudah sukses hidup di jakarta. Pamannya
yang diketahui oleh orang-orang desa sudah berhasil dan mapan hidup di
kota. Ketika pamannya kembali ke kampung, dengan penampilan yang
berbeda, mobil yang mewah dengan pakaian necis dan serba wah membuat
orang-orang udik tercengang, Lesmana itu nama paman Udin. Lesmana yang
dulu sebagai pemuda pengangguran, kini kembali dengan gaya hidup yang
mewah. Tapi memang kota, bisa membuat orang berubah sembilan puluh
bahkan seratus derajat dari kehidupannya. Apakah ini bukti sabda rasul,
bahwa pada suatu zaman nanti, orang-orang mencari penghidupan dengan
dosa dan maksiat ?.
Lesmana seorang gembong narkoba yang punya
nama di beberapa kota besar, Jakarta, Surabaya, Semarang, dan Medan,
dan ia adalah buronan aparat yang menjadi target utama. Dia tertembak
mati, ketika mencoba melarikan dari kejaran aparat di sebuah markasnya.
Udin
yang tergoda dengan gemerlap kehidupan dunia. Akhirnya terperosok ke
jurang kenistaan, ia terkurung dalam lingkaran setan, tak ada jalan
keluar baginya untuk melepeskan dari ikatan itu, mati adalah
taruhannya. Adakah hati nuraninya menolak dan jujur akan kenistaan yang
ia jalani ?, mungkin ya mungkin juga tidak. “Tuhan haruskah aku terus
lakukan dan memilih jalan ini,” hatinya bergetar sembilu yang
senantiasa bertarung dengan nafsunya yang terus menang dalam
pertarungan.
Azan subuh mengalun dan meraung memanggil anak manusia
untuk bangun dari tidur lelapnya, bangun dari keterlelapannya, bangun
dari selimutnya. Adakah manusia sadar dengan mimpinya, adakah manusia
sadar akan jalan gelap yang mereka pilih.
Udin masuk kedalam
rumahnya, ia lihat adiknya, Ratih, masih tertidur pulas. Ada keharuan
yang mendalam. Sorot matanya nanar dan berkaca-kaca. “Tuhan adakah
seberkas sinarmu yang memberikan cahaya terang pada kami,” hatinya
bertanya.
Ia langsung bergegas berwudhu seraya kemudian menghadap
sang ilahi, mengadu dan bertanya tentang nasibnya, nasibkah yang ia
jalani. “Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum sehingga kaum itu
merubahnya.”
Dengan khusyu dia lakukan sholat. Ada kepasrahan
yang terpancar dari wajahnya. dengan takbir mengangkat kedua tangan
pasrah menghadapnya, diiringi dengan ruku’ dan sujud adalah pertanda
kelemahan manusia yang senantiasa harus tunduk dengan sang khaliqnya,
lalu tahiyyat sebagai pengakuan akan kesetiaan seorang hamba yang akan
selalu mengabdi ikhlas untuk tuannya. Diakhiri dengan salam adalah
makna jika semua hal itu telah terlaksana maka manusia akan bahagia
menjalani hidup di dunia dan menuju dunia di balik dunia, akhirat.
Sesudah
sholat, Udin tetap duduk bersimpuh dalam kesahajaan, merenungi atas
semua perbuatan yang dilakukannya dan hari-hari yang dilaluinya.
“Iringilah perbuatan yang buruk itu dengan perbuatan yang baik”,
terlintas kata-kata itu dalam diri Udin. “Terlambatkah aku jika
mengharapkan kasih sayangmu”, hatinya lirih bertanya. Terlintas
bayangan masa kanak-kanaknya bersama ibunya yang penuh kebahagiaan
tanpa beban, polos dan jujur walaupun dengan keadaan hidup yang serba
kekurangan.
“Adakah kebahagian yang sejati di dunia ini, adakah ini
kebahagiaan dan kebaikan untuk ku yang engkau berikan, inikah
keadilanmu, aku tak mengharapkan itu semua, tapi tolong berikanlah
kasih sayang dan ampunanmu pada hambamu yang berlumur dengan noda dan
dosa”, kembali hatinya bertanya seraya lirih merintih mengadu bagaikan
sang anak yang merengek dan meminta pada sang ibu.
Fajar pagi
menjemput malam, mentari pagi perlahan merambat memasuki kehidupan
manusia. Datanglah siang sebagai ladang pencaharian nafkah dunia
setelah malam sebagai hamparan permadani sujud padaNya berlalu. Udin
masih diatas sajadah, matanya tertutup dengan kepala tertunduk,
nafasnya turun naik, terlelap dalam mimpi-mimpinya menggapai mahligai
kebahagiaan.
“Ang Din sudah pagi, bangun !”
“Ratih berangkat dulu”
“Kemarin siang ada surat dari kampung, nenek kangen”
“Kita juga disuruh ziarah ke makam emak dan bapak”
“Lebaran sekarang kita pulang kan ?”
Ratih pun meninggalkan Udin yang masih membaca surat dengan kening yang mengerenyit.
“Hati-hati Ratih !”
Ratih masih terus berjalan seraya membalikan mukanya ke arah Udin yang melambaikannya dari jendela kamar.*
Jogjakarta Maret 2004
Posting Komentar