Sebuah Refleksi Akhir Tahun Ajaran



PolarisasiOleh: Muhamad Kurtubi
Ujian Akhir Nasional bagi pelajar di pesantren dan sekolah umum kemarin telah sukses diselenggrakan. Sekolah keagaman yang berada di Buntet Pesantren semisal MANU (Madrasah Aliyah Nahdlatul Ulama) Puteri lulus 100%. Mudah-mudahan sambil menunggu pengumuman berikutnya, semuanya lulus.  Antara pendidikan pesantren dan lainya ada semacam polarisasi yang berpengaruh pada cara pandang juga dalam hal  menjalani kehidupan.




Ilmu yang diajarkan di pesantren memang sarat dengan muatan kearifan, akhlaq dan ketulusan sehingga antara guru-murid tejalin berkelindan hingga kapanpun. Tetapi berbeda dengan sistem "pendidikan modern"  yang dikembangkan di sekolah umum dan kampus-kampus.



Bahkan yang terjadi di masyarakat jika ada pertentangan antar golongan atau "unjuk gigi" para pembawa pesan ilahi, semua itu terkait dengan "ruh ilmu" yang yang mengalir pada masing-masing pembawanya.






Kyai dalam tradisi pesantren merupakan figur yang selalu dihormati, dikagumi dan dimulyakan. Sebab di sanalah estafet ilmu pengetahuan agama diperoleh. Namun bagi tradisi keilmuan modern, se'alim apapun seorang guru di sekolah atau dosen di kampus, tidak mendapat penghormatan ala pesantren. Misalnya dicium tanganya saat bersalaman, dihormati keluarganya, dihargai sikapnya, dan diikuti nasehat-nasehatnya.







Itulah salah satu hal yang membedakan tradisi keilmuan tradisional dan modern. Namun tak perlu disesali, penghormatan dan penghargaan "kyai modern" sudah lebih dahulu didapat dari instansi atau lembaga di atasnya.







Sementara guru (kyai) pesantren sebutan penghormatan itu dikukuhkan justru oleh murid-muridnya (santri). Jika dihitung-hitung barangkali impas juga (sebanding). Lihat saja, sebutan: Guru besar, prof., Dr., dr., Msc., dst bukankah semua itu merupakan penghormatan juga? Plus sederet tunjangan hidup dan nama besar itu bisa terkukuhkan dalam selembar ijazah (surat keputusan). Apalagi jika menjadi pejabat negara, pasti gelar-gelar itu berpengaruh terhadap penghasilan bulanannya. Itulah bentuk penghormatan yang tidak diperoleh bagi kyai kampung.







Sementara bagi "kyai kampung" tidak ada korelasi antara sebutan kyai dengan penghasilannya. Mereka (para kyai), Insya Allah ikhlas dalam mengajar para santrinya. Jangan lupa, banyak sekali kalangan santri didikannya yang tidak membayar biaya bulanan. Contohnya, saat penulis mondok di Buntet Pesantren adalah jenis "santri gratisan". Menikmati fasilitas hidup di pesantren secara gratis, sementara penulis dibebaskan mendalami ilmu-ilmu agama dan ilmu di sekolah formal. Sebuah fenomena langka dalam tradisi keilmuan modern.









Ruh  Ilmu


Pesantren justru lahir karena kharisma para guru di dalamnya. Sehingga kyai merupakan figur yang melatar belakangi eksistensi sebuah pesantren. Walaupun belum ada penelitian, tapi bolehlah jika ada sebuah asumsi mengatakan: apakah benar, semakin alim (mumpuni) ilmu seorang kyai, semakin kuat daya pikat bagi santri-santrinya. Sebaliknya, semakin kurang mumpuni ilmu yang dimilikinya, akan berdampak pada daya pikat (kharisma) seorang kyai.







Meskipun asumsi di atas sangat lemah, dan mudah dibantah, setidaknya, asumi ini, bisalah dijadikan bahan obrolan dalam tulisan ini. Hal ini bisa disamakan dengan mutu sebuah sekolah (perguruan) yang jor-joran promosi dan dibuat menarik, meski mutunya tidak diperhatikan, maka pada awalnya sekolah akan ramai dikunjungi murid-muridnya. Namun bisa saja, sekolah akan bubar dan sepi peminat, jika mutunya (kedalaman ilmu) tidak diperhatikan dengan serius.







Intinya, ruh sebuah perguruan baik modern maupun tradisional adalah pada mutu pembawa pesan ilahinya. Jika "ruh ilmu" itu dipertahankan, maka kehidupan akan terus mewujud. Sebaliknya, akan sakit dan kembang kempis manakala ruh itu "ogah-ogahan" dipupuk. Tidak jarang pesantren itu ramai oleh santri jika di sana terpola sebuah "ruh ilmu" yang mewujud dalam diri tokohnya maupun pada manajemen lembaganya. Sebaliknya, tidak jarang pesantren yang diasuh tanpa "ruh ilmu" akan sepi peminat.










Paramater


Sulit sekali mengukur kealiman (kedalaman ilmu) seseorang. Tetapi setidaknya, asum­si umum patut diper­tim­bang­kan. Misalnya, menurut pandangan umum, ukuran kealiman itu bisa diperoleh manakala kyai itu memiliki karya tertulis ataupun karya tertutur. Hal lain, bisa dilihat dari tingkah laku dan prilaku kesehariannya. Di samping itu berbagai kepedulian dan kearifan dalam menyikapi persoalan. Hampir setiap orang dengan mudah melihat bagaimana akhlak seorang yang dianggap "cerdik pandai" itu. Nah, sikap-sikap pembawaan seorang kyai ini setidaknya dapat melabeli "alim" atau tidaknya seorang kyai.







