Prof. KH Ibrahim Hosen |
Jumhur ulama dari mazhab Syafi'i, Hanbali dan
Maliki tidak membolehkan. Imam Abu Hanifah membolehkan dalam kasus di
luar hudud dan qisas. Ibn Jarir al-Thabari membolehkan secara mutlak.
Pendapat mana yang mau dipilih?
Maka terjadilah Bahtsul Masail
para ulama top di lingkungan Nahdlatul Ulama. Pandangan para ulama NU
mengerucut pada dua blok besar: mereka yang mengikuti pandangan KH
Mahrus Ali dari Pesantren Lirboyo, dan mereka yang mengikuti pandangan
Prof KH Ibrahim Hosen (Ketua Komisi Fatwa MUI Pusat dan Rektor Institut
Ilmu Al-Qur'an Jakarta). Kiai Mahrus tidak membolehkan dengan mengikuti
jumhur sedangkan Abahku membolehkan dengan mengikuti pendapat Hanafi
dan Thabari. Sebagai catatan, pendapat Hanafi dan Thabari bisa
digabungkan karena yurisdiksi Peradilan Agama di Indonesia terbatas pada
masalah ahwalus syakhsiyah dan tidak masuk wilayah jinayah.
Kiai Mahrus Ali |
Perdebatan kedua kubu sangat panas dengan masing-masing mengeluarkan
argumentasi dan rujukannya. Akhirnya diskusi diskors untuk makan siang
dan shalat zuhur. Di saat itulah Abah mendekati Kiai Mahrus Ali dan
melancarkan jurus diplomasinya. Abah berkata: "Pak Kiai, sebelum saya
berangkat sekolah ke al-Azhar Cairo, saya belajar khusus kepada Kiai
Abbas di Buntet". Kiai Mahrus langsung bangun dari kursinya dan memeluk
Abah, "Kiai Abbas itu Waliyullah, beliau paman saya!"
Setelah
dialog tersebut sesi diskusi segera dibuka kembali. Kiai Mahrus
mengangkat tangannya: "Diskusi tidak perlu dilanjutkan, sudah selesai,
saya setuju perempuan boleh menjadi hakim", maka terdengarlah surat
al-Fatihah dibacakan bersama. Para Kiai yang lain keheranan apa yang
terjadi mengapa perdebatan panas sebelumnya langsung hilang?
Abah saya belakangan menjelaskan kepada saya saat mengenang Kiai Mahrus
Ali. Sambil berkaca-kaca Abah berkata: "Kiai Mahrus Ali itu ulama besar.
Beliau paham perbedaan mazhab. Beliau hanya ingin diyakinkan bahwa Abah
sudah menghitung dampak dari memilih mazhab Hanafi dan Thabari untuk
masalah ini. Ketika disampaikan bahwa Abah santri kesayangan dari Kiai
Abbas Buntet, Kiai Mahrus Ali seketika menjadi yakin bahwa seorang
santri Buntet dibawah bimbingan langsung Kiai Abbas akan tahu bahwa
fatwa itu tidak boleh sembarangan dikeluarkan. Kiai Abbas memang
waliyullah."
Kiai Abbas |
Begitulah para Kiai NU. Mereka tahu
argumen masing-masing. Mereka saling mencintai dan memghormati. Tinggal
kita saja generasi berikutnya yang harus melanjutkan nilai-nilai yang
para masyayikh sudah ajarkan kepada kita. Kalau sekarang anda melihat
banyak perempuan yang menjadi hakim di Pengadilan Agama, ingatlah dengan
kisah ini: semuanya dimulai dari diskusi para ulama kami.
Lahumul fatihah ....
Tabik,
Nadirsyah Hosen
Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia - New Zealand dan Dosen Senior Monash Law Schoo
Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia - New Zealand dan Dosen Senior Monash Law Schoo
Posting Komentar