Oleh: Moh. Mustahdi
 
SawitWARGA Buntet Pesantren seperti Man Nawir dan Man Rumli sudah puluhan tahun menjadi transmigran dan konon kehidupannya di sana jauh lebih makmur ketimbang tinggal di Buntet. Satu lagi, yang ingin saya ceritakan di sini, Slamet Kastalo, 49 th, warga Boyolali dengan modal Rp. 300.000, kini penghasilannya mencapai Rp. 200 juta perbulan dan menggaji karyawan s/d 4,5 juta per bulan.
 
Mas selamat adalah lulusan STM Pertanian di Boyolali. Kemudian setelah lulus, ia menjadi tenaga honorer petugas penyuluh lapangan (PPL) di Kecamatan Singkut, sekitar empat jam perjalanan darat dari Kota Jambi pada 1980. Gajinya saat itu sekitar Rp. Rp32.500 sebulan.

Tapi dasar Mas Slamet ini berjiwa tidak gampang menyerah, di saat banyak transmigran kalah sebelum bertempur, justru Slamet ini seperti melihat peluang yang besar. Ia justru bersikap nyeleneh dengan membeli 2 hektare tanah yang waktu itu merupakan jatah dari pemerintah.

Peta Jambi Dengan modal nekat, ia kemudian ingin merubah nasibnya uang sebanyak Rp300.000 cukup membeli dua hektare. hanya bermodal ijazah pertanian, jadilah ia berprofesi sebagai seorang petani. Tetapi, Subhanallah, ternyata pekerjaan itu tidak mudah.

Sebenarnya sama seperti merintis usaha, di awal-awal usaha sangat pahit dirasakan olehnya. Ia mengaku, mencangkul tanah hingga larut malam untuk ditanami palawija seperti padi, cabe, bawang dan kacang-kacangan. Tapi katanya, hasil dari palawija itu tidak ada yang membeli.

Bosan dengan bertani, ia kemudian membanting setir dengan beternak ayam namun hasilnya pun sama saja, tidak sukses. ia mengaku dua tahun berjibaku sebagai petani palawija dan beternak namun tak berhasil.

Namun saat nasib mulai bergerak diawali dengan gaya bertani yang lain dari biasanya. Yaitu saat harga padi dan cabe sedang murah justru ia bertanam dua komponen itu. Nah saat itulah ketika, produk pertanian di sana naik tajam, Slamet memperoleh keuntungan yang fantastis, padahal ia menjual ke pasar di bawah harga resmi. Tentu saja laku keras dagangannya. ”Jadi, kita harus melihat selangkah lebih maju daripada yang lain, berani beda,” Kata Slamet yang menceritakan sejarah keberhasilannya kepada wartawan SINDO yang saya baca hari ini. Baru kemudian, pada tahun 1986, pria flamboyan ini beralih ke sektor perkebunan karet.
 
Dari sini, nasib Slamet mulai berubah. Namun itu diimbangi dengan modal keuletan dan tidak mudah menyerah. Sampai saat ini Slamet telah memiliki sekitar 129 hektare kebun karet dan 30 hektare kebun kepala sawit yang telah berproduksi di daerah Singkut, yang terletak sekitar 24 km dari Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi itu. Penghasilan per bulannya bisa mencapai Rp150 juta–200 juta per bulan. Subhanallah!

”Saya tidak menyangka bisa seperti sekarang, dulu punya motor aja cuma mimpi,” kata pria sederhana ini. Slamet kini membawahi 125 karyawan yang bergaji mulai Rp800.000–4,5 juta dan sebanyak Rp. 200 juta hanya untuk gaji karyawan.

Perkembangan bisnis Slamet terus dilebarkan sayapnya. Dia memiliki peternakan 60 ekor sapi, 24 ekor kambing, serta 4 bidang kolam ikan. Di Boyolali sendiri ada 2 bidang Kebun Jati serta 3 patok sawah juga menjadi miliknya. Dari hasil usahanya, Slamet mempunyai 4 rumah mewah yang 3 di antaranya dibangun di daerah Candi Gebang (Bantul) serta Kota Gede, Yogyakarta.

Itulah cerita yang disampaikan Slamat dalam rangka mengucap syukur, sekumpulan para transmigran sukses yang tergabung dalam Paguyuban Keluarga Jawa (PKJ) Cipta Manunggal. Mereka  menggelar tasyakuran tiga dasawarsa keberhasilan program transmigrasi dari pulau Jawa ke Sumatera di halaman Kantor Kecamatan Singkut. Acara itu dihadiri pejabat pertanian bersama Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) Erman Suparno.

Pak Menteri sendiri yakin bahwa program transmigrasi di Indoensia itu mengalami proses panjang dan penuh perjuangan katanya. Tetapi dengan semangat dan kerjasama antar warga program transmigrasi itu bisa membuahkan hasil yang berkelimpahan.

Setidaknya, kita bersyukur bahwa apa yang dicontohkan oleh Man Nawir dan Man Romli dari Buntet Pesantren juga Mas Slamet dari Boyolali merupakan bukti kuat bahwa dengan berprofesi sebagai petani di daerah transmigrasi sekalipun, bisa memperoleh hasil yang berkelimpahan dan tentu saja memakmurkan keluarganya dan juga orang-orang sekitarnya.

Saya membayangkan jika saja orang-orang yang masih belum berubah nasibnya dan berkeinginan untuk maju, maka menjadi petani di daerah mana saja, kemduian bergiat dalam usahanya, Insya Allah nasib bisa berubah meskipun menjadi petani kurang diminati oleh generasi muda kita.

Jadi benar kita mesti merenungi bagaimana Sabda Nabi seperti postingan saudara Kurtubi pada tulisan lalu, Rasulullah saw bersabda: "90% rezeki itu dipegang oleh para petani dan pedagang." Dari cerita ini kita bisa melihat sebuah pembuktian sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.
 
Nah, toli kepriben kih, nandur apa enake ya. Ning Buntete dewek kan sawahe wis pada langka, lan para kyaie wis bli tertarik ning nenanduran heheh... Ups,  mandeg ning kene bae, bokat ngomonge tambah nglantur . Wallahu a'lam.

Moh. Mustahdi, S.IP, putra KH. Abdullah Abbas, pegawai pada Departemen Pertanian Jakarta.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama