Oleh: H. Dhabas Rakhmat, M.Pd.
Sekolah "Full Day System" Pesantren Pionirnya
DUNIA pendidikan kini tengah menggandrungi sekolah "full day system".
Sekolah sehari penuh. Dimulai dari pagi hingga sore hari. Namun tidak
sampai menginap. System ini ternyata disambut antusias oleh masyarakat
meskipun biayanya selangit. Kenapa pesantren yang telah mapan memegang
system ini, justru tidak diminati kebanyakan kalangan?
Sekolah dengan system sehari penuh (full day system) dianggap mampu
mengembangkan kreativitas dan keilmuan anak didik. (AntaraNews). Tetapi
ada indikasi sekolah yang dikembangkan di berbagai wilayah besar
Indonesia itu hanya trik dan akal-akalan bagi stackholder (pemodal)
karena sekolah ini menerapkan biaya yang mahal dan digandrungi oleh
sebagian besar orang tua yang sibuk bekerja. Sementara Dikbud sendiri
sebenarnya tidak menganjurkan tetapi juga tidak melarang.
Awal mula jenis sekolah yang dianggap unggul itu pertama kali muncul
pada pertengahan tahun 1990. Waktu itu dikenal dengan istilah excellent
school yang tiba-tiba saja tumbuh subur seperti "jamur sembagi" di
musim hujan. Waktu itu, sekolah yang mengembangkan system ini dirintis
oleh swasta dan sekolah Islam dengan tarif biaya tinggi. Tentu saja
menawarkan faslitas, eltis, ekslusif dan guru-gurunya diambil dari
kalangan professional. Sekolah yang berkategori excellent ini sendiri
belum teruji keunggulannya.
Hal itu bisa dilihat dari sebuah penelitian
Steenbrink (1986), seorang pastur dari Belanda yang sering mengkaji
pendidikan Islam di Timur, tentang munculnya Madrasah Ibtidaiyah (MI)
yang bermutu tinggi di sejumlah kota besar di Indonesia yang mampu
bersaing dengan sekolah dasar umum yang dikelola oleh Departemen
Pendidikan Nasional.
Dari istilah excellent sechool ini kemudian digandrungi dan diminati
oleh masyarakat dan tentu saja berkembanglah istilah ini sebagai sebuah
gerakan (educational movement). Sekolah-sekolah yang dianggap mempunyai
positioning di masyarkat itu berlomba-lomba membuat system sekolah
unggul misalnya istilah sekolah plus,
Bahkan sekolah full day system itu dianggap oleh Psikiater Prof Dr dr
LK Suryani, SpKj sebagai sistem belajar-mengajar seharian yang terbukti
merusak mental siswa, ditandai berkembangnya generasi apatis dan
beringas. (Nu online
) "Tanpa kita sadari telah lahir generasi beringas yang tidak peduli
pada kepentingan umum, lingkungan, apalagi persoalan bangsa. Rasa
nasionalisme terhadap NKRI pun dipertanyakan," kata sang Professor
pada Seminar Guru "Memahami Perkembangan Mental Anak Didik" di Denpasar
pada bulan Juli lalu.
Hemat penulis, sekolah fully day school bisa jadi menciptakan generasi
yang apatis dan abai dalam persoalan lingkungan jika itu dikelola secara ketat dan tidak membebaskan siswa berinteraksi dengan dunia sekitar, jauh dari orang tua, dan hanya mementingkan nilai semata. Jika faktor sosial diabaikan dan kurang mendapat hati pada anak didik, maka benar apa kata Profesor, akan melahirkan genarasi asosial.
Seperti dikatakan Gurubesar Fakultas Kedokteran Universitas Udayana itu juga berpendapat
karena faktor lingkungan yang terbatas dan hanya terkondisikan dalam
situasi yang jauh dari bimbingan orang tua menyebabkan sekolah unggulan itu perlu merubah wacana belajarnya.
Kemudian akhir dari seminar dinas pendidikan di hadapan 200 guru-guru
SMP dan SMA di Bali itu merekomendasikan agar para orang tua
berhati-hati dalam memasukkan anak-anaknya di sekolah favorit yang
hanya dianggap unggul.
Pesantren?
Kita sendiri bertanya jika pendidikan full day system dianggap
sebagai penddikan yang melahirkan genarasi yang "membangkang",
beringas, dan tidak nasionalis, justru menurut saya, pesantren
berbanding terbalik. Bahkan
pesantren boleh dikatakan punya sistem "fully year school" pendidikan setahun penuh. Dimana santri saat
sekolah di pagi hari ke jenjang formal, sore hari dan malamnya mereka habiskan di asrama untuk mengaji bersama kyai dan warga sekitarnya. Selama satu tahun itulah mereka berdiam di asrama dan tidak pulang kampung. Paling-paling pulang kampung jika lebaran atau liburan sekolah.
Dengan kehidupan sepanjang hari di asrama dan sekolah, terkesan mereka terkungkungi. Mestinya seperti
teori di atas, para santri itu menjadi beringas, apatis, anti
sosial dan a anasionalis. Tetapi semua tidak benar, para santri dan pesantren pada umumnya, justru yang banyak mengusung
nasionalisme tinggi, cinta negara sebagai bagian dari keimanan dan juga menghargai hak-hak orang lain.
Bukan itu saja para santri dengan didikan yang apa adanya, mereka
justru bersifat humanis dan toleran. Jauh dari sistem pendidikan formal
dan modern sekalipun. Jika pendidikan formal berlabel favorit hanya mengejar
prestasi akademik semata, maka pesantren justru yang dikear adalah moralitas
dan humanity berbasiskan uluhiah disamping tidak mengabaikan nilai-nilai eksak dari prinsip belajar mengajar itu sendiri.
Kita bisa melihat bagaimana hasil ujian di Pesantren Buntet akhir tahun pelajaran kemarin menunjukkan prestasi 100% lulus. Artinya, secara nilai mereka mampu mengimbangi strata nilai yang ditetapkan dinas pendidikan daerah maupun nasional. Selebihnya, silahkan diuji bagaimana kemampuan para santri yang telah lulus itu dalam hal prestasi ibadahnya, akhlaqnya, atau hal-hal lain yang bisa alat bantu si anak guna berinteraksi dengan masyarakat.
Kita patut bersyukur adanya pesantren merupakan tempat untuk menyemai bibit-bibit unggul untuk melahirkan generasi yang sangat dibutuhkan dalam membangun bangsa ini. Sebab kepemimpinan yang akan datang seperti dikatakan oleh KH. Abbas Billy Yachsy Indonesia butuh bukan saja pemimpin agama tetapi yang bervisi kebangsaaan. Artinya, disamping ahli dan mumpuni dalam bidang keagamaan plus praktek-prakteknya juga mahir dan bisa ngemong masyarakat tanpa ada sekat-sekat yang menghalanginya.
Hanya dengan begitu, maka pendidikan pesantren akan bisa bersinergi dengan kebutuhan bangsa ini. Banyak pemimin partai calon legislatif dan sebagainya hanya dilihat dari pamor ketenarannya saja. Kesannya, calon pemimpin itu adalah siapa saja yang telah banyak menebar wajah ruang publik maka itulah yang pantas menjadi pemimpin. Padahal sejatinya, pemimpin itu sendiri tidak mengajukan diri sebagai pemimpin karena beban yang akan ditimpakan oleh Allah SWT kepada orang tersebut akan sangat berat, berbeda dengan pemimpin yang diangkat oleh masyarakat, maka beban dunia akheratnya tidak seberat yang merasa mampu.
Sosial Edukasi
Karena pemimpin membutuhkan kecerdasan emosi, mental dan spiritual, maka sebenarnya pesantren telah memenuhi syarat itu. Meskipun full day mereka belajar tetapi rasa keberasamaan, sosialisasi dan harga menghargai itu tumbuh subur di kalangan santri.
Bagaimana santri bisa menghormati gurunya, itu didik selama mungkin di pesantren. Sehingga tidak terasa, saat si anak pulang ke orang tuanya, rasa hormat kepada orang tua itu tumbuh subur dengan begitu besarnya, tanpa disuruh lagi.
Dengan masyarakat sekitar para santri hampir setiap hari berinteraksi. Di Buntet Pesantren contohnya, para santri yang bergaul dengan warga pesantren berbaur menjadi satu. Bahkan sulit menentukan mana santri mana bukan. Mana anak kyai mana anak orang biasa, bagi orang luar sulit membedakan. Hal itu karena berbaurnya simbiosis di lingkungan pesantren begitu kental. Masing-masing memiliki tugas sama yaitu tolabul ilmu setiap hari (mencari ilmu setiap hari) .
Akhirnya, pesantren sebagai sekolah yang menerapkan full day sistem juga memiliki kelemahan diantaranya kalau boleh kami sebut adalah kurang bisa berkomepetisi dengan dunia luar. Selain itu, pesantren belum mampu menyaingi secara edukasi keterampilan-keterampilan yang banyak dikembangkan oleh sekolah formal lainya. Prestasi akademik juga belum bisa diunggulkan secara nasional.
Karena itu, bagi para pengelola pesantren sebaiknya merubah pola asah-asih-asuh dengan memperhatikan beberapa kelemahan itu. Dengan demikian berarti SDM pesantren perlu dikembangkan lebih lanjut. Kemamapuan bahasa Arab misalnya juga perlu diperluas menjadi kemampuan berbahasa Inggris, China dan bahasa dunia lainnya agar santri bisa melek lebih lebar lagi saat bergaul di komunitas pendidikan yang lebih tinggi, sehingga memiliki rasa ke-pede (percaya diri) yang kuat. Disamping kemampuan standar lainnya seperti tulis menulis dan penguasaan sumber-sumber keagamaan lebih intensif.
Tanpa upaya itu maka pesantren tak ubahnya sebagai pendidikan yang biasa-biasa saja. Padahal sistem dan metode begitu kuat dan mumpuni. Namun barangkali karena masyarakat sekarang lebih mengedepankan nilai-nilai akademik, maka pesantren kurang diminati. Karenanya pesantren mestilah mengikuti trend masyarakat sekarang yaitu bagaimana bisa mendidik para santri dengan nilai pendidikan formal setinggi mungkin juga moralitas dan kecerdasar sosial juga bernilai tinggi. Dengan begitu mungkin masyarakat akan berbondong-bondong mengunjungi pesantren kembali untuk menitipkan anak-anaknya. Wallahu a'lam.
H. Dhabas Rakhmat, M.Ag. adalah keluarga kyai Buntet Pesantren tinggal di Jakarta, berprofesi sebagai wakil Kepala Sekolah dan guru agama SMU 74 Jakarta. Beliau juga sebagai Ketua MUI wilayah Ciputat.
Sekolah "Full Day System" Pesantren Pionirnya
DUNIA pendidikan kini tengah menggandrungi sekolah "full day system".
Sekolah sehari penuh. Dimulai dari pagi hingga sore hari. Namun tidak
sampai menginap. System ini ternyata disambut antusias oleh masyarakat
meskipun biayanya selangit. Kenapa pesantren yang telah mapan memegang
system ini, justru tidak diminati kebanyakan kalangan?
Sekolah dengan system sehari penuh (full day system) dianggap mampu
mengembangkan kreativitas dan keilmuan anak didik. (AntaraNews). Tetapi
ada indikasi sekolah yang dikembangkan di berbagai wilayah besar
Indonesia itu hanya trik dan akal-akalan bagi stackholder (pemodal)
karena sekolah ini menerapkan biaya yang mahal dan digandrungi oleh
sebagian besar orang tua yang sibuk bekerja. Sementara Dikbud sendiri
sebenarnya tidak menganjurkan tetapi juga tidak melarang.
Awal mula jenis sekolah yang dianggap unggul itu pertama kali muncul
pada pertengahan tahun 1990. Waktu itu dikenal dengan istilah excellent
school yang tiba-tiba saja tumbuh subur seperti "jamur sembagi" di
musim hujan. Waktu itu, sekolah yang mengembangkan system ini dirintis
oleh swasta dan sekolah Islam dengan tarif biaya tinggi. Tentu saja
menawarkan faslitas, eltis, ekslusif dan guru-gurunya diambil dari
kalangan professional. Sekolah yang berkategori excellent ini sendiri
belum teruji keunggulannya.
Hal itu bisa dilihat dari sebuah penelitian
Steenbrink (1986), seorang pastur dari Belanda yang sering mengkaji
pendidikan Islam di Timur, tentang munculnya Madrasah Ibtidaiyah (MI)
yang bermutu tinggi di sejumlah kota besar di Indonesia yang mampu
bersaing dengan sekolah dasar umum yang dikelola oleh Departemen
Pendidikan Nasional.
Dari istilah excellent sechool ini kemudian digandrungi dan diminati
oleh masyarakat dan tentu saja berkembanglah istilah ini sebagai sebuah
gerakan (educational movement). Sekolah-sekolah yang dianggap mempunyai
positioning di masyarkat itu berlomba-lomba membuat system sekolah
unggul misalnya istilah sekolah plus,
Bahkan sekolah full day system itu dianggap oleh Psikiater Prof Dr dr
LK Suryani, SpKj sebagai sistem belajar-mengajar seharian yang terbukti
merusak mental siswa, ditandai berkembangnya generasi apatis dan
beringas. (Nu online
) "Tanpa kita sadari telah lahir generasi beringas yang tidak peduli
pada kepentingan umum, lingkungan, apalagi persoalan bangsa. Rasa
nasionalisme terhadap NKRI pun dipertanyakan," kata sang Professor
pada Seminar Guru "Memahami Perkembangan Mental Anak Didik" di Denpasar
pada bulan Juli lalu.
Hemat penulis, sekolah fully day school bisa jadi menciptakan generasi
yang apatis dan abai dalam persoalan lingkungan jika itu dikelola secara ketat dan tidak membebaskan siswa berinteraksi dengan dunia sekitar, jauh dari orang tua, dan hanya mementingkan nilai semata. Jika faktor sosial diabaikan dan kurang mendapat hati pada anak didik, maka benar apa kata Profesor, akan melahirkan genarasi asosial.
Seperti dikatakan Gurubesar Fakultas Kedokteran Universitas Udayana itu juga berpendapat
karena faktor lingkungan yang terbatas dan hanya terkondisikan dalam
situasi yang jauh dari bimbingan orang tua menyebabkan sekolah unggulan itu perlu merubah wacana belajarnya.
Kemudian akhir dari seminar dinas pendidikan di hadapan 200 guru-guru
SMP dan SMA di Bali itu merekomendasikan agar para orang tua
berhati-hati dalam memasukkan anak-anaknya di sekolah favorit yang
hanya dianggap unggul.
Pesantren?
Kita sendiri bertanya jika pendidikan full day system dianggap
sebagai penddikan yang melahirkan genarasi yang "membangkang",
beringas, dan tidak nasionalis, justru menurut saya, pesantren
berbanding terbalik. Bahkan
pesantren boleh dikatakan punya sistem "fully year school" pendidikan setahun penuh. Dimana santri saat
sekolah di pagi hari ke jenjang formal, sore hari dan malamnya mereka habiskan di asrama untuk mengaji bersama kyai dan warga sekitarnya. Selama satu tahun itulah mereka berdiam di asrama dan tidak pulang kampung. Paling-paling pulang kampung jika lebaran atau liburan sekolah.
Dengan kehidupan sepanjang hari di asrama dan sekolah, terkesan mereka terkungkungi. Mestinya seperti
teori di atas, para santri itu menjadi beringas, apatis, anti
sosial dan a anasionalis. Tetapi semua tidak benar, para santri dan pesantren pada umumnya, justru yang banyak mengusung
nasionalisme tinggi, cinta negara sebagai bagian dari keimanan dan juga menghargai hak-hak orang lain.
Bukan itu saja para santri dengan didikan yang apa adanya, mereka
justru bersifat humanis dan toleran. Jauh dari sistem pendidikan formal
dan modern sekalipun. Jika pendidikan formal berlabel favorit hanya mengejar
prestasi akademik semata, maka pesantren justru yang dikear adalah moralitas
dan humanity berbasiskan uluhiah disamping tidak mengabaikan nilai-nilai eksak dari prinsip belajar mengajar itu sendiri.
Kita bisa melihat bagaimana hasil ujian di Pesantren Buntet akhir tahun pelajaran kemarin menunjukkan prestasi 100% lulus. Artinya, secara nilai mereka mampu mengimbangi strata nilai yang ditetapkan dinas pendidikan daerah maupun nasional. Selebihnya, silahkan diuji bagaimana kemampuan para santri yang telah lulus itu dalam hal prestasi ibadahnya, akhlaqnya, atau hal-hal lain yang bisa alat bantu si anak guna berinteraksi dengan masyarakat.
Kita patut bersyukur adanya pesantren merupakan tempat untuk menyemai bibit-bibit unggul untuk melahirkan generasi yang sangat dibutuhkan dalam membangun bangsa ini. Sebab kepemimpinan yang akan datang seperti dikatakan oleh KH. Abbas Billy Yachsy Indonesia butuh bukan saja pemimpin agama tetapi yang bervisi kebangsaaan. Artinya, disamping ahli dan mumpuni dalam bidang keagamaan plus praktek-prakteknya juga mahir dan bisa ngemong masyarakat tanpa ada sekat-sekat yang menghalanginya.
Hanya dengan begitu, maka pendidikan pesantren akan bisa bersinergi dengan kebutuhan bangsa ini. Banyak pemimin partai calon legislatif dan sebagainya hanya dilihat dari pamor ketenarannya saja. Kesannya, calon pemimpin itu adalah siapa saja yang telah banyak menebar wajah ruang publik maka itulah yang pantas menjadi pemimpin. Padahal sejatinya, pemimpin itu sendiri tidak mengajukan diri sebagai pemimpin karena beban yang akan ditimpakan oleh Allah SWT kepada orang tersebut akan sangat berat, berbeda dengan pemimpin yang diangkat oleh masyarakat, maka beban dunia akheratnya tidak seberat yang merasa mampu.
Sosial Edukasi
Karena pemimpin membutuhkan kecerdasan emosi, mental dan spiritual, maka sebenarnya pesantren telah memenuhi syarat itu. Meskipun full day mereka belajar tetapi rasa keberasamaan, sosialisasi dan harga menghargai itu tumbuh subur di kalangan santri.
Bagaimana santri bisa menghormati gurunya, itu didik selama mungkin di pesantren. Sehingga tidak terasa, saat si anak pulang ke orang tuanya, rasa hormat kepada orang tua itu tumbuh subur dengan begitu besarnya, tanpa disuruh lagi.
Dengan masyarakat sekitar para santri hampir setiap hari berinteraksi. Di Buntet Pesantren contohnya, para santri yang bergaul dengan warga pesantren berbaur menjadi satu. Bahkan sulit menentukan mana santri mana bukan. Mana anak kyai mana anak orang biasa, bagi orang luar sulit membedakan. Hal itu karena berbaurnya simbiosis di lingkungan pesantren begitu kental. Masing-masing memiliki tugas sama yaitu tolabul ilmu setiap hari (mencari ilmu setiap hari) .
Akhirnya, pesantren sebagai sekolah yang menerapkan full day sistem juga memiliki kelemahan diantaranya kalau boleh kami sebut adalah kurang bisa berkomepetisi dengan dunia luar. Selain itu, pesantren belum mampu menyaingi secara edukasi keterampilan-keterampilan yang banyak dikembangkan oleh sekolah formal lainya. Prestasi akademik juga belum bisa diunggulkan secara nasional.
Karena itu, bagi para pengelola pesantren sebaiknya merubah pola asah-asih-asuh dengan memperhatikan beberapa kelemahan itu. Dengan demikian berarti SDM pesantren perlu dikembangkan lebih lanjut. Kemamapuan bahasa Arab misalnya juga perlu diperluas menjadi kemampuan berbahasa Inggris, China dan bahasa dunia lainnya agar santri bisa melek lebih lebar lagi saat bergaul di komunitas pendidikan yang lebih tinggi, sehingga memiliki rasa ke-pede (percaya diri) yang kuat. Disamping kemampuan standar lainnya seperti tulis menulis dan penguasaan sumber-sumber keagamaan lebih intensif.
Tanpa upaya itu maka pesantren tak ubahnya sebagai pendidikan yang biasa-biasa saja. Padahal sistem dan metode begitu kuat dan mumpuni. Namun barangkali karena masyarakat sekarang lebih mengedepankan nilai-nilai akademik, maka pesantren kurang diminati. Karenanya pesantren mestilah mengikuti trend masyarakat sekarang yaitu bagaimana bisa mendidik para santri dengan nilai pendidikan formal setinggi mungkin juga moralitas dan kecerdasar sosial juga bernilai tinggi. Dengan begitu mungkin masyarakat akan berbondong-bondong mengunjungi pesantren kembali untuk menitipkan anak-anaknya. Wallahu a'lam.
H. Dhabas Rakhmat, M.Ag. adalah keluarga kyai Buntet Pesantren tinggal di Jakarta, berprofesi sebagai wakil Kepala Sekolah dan guru agama SMU 74 Jakarta. Beliau juga sebagai Ketua MUI wilayah Ciputat.
Posting Komentar