Zulfa Rafik Ikandar
Oleh: Zulfa Rafik Ikandar


Ada
yang menarik dari berita minggu pertama bulan ini dimana Presiden dikabarkan memarahi
bupati yang tengah tertidur saat Presiden pidato. Kejadian itu sungguh
memalukan, karena esoknya berita dari Forum Konsolidasi Pimpinan Daerah di
Gedung Lemhanas itu ramai tersebar di media massa.
Padahal pada pertemuan itu tengah dibicarakan presiden bagaimana mengubah gaya
hidup masyarakat yang boros dalam penggunaan energi.



Akibat gaya
hidup bangsa ini yang sangat boros, ditambah krisis energi yang tak
berkesudahan, benar-benar tengah mengombang-ambingkan perekonomian Indonesia.
Karena kehidupan harus berlanjut, pemerintah menyuntik dana untuk subsidi
bidang energi mencapai Rp187,1 triliun atau setara 79,8% dari beban subsidi di
APBNP yang mencapai Rp 234,4 triliun.



Perhitungan tersebut mengakibatkan
subsidi untuk bahan bakar minyak (BBM) mencapai Rp126,8 triliun, sedangkan
subsidi listrik Rp60,2 triliun. Subsidi untuk sektor nonenergi dianggarkan
hanya sebesar Rp47,2 (SINDO, 14/4). Meskipun ada satu bupati tidur tapi
setidaknya banyak bupati dan walikota lainnya ikut mendengarkan kehawatiran
sang Presiden.



Boros

Seorang ahli mengatakan (Thomas
Robert Malthus), Indonesia
bisa terjadi kemungkinan kiamat energi jika bila penyediaan minyak bumi Indonesia
tak mampu mengikuti laju pertumbuhan pemakaian yang tak terkendali.

Ada
tiga sektor yang mengakibatkan boros energi. pertama, kepemilikan kendaraan pribadi.
Permintaan untuk produk ini terus menanjak. Misalnya pada 2007 saja para
produsen mobil mampu menjual 434.437 unit mobil. Jumlah tersebut meningkat 36,2
% dibanding 2006, saat mobil terjual sebanyak 318.904 unit. Untuk sepeda motor
kita bisa melihat pada tahun lalu ada 4.688.263 motor terjual, naik 5,89% dari
penjualan tahun 2006 yang mencapai 4.427.342 unit motor.

Kedua, pemakaian daya listrik
yang berlebihan. Kita bisa melihat bagaimana konsumtifnya bangsa ini dalam hal
penggunaan energi listrik. Kepemilikan alat elektronik dalam satu keluarga
sering kali berlebihan. Faktor ketiga, manajemen transportasi yang buruk. Tiada
hari tanpa macet, tiada hari tampa
pemborosan. Menurut perhitungan Bappenas, pemborosan bahan bakar minyak rata-rata
untuk mobil yang terjebak kemacetan sebesar 1,75 liter dan 0,35 liter per hari
untuk sepeda motor.

Lain lagi perhitungan Study on
Integrated Transportation Master Plan for Jabodetabek (Sitramp 2004). Ada
nilai kerugian sebesar Rp. 8,3 triliun akibat kemacetan lalulintas di DKI Jakarta.
 Angka tersebut mencakup biaya
operasional, waktu, dan kesehatan. Belum lagi jika dihitung kerugian seluruh Indonesia.


Konversi

Minyak bumi di satu sisi sebagai rahmat
sekaligus "malapetaka" kolektif. Wacana saat ini yang paling sering
digembor-gemborkan adalah diversifikasi energi atau umum kita kenal sebagai
konversi. Program ini jelas harus didukung.

Dalam program konversi ini,
pemerintah cenderung dinilai banyak kalangan kurang efektif dalam penangannya.
Padahal kesalahan dalam penanganan yang dilakukan pemerintah harusnya jangan
jadi alasan bagi masyarakat untuk menilai secara parsial program ini sebagai
suatu kesalahan. Kita tidak mau ekonomi Indonesia
berakhir kolaps akibat kesalahan rakyat dalam memahami maksud konversi energi
yang dilakukan pemerintah.

Konversi bahan bakar minyak dalam
bentuk gas elpiji merupakan wacana yang ideal karena Indonesia
salah satu produsen gas bumi dunia. Selama ini, gas bumi lebih banyak diekspor
dengan harga murah. Karenanya langkah pemerintah untuk mengalihkan minyak ke
gas elpiji adalah tepat.

Meski di lapangan dijumpai banyak
kekeliruan sehingga membuat kepanikan sesaat, ini tidak lain karena niat baik
pemerintah belum ditopang kinerja aparat di lapangan dalam mengamankan pasokan.
Adanya ketimpangan suplai dan permintaan tentu menyengsarakan rakyat. Namun
pelan tapi pasti, upaya tersebut harus terus dijalankan.

Peraturan Presiden No 5/2006 tentang
Rencana diversifikasi energi harus konsisten diwujudkan. Pada 2025 Indonesia
hanya akan mengonsumsi minyak bumi sebesar 40% dari jumlah konsumsi 2006. Pemakaian
energi akan dialihkan ke gas alam, batu bara, dan sumber energi terbarukan.

Langkah singkat yang harus
disegerakan adalah bagaimana agar subsidi kendaraan pribadi dihilangkan
kemudian dialihkan kepada moda transportasi masyarakat yang lebih luas.
Sehingga diaharapkan masyrakat akan berpindah ke moda transportasi massal.

Bangsa ini memang terlalu
dimanjakan oleh pemerintah. Subsidi minyak dan listrik begitu menyerap APBN
yang sangat besar itu membuat harga energi menjadi murah. Namun dampaknya di
saat energi menghadapi masalah, kerugian negara yang kini mendera bangsa ini.
Mungkin langkah tepat bagi pemerintah adalah memberikan pajak yang sangat besar
untuk barang-barang konsumsi yang boros energi. Atau dengan cara pemerintah mengembangkan
transportasi massal. Kalau sudah banyak pengguna transportasi massal, maka
lebih baik mengantuk di kendaraan umum ketimbang di depan presiden. (dari
berbagai sumber).

*Penulis adalah alumni Buntet Pesantren, manager sebuah perusahaan konsultan perminyakan.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama