Oleh: Prof Dr Hadi S Alikodra
Sebetulnya sudah lama para pemerhati kehutanan
mengetahui bahwa kerusakan hutan di Kalimantan, antara lain, dipicu
pencurian kayu yang dicukongi ”oknumoknum pengusaha” di Malaysia.
Meski demikian, selama bertahun-tahun, aparat
keamanan sulit sekali menangkap para pencuri kayu dari Malaysia. Di
pihak lain, Pemda Kalimantan–– khususnya Kalbar dan Kaltim yang paling
berdekatan dengan Malaysia— tampaknya kurang ”antusias” memberantas
para pembalak liar yang menguras kayu di wilayah mereka.
Akibat
pembalakan liar itu,sejumlah taman nasional di Kalimantan Barat dan
Kalimantan Timur (Taman Nasional Meratus,Tanjung Puting, Gunung Palung,
Danau Sentarum, Betung Kerihun,dan Kayan Mentarang) kini mengalami
kerusakan. Hutan-hutan perawan di sejumlah taman nasional banyak yang
rusak. Rusaknya taman nasional ini tidak saja merugikan Indonesia,tapi
juga merugikan dunia ilmu pengetahuan secara keseluruhan. Soalnya taman
nasional di Kalimantan bisa dikatakan sebagai laboratorium alam
terlengkap di dunia.
Maklumlah, hutanhutan di
Kalimantan adalah hutan tropis basah yang menyimpan khazanah ilmu
pengetahuan amat kaya,khususnya mengenai kehidupan tumbuhan dan hewan,
termasuk mikroorganisme, yang jumlah dan variasinya amatamat banyak.
Pusat Bertindak
Setelah
banjir sering melanda wilayah Kalimantan,belakangan perhatian Jakarta
terhadap kerusakan hutan di Kalimantan tersebut makin besar.
Wakil
Presiden Jusuf Kalla sempat kesal terhadap maraknya pembalakan liar di
Kalimantan. Bahkan belum lama ini, Kapolri Jenderal Polisi Sutanto dan
Menteri Kehutanan (Menhut) MS Kaban meninjau langsung lokasi
penangkapan 21 kapal pembawa kayu ilegal di kawasan Ketapang,
Kalimantan Barat, pekan pertama April lalu.
Yang
membuat masyarakat terkejut, ada dugaan kasus penangkapan ini
melibatkan petinggi kepolisian daerah Kalbar.Bahkan,pencurian kayu itu
diduga melibatkan jaringan mafia yang menyusup hampir di semua lini
pemda setempat. Seperti diketahui, puluhan kapal yang ditangkap
tersebut mengangkut 12.000 meter kubik (m3) kayu curian. Dalam kasus
ini, negara berpotensi merugi hingga Rp280 miliar. Semua kayu
rencananya dikirim ke Serawak, Malaysia.Polisi juga sudah menutup enam
lokasi pengolahan kayu.
Di sana ditemukan
tumpukan kayu olahan. Kapolri berharap penangkapan ini menjadi tonggak
untuk memberangus pencurian kayu dari hutan Indonesia. ”Siapa yang
bersalah harus ditindak. Tapi kita juga tak mau berpegang pada opini
saja.Kita sedang mengumpulkan bukti-bukti,” kata Kapolri. Senada dengan
Kapolri,MS Kaban juga berpendapat kasus ini harus ditindaklanjuti
terus.
”Ini kasusnya besar, dan kita ingin
memberangus sampai akar-akarnya. Karena itu kasus ini dibawa ke
Jakarta.Diadili di Jakarta supaya bebas intervensi,” kata Menhut.Selain
semua barang bukti di atas, polisi juga mencokok tiga tersangka
masing-masing Aweng,Fredi, dan Darwis.Polisi juga meringkus Wijaya yang
diduga sebagai pemilik satu dari 21 kapal yang ditangkap.Bayangkan
ini,baru satu kasus.
Padahal,kata mantan Sekjen
Dephut Soeripto, kasus pencurian itu sudah berlangsung puluhan tahun.
Negara telah dirugikan minimal 10 triliun akibat pencurian kayu dalam
10 tahun terakhir ini. Menhut tampak geram dengan pencurian kayu
tersebut. Sebab, sudah lama para pencuri kayu itu lalu lalang di
perbatasan Kalimantan- Serawak. Namun, aparat setempat tampaknya
mandul.
Kepolisian dan pengadilan setempat
sering tidak berdaya menghadapi para pembalak liar tersebut. Inilah
tampaknya yang membuat kesal Jakarta hingga akhirnya Menhut dan Kapolri
perlu melakukan tindakan shock therapy (terapi kejut).
Malaysia, Pengekspor Kayu?
Ada
keanehan dalam data perdagangan kayu dunia saat ini. Malaysia tercatat
sebagai negara pengekspor utama kayu tropis dunia. Negeri serumpun yang
mempunyai hutan produksi 11,8 juta hektare tersebut tercatat mampu
mengekspor kayu yang sangat besar ke Uni Eropa: yaitu 5 juta m3 kayu
bulat dan 3 juta m3 kayu gergajian tiap tahun.
Di
samping itu,Malaysia juga mengekspor kayu tropis ke China sebesar 4,5
juta m3 per tahun. Prestasi Malaysia sebagai pengekspor kayu tropis
yang amat besar itu memang patut dipertanyakan. Lebih heran lagi,
belakangan China juga tumbuh menjadi pengekspor kayu tropis ke
Eropa,Amerika,dan Jepang. Pertanyaannya,dari mana kayu tropis China
itu?
Greenomics, sebuah lembaga kajian
kehutanan independen di Jakarta, dalam pernyataannya 22 Desember tahun
lalu sangat menyayangkan, kenapa AS, Eropa, dan Jepang percaya saja
bahwa kayu tropis dari China itu memenuhi standar internasional, dalam
arti kayu tersebut diperoleh dari hutan produksi lestari.Padahal,
jelas-jelas kedua negeri itu tidak mempunyai hutan tropis yang luas
yang mampu menghasilkan produk kayu tropis sebanyak itu.
Amerika,misalnya,mengimpor
kayu tropis dari China dan Malaysia sebesar USD23,3 miliar per tahun,
Uni Eropa USD13,2 miliar per tahun, dan Jepang USD11,8 miliar per
tahun.Dari mana kayu tropis yang diekspor Malaysia dan China tersebut?
Mereka—Eropa,AS,dan Jepang— mestinya tahu bahwa kayu-kayu tersebut
tidak mungkin sepenuhnya berasal dari kedua negara tadi.
Melihat
maraknya pencurian kayu dari Indonesia, mereka seharusnya curiga,dari
mana kayu-kayu tropis itu.Tapi nyatanya, mereka diam seribu bahasa.
Itulah sebabnya,Greenomics menuduh negara-negara maju bersikap
munafik.Di satu sisi lantang mengkritisi kerusakan hutan tropis di
Indonesia, di sisi lain mereka sebagai penadah kayu curian asal
Indonesia.
Karena itu, dalam hal kerusakan
hutan tropis Indonesia,negara maju sebetulnya punya kontribusi.
Berdasarkan kajian akhir tahun Greenomics Indonesia, data perdagangan
kayu dunia itu aneh. Soalnya, Malaysia juga menyatakan Indonesia
sebagai salah satu pemasok kayu bulat ke negerinya.Padahal sejak 1985,
Indonesia telah melarang ekspor kayu bulat untuk mengembangkan industri
hilir domestik.
Kajian Greenomics itu diperoleh
dari hasil analisis laporan tahunan produk-produk kayu tropis di pasar
dunia tahun 2004–2007 yang dikeluarkan Komisi Ekonomi PBB untuk Eropa
bersama FAO.Selama empat tahun itu,tercatat Malaysia mengekspor kayu
bulat sebanyak 20 juta m3 dan kayu gergajian 12 juta m3 ke pasar Eropa.
Dari mana kayu-kayu itu?
Fakta Ironis
Menurut
Greenomics, jika sistem tebang lestari diberlakukan di Malaysia seperti
klaim negara itu di berbagai konferensi lingkungan hidup internasional,
termasuk di Bali belum lama ini, maka Malaysia hanya dapat mengekspor
3,6 juta m3 kayu bulat per tahun.
Yang jadi
soal,Malaysia mengaku bahwa produksi kayunya mencapai 35–40 juta m3 per
tahun. Di pihak lain, Indonesia yang memiliki 38,8 juta hektare hutan
produktif menghasilkan 12 juta ton kayu bulat per tahun secara lestari
(60 juta m3 dalam lima tahun). Jumlah tersebut masih melebihi kebutuhan
industri kayu nasional yang mencapai 40–45 juta m3 dalam lima tahun
(2002–2007). Informasi bahwa Malaysia sebagai penadah kayu curian
sebetulnya sudah lama didengar pemerintah Indonesia.
Menteri
kehutanan zaman Presiden Megawati Soekarnoputri, Mohamad Prakosa,
misalnya, sudah menuduh secara terang-terangan bahwa Malaysia harus
menghentikan kerja sama pencurian kayu dengan para mafia kayu
Indonesia. Akan tetapi, peringatan Indonesia itu tidak
digubris.Malaysia tetap menganggap bahwa kayu yang dibeli dengan harga
murah dari Kalimantan itu legal.
Padahal,selama
ini sudah jadi rahasia umum bahwa penebangan liar besarbesaran di
Kaltim dan Kalbar,cukong dan penadahnya adalah para pengusaha kayu
Malaysia.Para pengusaha Malaysia juga ikut menyebarkan pengaruh buruk
terhadap aparat keamanan dan pengadilan di Kalimantan.
Mereka
siap melakukan apa saja–– seperti mafia Sisilia–– untuk mendapatkan
kayu Kalimantan tersebut. Itulah sebabnya, Dr Ir Mustoha Iskandar––yang
pernah menjadi Direktur di Inhutani III–– menyatakan serakahnya
pembalakan liar di Indonesia sudah masuk kategori luar biasa. Karena
sudah masuk kategori itu, seharusnya pemerintah juga mengeluarkan
kebijakan yang luar biasa untuk mengatasi pencurian kayu tersebut.
Bila
perlu,pelakunya dihukum mati atau paling seumur hidup tanpa pandang
bulu.Pasalnya,pembalakan liar tersebut bukan hanya merupakan tragedi
ekonomi, melainkan juga ekosistem dan masa depan bumi. Pemerintah
Indonesia juga harus melindungi hutan tropis Kalimantan secara
ekstraketat.Pada titik-titik tertentu yang biasa dipakai untuk
menyelundupkan kayu ke luar negeri misalnya, dijaga superketat melalui
semua angkatan.
Sementara itu,para pelakunya bisa
dikategorikan sebagai teroris sehingga bisa dihukum amat berat,bahkan
hukuman mati.Pendeknya, para pelaku pembalakan liar harus diberantas
sampai akar-akarnya sehingga bisa menimbulkan efek jera. Persoalannya,
siapkah aparat keamanan dan penegakan hukum melakukan semua itu.
Sebagai
negeri yang pernah menjadi tuan rumah konferensi lingkungan
internasional di Bali belum lama ini, pemerintah memang mempunyai
tanggung jawab moral terhadap kelanjutan programprogram penyelamatan
bumi yang dihasilkan konferensi itu. Itulah tanggung jawab moral bangsa
Indonesia terhadap penyelamatan bumi. Jika pemerintah mampu mengemban
amanah konferensi Bali dengan baik,niscaya kepercayaan internasional
kepada Indonesia bakal me-ningkat.
Itu
artinya,kredibilitas Indonesia dalam bidang lain pun akan meningkat
pula, termasuk ekonomi. Imbasnya, negara kaya pun akan banyak membantu
pemulihan ekonomi Indonesia. Ini benar-benar kesempatan emas yang harus
pemerintahan Indonesia perhatikan.Semoga! (*)
Prof Dr Hadi S Alikodra
Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB
sumber tulisan : Koran SINDO edisi
Kamis, 17/04/2008
Posting Komentar