Oleh: Putri Farah
Eit jangan dulu memasang muka masam yah ari mesem sih olih kanggo menanggapi judul di atas. Putri tidak bermaksud ikut-ikutan konflik FPI sama AKKBB loh. Ini murni sesuai disiplin ilmu saya, psikologi. Konfllik yang dimaksud di sini menurut disiplin ilmu psikologi, akan menyebabkan hubungan semakin berkembang dan maju. Yang dikedepankan adalah bagaimana mengelolanya.
Bagi sepasang suami isteri, janganlah dipercaya bila ia cerita tidak pernah berantem dengan pasangannya. Bohong! sebab mana mungkin perkawinan tanpa ada konflilk. Wong baru pacaran saja banyak kok yang konflik. Eit, saya bukan sedang mengkampanyekan santri pacaran loh yah, tapi saya lihat sendiri di sinetron-sinetron. Kalau santri sih, seperti kata kyai jangan pacaran kan heheh, ups kok nglantur sih, maaf pak kyai dan kang-kang.
Nah, dengan begitu wajar kan, kalau sepasang suami-isteri itu suka konflik karena memang berasal dari dua pribadi yang berbeda; latar belakang, suku, bahasa, keinginan, perasaan dan juga visi misi hidupnya tentu berbeda. Lihat saja apa kata Ibu Ida Poernomo Sigit Sidi, sang psikolog: "perbedaan-perbedaan ini merupakan unsur yang bisa menimbulkan konflik." Ujarnya dalam tulisan kompas.
Katanya lagi, tidak peduli pasangan itu sudah berpacaran dalam waktu lama sekalipun, "konflik tetap saja akan muncul," lanjutnya. Karena begitu memasuki perkawinan, kedua pribadi yang berbeda ini akan dipertemukan. "Nah, pada waktu bertemu itulah bisa saja aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari menimbulkan konflik," tambah psikolog wanita, anak, dan keluarga ini. Maklumlah, setelah menikah orang biasanya baru tahu semuanya, termasuk segala hal yang jelek dari pasangannya. Makanya, nggak aneh lagi kalau kemudian timbul konflik.
Jenis Konflik
Konflik itu, menurut Ibu Ida, apa saja bisa dijadikan konflik. Iya sih bu. Jangankan masalah akidah dan keyakian seperti Ahmadiyah atau FPI (eh jangan ngomongin itulagi ya kang). dalam rumah tangga saja urusan sambel yang kurang halus bisa jadi konflik. segala hal bisa menjadi pemicu timbulnya konflik dalam perkawinan. Terang dong si suami kesal, "Sudah tahu aku enggak suka sayur lodeh, tapi kok masih kamu suguhkan juga?" ujar Bu Ida.
Banayk deh contoh lainya. Yang sering terjadi misalnya pengaturan waktu pada suami-istri, baik waktu di dalam maupun di luar rumah. Misalnya, "Saya sudah pulang, tapi kok kamu belum pulang. Berapa kali dalam seminggu kamu meninggalkan rumah di akhir pekan?" Belum lagi soal pengasuhan anak yang berbeda, "Apalagi jika masing-masing merasa dirinya benar, paling tahu, paling bisa menjanjikan kesuksesan buat anak," kata Ieda.
Apalagi dalam urusan seksualitas (huuu... ini menurut Ibu Ida loh) katanya bermacam-macam jenis konfliknya. Mulai dari tidurnya sampai ke cara-cara berhubungan semuanya bisa jadi konflik yang bikin sambel pedes jadi hambar hehehe... (Ups). Ibu Ida menuturkan "Kita berkomunikasinya dengan cara bagaimana? Apakah mengatakan semua apa yang kita simpan atau hanya diam saja, memendam semua di dalam hati? Hal ini bisa menimbulkan konflik karena satu sama lain tidak cocok."
Tanggapan pasangan terhadap perbedaan itu juga bisa menimbulkan konflik katanya. Contohnya, dia "telan" saja apa yang ada dengan pikiran, "Memang sudah nasib saya begini." Atau, malah dia cari makanan di luar, misalnya, dan makanan di rumah enggak "disenggol" sama sekali. "Nah, itu, kan, konlik lagi!" tukas Ieda ahli psikolog keluarga, anak dan rumah tangga.
Yang pasti, lanjut Ieda, semakin luas perbedaan di antara suami-istri akan semakin memungkinkan munculnya konflik-konflik besar, sehingga usaha suami-istri untuk mempertemukan persepsi, visi dan misi dalam membina rumah tangga menjadi lebih besar lagi. Itulah mengapa Ieda kerap menganjurkan untuk mencari pasangan se-level agar tak terlalu jauh "jurang" perbedaannya, sehingga konflik yang muncul pun tak terlalu tajam.
Namun begitu, bukan berarti kita salah pilih pasangan bila kemudian konflik datang bertubi-tubi. Karena dengan siapapun kita menikah, toh, tak menjamin perkawinan kita bakal terbebas dari konflik. Iya, kan! Yang sering terjadi adalah, kita salah duga atau salah niat, begitu kata Ieda. Misalnya, "Biarin, deh, nanti kalau sudah kawin ia juga akan sadar dengan sendirinya." Padahal, tidak demikian. Karena, terangnya, "karakter seseorang sudah terbentuk hingga ia dewasa dan menikah." Selain itu, "Setiap orang mempunyai hak untuk menjadi dirinya sendiri." be
Mengolah Konflik
Nah giliran bagaiamana mengelola konflik, menurut Ieda, "Suami-istri harus melihat konflik sebagai suatu titik yang menunjukkan adanya perbedaan, dan oleh karena itu ada yang harus dipertemukan, disepakati, serta dipahami bersama-sama. Dengan demikian, konflik tersebut ibarat tumpukan batu bata yang ditata untuk menjadi sebuah bangunan kokoh," tuturnya. Nah bener kan, konflik itu bisa menjadi bangunan yang kokoh.
Makanya, lanjut Ieda, berpesan kepada suami-istri, khususnya pasangan muda, tak perlu takut dengan adanya konflik yang muncul dalam rumah tangga. "Justru dengan adanya konflik akan membuat suami-istri menjadi berkembang dan maju. Mereka akan menjadi semakin matang." Karena konflik adalah fundamen untuk membentuk rumah tangga. Dengan demikian, suami-istri akan mampu bertahan terhadap goncangan lain yang lebih besar.
Tipsnya itu sangat simpel menurut Ieda, katanya, agar konflik dikelola dengna baik, kita harus membicarakan perbedaan yang ada dengan pasangan. "Tapi sebelum membicarakannya kita harus lihat situasi dan kondisinya dulu, apakah memang bisa dibicarakan pada saat itu ataukah perlu waktu dan tempat khusus untuk membicarakannya?"
Soalnya, Ieda mengingatkan, kita kan sedang berusaha mempertemukan pendapat-pendapat yang berbeda. Sementara dalam situasi konflik kita biasanya tengah dilanda emosi. Nah, biasanya kalau orang lagi emosi, apa saja bisa keluar sehingga persoalan bisa merembet-rembet ke mana-mana. Kalau sudah begitu, bukannya menyelesaikan masalah malah mempertajam masalah. Iya, kan!
Untuk itu, saran Ieda, sebaiknya yang berkepala dingin harus membantu yang sedang panas. "Namanya pasangan, maka keseimbangan harus tetap dijaga." Misalnya, "Tadi aku telepon kamu ke kantor, kok, kamu enggak ada. Ke mana, sih?" Bila reaksinya malah meledak, tanggapilah dengan kepala dingin, "Aku cuma tanya, kok. Ya, sudah kalau kamu enggak suka menjawabnya." Nanti, setelah keduanya tenang dan mesra, bicarakan kembali masalah tersebut, "Tadi aku cuma tanya, tapi, kok, kamu marah. Jadi bagaimana sebaiknya agar kamu enggak marah?" Dengan begitu, masing-masing jadi belajar untuk saling memahami.
Jadi, tandas Ieda, bila ada konflik, "Anda harus lihat, mengapa konflik itu bisa terjadi? Pahami latar belakangnya, kemudian tarik ke depan, apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi konflik itu? Anda mau ngotot terus atau diselesaikan."
Tapi akhirnya, bila konflik itu tidak selesai-selesai padahal sudah berusaha untuk dikendalikan berdua, saran Ieda, carilah pihak ketiga untuk mendapatkan masukan. "Lebih baik konselor perkawinan. Selain profesional, ia juga tak ada ikatan emosional apa-apa." Lagipula, dengan menghubungi konselor perkawinan, disamping dapat membantu menyelesaikan konflik, juga dapat membantu untuk mengembangkan kemampuan kita dalam me-manage konflik.
Atau kalau menurut saya sih, minta saja doa-doa dari kyai. Kan, di pesantren banyak sekali kyai yang memiliki doa-doa seperti dalam kitab mujarobat ada banyak sekali doa agar suami isteri bisa rukun. Tapi tentu saja kalangan psikolog tidak menerima ini. Bahkan Ibu Zakiah Darajat sendiri pernah mengatakan kalau tidak salah, bahwa jika seseorang itu berhasil dan sebelumnya mengamalkan doa, maka itu bukand ari doa itus endiri melainkan dari sugesti yang ada pada diri kita. Loh kok jadi nglantur masalah amalan sih.. maaf pemirsa, banyak konflik di negara kita, jadinya begini nih ... Wallahu a'lam deh...
Maaf tulisannya kepanjangan yah, Maklum masih gaptek.
Putri Farah, Santrie Kyai Dulah, Kini kuliah di Jurusan Psikologi UIN Jakarta. Salam buat teman-teman semua.
Posting Komentar