Oleh: Agus Iswanto

wake up Dalam pengalaman saya, seringkali yang mengemuka dalam obrolan di sekolah-sekolah antar guru adalah bagaimana anak-anak didik itu berprestasi dalam belajar. Ini seringkali lalu menimbulkan sebuah perbandingan antara sekolah negeri dan sekolah swasta. Sekolah negeri dipandang anak-anaknya lebih berprestasi ketimbang anak-anak di sekolah-sekolah swasta. Seorang guru swasta mengatakan "meskipun kegiatan belajar-mengajar sudah dilakukan dengan metode apapun, tetap saja anak-anak akan rendah prestasinya." Guru itupun lalu melanjutkan "kalau di sekolah negeri, anak-anak sudah bisa diajak diskusi atau belajar giat tanpa harus diperintah lagi." Lalu dari sini, kesimpulan timbul, bahwa anak-anak di sekolah-sekolah swasta lebih rendah prestasinya daripada sekolah negeri.
 
Tentu saja saya bisa sepakat itu, meskipun tidak sepenuhnya benar kesimpulan itu. Itu bisa terjadi dalam sekolah-sekolah tertentu. Kalau kita lihat beberapa sekolah swasta malah menjadi sekolah unggulan yang mempunyai anak-anak didik yang cerdas dan berprestasi. Menurut saya, bukan masalah sekolah negeri atau swasta yang menentukan kecerdasan atau prestasi seorang siswa. Saya lalu teringat dengan sebuah novel "Laskar Pelangi," yang ditulis oleh Andrea Hirata, yang kini telah menjadi bestseller itu. Novel itu menceritakan diri penulisnya sendiri dalam menggapai cita-citanya. Dalam satu ceritanya, dan ini yang berkesan buat saya adalah tentang cerita tentang bangunan sekolahnya yang rusak, bahkan kalau malam ruang kelasnya dibuat sebagai kandang kambing.

 

Kondisi sekolah yang memprihatinkan itu senasib dengan jumlah muridnya, tetapi toh dengan hanya 7 orang murid, yang lalu disebut sebagai laskar pelangi, kegiatan belajar mengajar tetap berjalan. Sekolah itu bukan sekolah negeri atau sekolah terkenal, tetapi sebuah sekolah swasta (SD Muhammadiyah). Apa yang bisa dilihat, ternyata kondisi sekolah yang tidak lagi layak dengan murid yang amat sangat minim, dapat membuat muridnya yang hanya tujuh ini masih bersemangat dan bergairah untuk belajar. Di situ diceritakan, seorang ibu guru, yang bernama Ibu Muslimah, adalah satu-satu orang yang membuat ketujuh murid ini tetap semangat belajar.

Apa hikmah yang dapat kita petik dari cerita itu? Tentu saja banyak yang dapat kita petik dan ini sangat subjektif, tetapi bagi saya bahwa cerita itu hendak mengatakan bahwa fasilitas sesungguhnya bukanlah sesuatu yang satu-satunya dapat menghantarkan seseorang kepada kesuksesan, tetapi semangatlah yang membuat orang untuk terus bergelora menghadapi tantangan yang dihadapi. Dan dalam cerita itu, pembangkit semangat itu adalah Ibu Muslimah, seorang guru SD.

Tentu saja persoalannya tidak sesederhana itu, tetapi ini paling tidak telah dibuktikan dengan perjalanan penulisnya, hingga dia bisa melanjutkan belajar ke jenjang yang lebih tinggi, bahkan ke Prancis, Universitas Sorbone, sebuah perguruan tinggi bergengsi di Eropa. Karena itu, saya tidak sepenuhnya sepakat bahwa status sekolah menentukan prestasi anak didik.

Pendidikan Motivasi
Dari situ, maka berkesimpulan bahwa tugas terberat bagi seorang guru adalah bagaimana membangkitkan motivasi atau semangat belajar anak didik. Transfer ilmu atau materi pelajaran itu sesuatu yang mudah, jika siswa sudah mempunyai good will atau possitive feeling, dan ini hanya bisa muncul jika motivasi sudah tumbuh dalam diri siswa, sehingga belajar menjadi sebuah kebiasan positif yang terus dilakukan oleh siswa.
Nah, saya lalu teringat dengan buku The Seven Habits of Highly Effective People, yang ditulis oleh Stephen R. Cohey. Di sana dia berpendapat, bahwa ada tiga komponen yang membuat sebuah kegiatan menjadi kebiasaan dalam diri seseorang. Pertama, yakni knowladge atau pengetahuan; kedua, skill atau keterampilan; dan yang ketiga, adalah desire atau gairah/motivasi. Knowladge hanya merupakan pengetahuan teoritis tentang apa dan mengapa, sedangkan skill adalah bagaimana melakukan pengetahuan itu(knowladge), dan desire adalah keinginan untuk melakukannya.

Untuk knowladge, saya kira sudah tidak diragukan lagi, sejak dulu hingga kini masih memberikan pengetahuan pada anak-anak didiknya. Saya teringat dulu ketika saya sekolah, saya harus menghapalkan sebuah definisi dengan tidak memahami maksudnya, apalagi melakukannya. Baru dengan adanya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) aspek skill sudah mulai diperhatikan. Dengan berbekal keterampilan ini, maka siswa menjadi lebih siap untuk menjalani kehidupan yang lebih luas dan komplek.

Hanya saja, yang bagi saya agak kurang, masih sedikit saja sekolah-sekolah yang mencoba untuk membangkitkan motivasi bagi para anak didiknya, sehingga dia mampu menggali sumur pengetahuannya sendiri. Dengan begitu, guru ibaratnya, hanya memberikan cangkul atau linggisnya saja, dan siswa yang menggalinya. Inilah yang masih absen dalam kurikulum kita, bahkan kurikulum yang terbaru pun, KTSP. Padahal motivasi atau desire adalah kunci kesuksesan knowladge dan skill. Tanpa ada motivasi, maka siswa akan kesulitan untuk mencerap pengetahuan dan keterampilan, apalagi melakukannya. Dengan motivasi tinggi, maka prestasi itu menjadi sesuatu yang kecil untuk diraih.

Apa yang mendasari motivasi? Saya rasa "cinta" yang mampu menumbuhkannya. Ibarat seorang jatuh cinta, jika seseorang sudah cinta dengan sesuatu, maka apapun akan dilakukannya. Jika anak sudah senang dengan apa yang dia pelajari, maka tentu dia akan selalu ingin mempelajarinya. Bagaimana menumbuhkan rasa cinta atau senang ini? Paling sederhana adalah memunculkan aspek kemanfaatan yang bisa dirasa dari ilmu yang dipelajari. Manfaat sebuah ilmu akan membuat ilmu itu terasa dekat bagi anak-anak, dan lalu mendorong untuk semangat menguasai ilmu itu, bahkan mempraktekannya.


Memang bukan perkara mudah untuk memunculkan motivasi, tetapi ini perlu segera dipikirkan. Di atas semua itu, selain guru, peran orang tua juga sangat penting untuk menumbuhkan motivasi ini.

 

Agus Iswanto, alumni Buntet, kuliah di Yogya

Tulisan ini diposting juga di blog: Insan BPC  

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama