Oleh: Redaksi
Pertentangan antar umat Islam jangan disikapi dengan ikut-ikutan terbawa arus. Karenanya, kita tidak perlu lagi saling mencibir dan memperkeruh pertentangan itu. Apalagi masalah yang dihadapi tidak dimengerti sama sekali. Sebagai umat Islam khususnya Nahdliyin, cukup menjalankan
peribadatan sebagaimana yang telah dicontohkan Nabi dengan merujuk pada
para ulama salaf jangan ulama kholaf.




“Sebagai umat, jangan ikut-ikut mencibir antara yang satu dengan lain.
Yang terpenting kita bangun dan kedepankan silaturohmi untuk mencairkan
segala persoalan,” ungkap KH Hasanudin Imam dari Pesantren Gedongan Cirebon,
Jabar saat maidatukhasanah peresmian penggunaan Aula Pondok Pesantren
Assalafiyah Luwung Ragi Kec. Bulakamba Brebes Jateng Sabtu (28/6) malam.

Menurut Kyai Hasanuddin Imam yang pernah menjadi Kepala MAN Buntet Pesantren pada 2001 ini mengatakan bahwa problema pertentangan pandangan dalam Islam, lanjut Kyai memang sudah
tercatat dalam sejarah masa silam dengan terjadinya pertentangan antara
Kholifah Ali Bin Abi Thalib, Muawiyah Bin Abi Sofyan dan Amir bin Ash.
“Dari pertentangan tersebut, pada intinya hanya salah paham yang
dibesar-besarkan sehingga menjadi peperangan dan centang perenang,
padahal akar permasalahan tidak diketahui oleh umatnya,” cerita KH
Hasan..

Mantan Kepala Kantor Depag Cirebon ini mengingatkan kepada hadirin
bahwa kita dihadapkan pada pilihan-pilihan sulit yang apabila bisa
dijalankan akan
mendatangkan kebahagiaan hakiki. Yakni : 1) Mengampuni orang, dikala
kita masih dalam keadaan marah.2) Ahli Jariyah dikala sedang susah
maupun senang, 3) menghitung uang dengan kesaksian orang lain dan 4)
Menasehati atasan.

Sementara KH Subkhan Ma'mun dalam kata pengantarnya menerangkan
pembangunan Aula tersebut atas dilatarbelakangi desakan para wali
santri yang menghendaki sholat
jamaah secara terus menerus selama lima waktu bersama dirinya selaku
pengasuh Ponpes. Namun karena saat itu Masjid yang ada di kompleks
pesantren milik Desa, maka pengimamannya digilir dengan ulama-ulama
desa setempat. Sehingga dirinya tidak bisa rutin. “Di
Masjid, Saya mendapat giliran menjadi Imam setiap Sholat Dhuhur,” ucap
Kyai Subekhan.

Dia merasa bahagia dengan selesainya pembangunan Aula yang diberi nama
Addalail Al Khaerat itu. Sebagai kudengannya (permintaannya) maka para
santri harus sholat lima
waktu secara berjamaah. “Bila sampai tiga waktu tidak ditepati, Saya
tajir,” ungkapnya.

Aula yang berukuran 19 X 23 meter persegi itu, dibangun atas biaya
pondok secara bertahap. “Alhamdulilah, hanya dalam waktu setahun
rampung,” ungkap kyai tanpa mau menyebutkan berapa dana yang
dikeluarkan.

Penggunaan Aula tersebut ditandai dengan pembacaan Al quran  30 juz
oleh dua orang santri yang sudah hafidz dan pembacaan kitab Simthud
Duroh yang dipimpin oleh Habib Hud Bin Yahya dari Ciwaringin Cirebon.

Meski dihadiri ribuan pengunjung tapi tak tampak hadir perwakilan dari
pejabat pemerintah Kabupaten Brebes. Terlihat hanya orang tua/wali
santri, Santriwan-santriwati, alumni santri, para ulama Kabupaten
Brebes dan Tegal serta masyarakat desa Luwungragi. (was/nuol/kurt)


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama