Oleh Nurul H. Maarif

UrulIni
kisah persahabatan dua bocah cilik. Nilna (perempuan, 16 bulan) dengan
tetangga ciliknya Christopher (lelaki, 2 tahun). Keduanya dari keluarga
dengan latar belakang agama berbeda. Nilna dari keluarga muslim dan
Christopher dari keluarga Kristen. Itu nyata tersirat dari pilihan nama
bagi keduanya.


Namun, bukan soal pilihan nama ini yang menarik
diperbincangkan. Menurut sebagian orang, apa sih arti sebuah nama? Di
samping itu, toh keduanya juga belum tahu apa itu 'nama islami' dan apa
itu 'nama kristiani'. Apalagi untuk memilih sebuah agama dengan
kesadaran, tak pernah terpikirkan oleh anak sebelia itu. Orang
tuanyalah yang nantinya memilihkan (tepatnya 'memaksakan') agama mana
yang musti mereka anut.

Lebih dari itu, imanpun belum mereka
miliki, kecuali iman primordial yang dibawa sejak dari rahim bundanya.
Iman hasil perjanjian suci antara calon jabang bayi dengan Tuhannya.
Itupun, untuk anak seumuran mereka, belum mewujud sebagai identitas.
Namun justru lantaran ketidakmengertian mereka tentang agama dan iman
itulah, persahabatan mereka menjadi alami dan unik -- setidaknya
menurut saya sendiri.

Suatu ketika, bunda Si Nilna (saya
menggunakan Si untuk menunjukkan kebeliaannya) memembelikan sepotong
roti untuknya. Tak dinyana, roti itu dibelahnya menjadi dua bagian.
Sebagian dimakan sendiri dan sebagian diulurkan buat Si Christopher,
yang keluarganya Kristen dari Batak itu. Kendati tanpa perbincangan
sedikitpun, karena keduanya belum bisa bercakap, toh keakraban diantara
mereka tetap tampak nyata.

Kisah persahabatan dua bocah cilik
ini memberikan beberapa pelajaran penting. Pertama, persahabatan memang
tidak musti dinyatakan melalui ucapan. Yang jauh lebih penting adalah
tindakan nyata. Berbagi, sebagai simbol persahabatan yang ditunjukkan
Si Nilna misalnya, tak perlu dimediasi oleh ucapan apapun. Apalagi
perlu sorotan dan publikasi berbagai media massa. Cukup dengan tindakan
nyata. Tangan kanan memberi, tangan kiri pun tak perlu mengetahuinya.
Itulah sejatinya inti dari ajaran agama; tindakan. Karenanya, agama tak
bermakna apa-apa jika hanya dikhutbahkan melulu di bibir, tanpa ada
tindakan nyata untuk kemanusiaan. Jika hanya di mulut, agama menjadi
kecil dan kerdil.

Kedua, persahatan tidak seharusnya disekat
oleh perbedaan, baik perbedaan suku, agama, ras, dan sejenisnya.
Persahabatan itu universal. Karenanya, jika ada kelompok tertentu
memilih-milih dan memilah-milah sahabat, seorang muslim hanya memilih
dan memilah kawan dari muslim lainnya, yang Kristen pun demikian, maka
substansi persahabatan menjadi hilang. Bahkan nyaris tak ada gunanya.

Ketiga,
persahabatan dua bocah cilik itu mengisyaratkan bahwa konflik antar
agama atau antar iman, itu tidak pernah (setidaknya jarang) terjadi di
tingkat bawah. Bahkan, ketika Si Nilna dan banyak anak-anak muslim di
lingkungannya sakit, (sebut saja) Bidan Manurung yang Kristen Batak
menjadi rujukan penyembuhan. Ini soal kepercayaan, bukan keterpaksaan,
karena masih banyak dokter muslim di sana. Tapi bahwa kerja medis bidan
ini lebih cocok bagi pasien, itu tidak bisa dipungkiri. Sekat
keimananpun menjadi lebur, karena kesalingpercayaan.

Yang tak
kalah penting, yang membuat pasien muslim kerasan, adalah keramahan dan
ketelatenan Nenek (ia menyebut dirinya) menjawab keluhan pasien yang
tak direka-reka. Dan, tak ada satu pasien muslimpun yang menyoal latar
belakang imannya. Mereka datang untuk mengobati fisik yang luka, bukan
mengobati iman yang koyak. Mereka datang bertanya resep kesehatan,
bukan bertanya akidah. Kesehatan adalah kesehatan dan akidah adalah
akidah. Keduanya terpisah jelas. Soal akidah misalnya, lakum dinukum wa
liya din. Ternyata orang di bawah 'lebih paham' pemisahan ini.

Jika
nyatanya di bawah no problem, jangan-jangan benar belaka dugaan bahwa
wacana konflik antar agama atau antar iman itu sejatinya melulu problem
elit: 'masalah orang pinter' atau 'yang dipermasalahkan orang pinter'.
Saking pinternya, termasuk yang bukan masalahpun dipermasalahkan.
Kalaupun ada masyarakat bawah yang turut meributkannya, saya yakin
sekali itu lantaran pengaruh atau bahkan hasil komporan 'orang pinter'
itu.

Keempat, persahabatan dua bocah cilik itu -- secara tidak
langsung -- juga bisa dimaknai sebagai kritik bagi para penggiat dialog
antar agama. Jujur saja, tingkat keberhasilan dialog jenis ini --
termasuk melalui munculnya Trilogi Umat Beragama oleh Menteri Agama
Alamsyah Ratu Prawiranegara -- masih perlu uji lebih jauh. Apalagi
dialog ini lumrahnya hanya melibatkan orang dewasa yang telah memiliki
'prasangka laten' pada 'yang lain'.

Sebaiknya, dialog itu lebih
dicurahkan untuk anak-anak kecil yang belum memiliki paradigma apapun
tentang 'yang lain'. Anak-anak yang bersih ini perlu dibekali
perjumpaan dan perkenalan dengan umat agama lain. Biarkan pengalaman
lapangan yang berbicara dan menjadi guru mereka, bukan dialog wacana
yang acap hanya ada di kepala. Dengan 'toleransi lapangan' sejak dini
itu, 'prasangka laten' yang menjadi faktor utama konflik antar agama
sangat mungkin dikikis. Tentu saja, setelah itu tetap penting diinjeksi
wacana-wacana yang damai dan toleran.

Dengan ujaran lain,
janganlah dialog antar agama digelar dengan mengabaikan keluarga dan
anak-anak. Toleransi dan keterbukaan yang sesungguhnya, hanya akan
terwujud jika sedari dini keluarga dan anak-anak telah merasakan arti
sesungguhnya toleransi dan keterbukaan itu. Untuk itu, toleransi dan
keterbukaan harus diberangkatkan dari rumah. Dan, tentu saja, ini butuh
kerja keras dengan durasi waktu panjang. Tujuan mulia memang butuh
kesungguhan! Wa Allah a'lam.[]

(Radar Banten, Kamis, 17 Januari 2008)

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama