Oleh : Sobih Adnan
Kiprah dan peran pesantren dalam sejarah
perjuangan kemerdekaan tidak dapat disangsikan lagi, pun dalam
mempertahankan kemerdekaan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia ini. Beberapa catatan sejarah pesantren dapat dijadikan kunci
kuat keabsahan perlawanan mereka terhadap kaum penjajah, atau terhadap
siapapun yang juga dapat mengancam keberadaan bangsa dan negara.
Lebih dari itu, dalam sejarahnya,
beberapa pesantren justru dibangun berdasarkan respon dan reaksi
perlawanan terhadap segala bentuk penindasan, oleh karena itu tak jarang
jika keberadaan pesantren dinilai sebagai simbol perlawanan paling
diperhitungkan oleh bangsa penjajah, termasuk Pesantren Buntet, Cirebon,
Jawa Barat. Semenjak berdirinya, pesantren ini diwarnai dengan pelbagai
peristiwa yang bersinggungan dengan perjuangan kaum sarungan untuk
mewujudkan kemerdekaan bangsa Indonesia.
“Kisah-kisah dari Buntet Pesantren”
adalah pilihan tepat untuk menelusuri peta perjuangan para kiai dan
santri. Dalam buku ini, dimuat banyak catatan menarik mengenai
tokoh-tokoh kunci dalam beberapa peristiwa penting sepanjang sejarah
kemerdekaan Indonesia, selain itu, buku ini juga menceritakan tentang
simpul-simpul jaringan pesantren, serta mengupas segenap ciri khas dunia
pesantren seperti istilah karomah, berkah, laduni, dan sisi-sisi lain
dunia pesantren yang wajib diketahui oleh para pembaca secara umum, bisa
dikatakan, selain berupa catatan sejarah pesantren, buku ini juga dapat
dijadikan semacam kamus untuk mengetahui lebih banyak tentang dunia
pesantren dan segala identitas lainnya.
Pesantren Buntet Cirebon didirikan oleh
seorang ulama bernama Kiai Muqayyim, sosok yang arif ini secara ikhlas
melepas status sosialnya yang dinilai bergengsi pada saat itu, demi
melakukan perlawanan keras terhadap segala bentuk ketidak-adilan yang
dilakukan oleh penjajah Belanda.
“Maka dengan kebencian dan kekesalan
yang mendalam terhadap penjajah Belanda, pada tahun 1770 Kiai Muqayyim
meninggalkan Keraton Kanoman dan pergi ke bagian Cirebon Timur Selatan
untuk mencari perkampungan yang cocok dengan hati nuraninya”. (Hal. 5).
Selain kisah perlawanan dan perjuangan
Kiai Muqayyim, dalam buku ini juga dimunculkan tentang sosok kunci
terjadinya peristiwa “10 November 1945” di Surabaya. Dalam peristiwa
tersebut dikisahkan “Menurut Hadaratussyekh KH Hasyim Asy’ari,
perlawanan akan dimulai nanti kalau sudah datang ulama dari Cirebon”.
Dan ulama yang dimaksud adalah KH. Abbas Abdul Jamil, penerus Kiai
Muqayyim dalam mengasuh dan mengembangkan Pondok Pesantren Buntet,
Cirebon, saat itu. (Hal.49).
Dalam jati diri pesantren, perjuangan
tidak hanya berupa melancarkan perlawanan terhadap bangsa penjajah,
namun juga kepada gerakan apapun yang dinilai dapat mengancam persatuan
dan kesatuan negara. Oleh karena itu, “Ketika DI/TII (Darul
Islam/Tentara Islam Indonesia) mengadakan pemberontakan dan hendak
mendirikan negara di wilayah Negara Republik Indonesia, Buntet Pesantren
termasuk pesantren yang menentang DI/TII dan harus diperangi karena
dihukumi bughat (makar). (Hal. 58).
Kisah-kisah kepahlawanan kiai sepuh
pesantren Buntet terus berlangsung, kepahlawanan dimaknai secara tak
terbatas, dalam arti, perjuangan untuk kepentingan umat dan bangsa
menjadi muatan penuh dalam sejarah panjang pesantren ini. Buku ini juga
mengenalkan tentang bentuk perjuangan dan kepahlawanan yang dilakukan
oleh para kiai meski dalam keadaan negara yang sudah merdeka.
Buku setebal 94 halaman ini akan
mengenalkan pembaca kepada tokoh-tokoh penting lain seperti Kiai
Kriyan, Kiai Mujahid, Kiai Imam, Kiai Akyas, hingga Kiai Fuad Hasyim
dengan segala keistimewaan dan bentuk-bentuk perjuangannya.
Sayangnya, dalam membaca buku ini akan
dijumpai beberapa kekurangan, diantaranya adalah pendeskripsian
peristiwa yang dapat dinilai kurang begitu menggoda dan tanpa
menggunakan pendekatan sastra sama sekali, karena penarasian buku ini
cenderung menggunakan tradisi penulisan berita juga pemaparan hasil
wawancara dengan pelbagai sumber. Namun hal tersebut dirasa tidak
mengurangi pentingnya keberadaan buku ini; sebagai salah satu dari
sejuta cara untuk mencintai pesantren, para kiai, dan sejarah perjuangan
bangsa Indonesia. Selamat membaca.
Judul: Kisah-kisah Dari Buntet Pesantren
Penulis: Munib Rowandi Amsal Hadi
Penerbit: KALAM (Komunikatif dan Islami)
Tahun : II, 2012
Tebal: x + 94 Halaman
Harga : Rp. 25.000,-
Peresensi: Sobih Adnan, Santri Pondok Pesantren Buntet dan Kempek, Cirebon.
Penulis: Munib Rowandi Amsal Hadi
Penerbit: KALAM (Komunikatif dan Islami)
Tahun : II, 2012
Tebal: x + 94 Halaman
Harga : Rp. 25.000,-
Peresensi: Sobih Adnan, Santri Pondok Pesantren Buntet dan Kempek, Cirebon.
Posting Komentar