Atau secara spesifik asumsi umum itu bisa diurai: pertama, dari karya-karya yang diterohkan dalam berbagai tulisannya. Apakah diakui oleh kalangan ilmuan lain ataupun tidak; membawa manfaat secara umum atau tidak; memberikan khasanah (kekayaan) baru dalam bidangnya atau tidak; dan membawa pesan perubahan prilaku mulia atau sebaliknya.







Kedua, jika tidak ahli dalam menulis, tetap bisa dikategorikan kyai kampung yang alim. Hal itu bisa diukur misalnya dalam setiap "ilmu tutur"-nya. Bagaimana ia menuturkan dan menjelaskan berbagai persoalan dari sudut pandang ilmu yang dikuasainya: apakah konprehensif (mencakup) atau tidak, membawa kepentingan golongan atau pluralis, membawa kedamaian atau sebaliknya, menetramkan atau menggelisahkan, membawa pesan kepedulian atau pengabaian, menciptakan sinergi etika atau anti-etis, membimbing individu masyarakat atau justru mengambangkannya.







Ketiga, wilayah privatnya. Maksudnya adalah kedekatan interaksi vertikalnya. Di kalangan santri, ada pemahaman secara umum, bahwa kyai yang memiliki kedalaman rohani, biasanya karena interval vertikalnya sangat rapat, ditambah wawasan keilmuannya yang komprehensif. Disamping itu, inverval horizontalnya pun juga rapat. Ibarat gelombang FM (frekuensi modulation) akan lebih jernih ketimbang gelombang AM. Hal itu karena FM memiliki karakter gelombang yang modulasi dan intervalnya sangat rapat.







Tidak jarang, "kyai FM" ini sangat dicintai masyarakatnya. Persis seperti radio FM yang lebih diminati masyarakat kita. Sehingga di mana-mana seluruh gelombang radio berpindah pada jalur FM. Hal ini karena karakter kuat pada gelombangnya juga jernih suaranya. Demikian itu bila ilmu ini melekat pada seorang "kyai FM", maka tidak mustahil, pancaran gelombang ilmunya kuat, prilakunya santun dan nasehatnya jelas, dan tentu saja enak di dengar telinga. Pada akhirnya, tidak mustahil pancaran ilmu dari "kyai FM" ini akan di relay ulang di setasiun daerah masing-masing santrinya dan tentu masyarkat sekitar santri itu akan ramai-ramai mendengar lantunan gelombang "kyai FM" yang indah itu.









Gelar "Asal Gobleg"


Jika saja ketiga asumsi umum di atas tidak ada, maka dikhawatirkan muncul istilah yang kurang enak didengar. Sebuah istilah bagi orang Jakarta ketika melabeli sesuatu yang tidak serius atau asal-asalan dengan istilah "asal gobleg".







Orang kerap mencibir untuk sarjana pendidikan modern pada akronim S.Ag. Harusnya sarjana agama, tapi dicibir dengan akronim "sajana asal gobleg". Jika demikian, sangat dikhawatirkan seandainya ada "kyai" atau "santri" yang hanya membela label saja namun kurang perhatian pada khasanah ilmunya tidak mustahil orang akan melabeli dengan istilah ini. Karenanya kita berharap jangan sampai segelintir orang mengarahkan kepada kyai atau kepada santri  dengan istilah "santri asal gobleg". Semoga kita terhindar dan berlindung pada Allah swt.







Kitapun tidak bisa menutup mata. Sebab tidak jarang, kampus-kampus kita banyak yang menghasilkan sarjana-sarjana "asal gobleg". Jika saja mereka menjadi mitra pemerintah atau manajemen publik, urusannya makin kacau. Kepentingan keilmuan akan tidak "nyambung" dengan kepentingan publik. Kemanfaatan ilmu untuk kemaslahatan umum, akan diberangus dengan kepentingan pribadi.







Tidak aneh, jika munculnya sifat-sifat hedonistik: korupsi, kolusi dan nepotisme buta pada bangsa ini, benar-benar membutakan semua wacana dan menutupi sinar ilmu yang menyinari semangat kedamaian dan ketentraman. Akhirnya, hanya berharap semoga semua itu bisa terkikis dengan semangat revolusi untuk terus-menerus menggiati berbagai disiplin ilmu dari masing-masing keahlian.







Upaya untuk mengatasi permasalahan ini bagi penulis sangatlah tidak mumpuni. Karena penulis bukanlah ilmuwan yang bisa memaparkan hasil penelitian ataupun refleksinya. Secercah harapan untuk mengatasi itu tentu saja bisa lahir dari setiap individu. Ataupun bisa lahir dari para pengendali kebijakan setiap lembaga modern atau tradisional yang peduli pada tetesan semangat keilmuan.







Harapan ini semata-mata merupakan ikhtiar guna membangun bangsa yang kini telah banyak dipengaruhi oleh sarjana-sarjana "asal gobleg" yang diluluskan oleh segelintir lembaga kampus kota. Semoga kita berharap besar jangan sampai lembaga kampus kampung (pesantren) ikut-ikutan arus dengan meluluskan S.Ag (santri "asal gobleg").



 



Penulis ucapkan Selamat buat santri-santri yang sudah lulus ujian akhir  Nasional semoga ilmu dari Buntet meretas dan mampu direlai kembali serta mampu menduplikasi kepada semangat rakhmatan lil 'alamin. Demi bangsa dan negara serta tentu saja Lillahi ta'ala wali i'la-i kalimatillah. Wallahu a'lam bishshowab. (*)






Muhamad Kurtubi, Alumni MANU Buntet Pesantren Cirebon



Pekerja Sosial, tinggal di Jakarta













Postingan ini pernah ditayangkan di website www.buntetpesantren.com dengan editan seperlunya. 



 



 

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama