Apa yang dilakukan oleh sekelompok penyerang yang mengatasnamakan FPI itu bertindak atas nama agama. Mereka menyatakan bahwa Islam dan akidah umat –seringkali menyebutkan atas nama umat namun tidak jelas umat Islam yang mana-- Bukan kali ini saja kejadian itu terpampang dengan jelas di publik tapi sudah berkali-kali. Dengan dalih ajaran agama yang diyakininya mereka tidak ragu-ragu membawa perlengkapan seperti golok, pentungan dalam beberapa aksinya.
Kalangan santri tentu kaget melihat kejadian itu. Sebab Islam selama ini yang diajarkan oleh para kyai tidaklah seperti itu. Keberagaman dan perbedaan pendapat ditemui dalam kitab-kitab yang kajian keseharian saat mondok di pesantren. Karenanya, berkaca dari tradisi keilmuan itu, maka pemaknaan agama bagi kalangan pesantren pada umumnya kurang tertarik dengan gaya kekerasan saat menolak perbedaan..
Satu lagi tradisi santri dimana mereka biasa hidup dalam perbedaan adalah saat melibatkan diri pada forum-forum diskusi di bilik-bilik asrama. Tradisi beda pendapat ini mirip dalam kampus-kampus ilmu sosial seperti UIN dan lainnya, di mana tradisi diskusi hampir terjadi dalam setiap mata kuliah. Bukan itu saja, saat pengajian kitab ala bandungan, kyai-kyai membaca kitab, kemudian di sana diterangkan bagaimana berbeda-beda pendapat baik dalam penafsiran maupun pendapat.
Contoh gamblang adalah saat kita membaca tafsir untuk ayat-ayat al quran. Dalam satu lembar kitab saja kita bisa temui perbedaan pendapat dari berbagai tokoh. Jika tidak percaya, silahkan buka kitab-kitab tafsir di sana ada ditemui bermacam-macam nuansa penafsiran yang berbeda dalam satu ayat saja.
Masih banyak lagi faktor lain, kita bisa melihat misalnya di Buntet itu, mungkin juga pesantren lain, para santri hidup dalam suasana perbedaan latar belakang suku dan bahasa. Di saat santri dihadapkan pada situasi perbedaan seperti ini, mereka diharuskan tetap dalam satu “kandang” (asrama) yang sama-sama belajar dan menyelesaikan tugas-tugas hariannya. Percekcokan latar belakang suku hampir nol persen, meskipun dahulu di Buntet dahulu ada perkumpulan santri berdasarkan asal golonngaya. Iksada, santri-santri asal Jakarta dan lain-lain. Namun suasana keakraban dan satu nasib itulah yang lebih dikedepankan ketimbang perbedaan-perbedaan itu.
Perbedaan-perbedaan yang dipaparkan tersebut baru dalam lingkup pesantren belum dalam ranah Indonesia yang lebih luas, cakupan geografis dan geopolitknya. Akan sulit menyatukan perbedaan-perbedaan itu jika tidak ada sebuah kesadaran kebinekaan.
Kita bersyukur kepada para ulama dahulu baik dari NU maupun Muhammadiyah juga dari kalangan nasaionalis yang telah begitu paham akan kesadaran bangsa ini yang plural. Karenanya, pancasila sebagai perekat bangsa itu sebuah pilihan di tengah sulitnya menyatukan berbagai komponen bangsa.
Pendeknya, benturan atas nama agama (apa saja agamanya) di dalam koridor bangsa yang majemuk tentu akan mengalami kendala dan perlawanan dari kalangan lain. Entah itu dari kalangan satu agama maupun dari kalangan lain. Karena semua yang diperdebatkan itu lagi-lagi sebuah penafsiran atas sebuah keyakinan. Jadi, silahkan buka kembali kitab tafsir, dimana para ulama bermacam-macam menafsiran sebuah ungkapan Kalimatullah.
Jangan-jangan masalah sebenarnya bukan masalah beda isi kepala di negeri ini. Karena apa, maslah yang fundamental adalah urusan beda isi dompet. BBM naik, harga-harga naik tentu pengangguran makin menjulang tinggi. Sementara negara belum sanggup membuat lapangan pekerjaan, maka organsasi-organisasi dadakan dan sempalan bermunculan dengan menjanjikan suwarga, padahal masalah sebenarnya adalah isi dompetnya yang berbeda-beda. Ups.. sudahi dulu, nanti ngalntur ngomonge.
Wallahu a’lam.
Irvan S, Guru MTs dan Asrama di Pondok Buntet Pesantren.
Posting Komentar