Pesantren dan Pendidikan Nasional*
Oleh: Salahuddin Wahid
Sejarah menunjukkan bahwa pesantren telah
memberikan kontribusi yang besar terhadap kemerdekaan negara ini; sebagian
besar turut pula berperan penting dalam membangun muslim Indonesia yang moderat
dan toleran. Namun, kondisi pesantren, terutama di daerah perdesaan, amatlah
buruk. Banyak di antara pesantren-pesantren ini yang jauh tertinggal jika
dibandingkan dengan lembaga Pendidikan lain di perkotaan. Salah satu alasannya
adalah kurangnya perhatian pemerintah terhadap perkembangan pesantren.
Oleh karenanya, pemerintah harus
menciptakan program afirmatif dalam rangka membantu pengembangan pesantren
serta mendukung lingkungan sekitarnya untuk menghadapi pengaruh globalisasi. Hanya
ada sekitar 7 persen pelajar dari daerah perdesaan yang melanjutkan
pendidikannya ke jenjang perguruan tinggi; sebagian besar tidak mampu belajar
di kota-kota besar karena besarnya biaya hidup.
Program afirmatif ini harus menyertakan
bidang studi non-agam yang terjangkau oleh masyarakat perdesaan. Program-program
seperti ini akan menimbulkan efek berlipat yang akan meningkatkan daya saing
mereka. Yang terpenting, program-program ini akan mengurangi urbanisasi dan
mengurangi kesenjangan antara daerah perkotaan dan perdesaan. Di samping itu,
program-program ini juga merupakan cara yang tepat untuk melakukan
deredikalisasi.
Tidak banyak yang tahu bahwa pendidikan tertua
dan paling awal muncul di Nusantara adalah pendidikan Islam, terutama
pesantren. Pendidikan Islam dimulai pada abad kesembilan di Barus, pesisir barat
Sumatra, saat banyak orang asing termasuk ulama-ulama Islam singgah di sana.
Orang-orang asing dahulu terutama tertarik dengan pohon kamper di daerah
tersebut karena getahnya dapat digunakan untuk membuat kapur barus.
Rekaman sejarah menunjukkan bahwa puncak
kejayaan Islam di Nusantara terjadi pada tahun 1400 sampai 1680. Peradaban
Melayu modern pada saat itu mengembangkan penggunaan huruf Arab dalam tulisan
dan bukannya huruf Latin; penggunaan huruf Arab ini kemudian dikenal dengan
huruf Jawi. Ulama-ulama ternama pada periode ini termasuk Hamzah Fansur,
Syamsuddin Sumatrani, Nuruddin Al-Raniri dan Abdurrauf Al-Singkili.
Anthony Johns menganggap peristiwa masyarakat
Melayu memeluk Islam sebagai perkembangan sejarah yang mengagumkan. Pertama,
peristiwa itu terjadi pada masa keruntuhan imperium Islam di Timur Tengah. Kedua,
proses terjadinya peristiwa itu terbilang relatif cepat tanpa dukungan politis
dari kekuatan militer manapun. Ketiga, jumlah orang yang berpindah dari pemeluk
Hindu menjadi pemeluk Islam mencapai lebih dari 89 persen penduduk. Tak terbantahkan
lagi, kunci dari fenomena ini adalah eksistensi pesantren di Nusantara.
Walisongo merupakan tokoh-tokoh awal yang
menyebarkan Islam di daerah yang merupakan cikal bakal Indonesia. Salah satu
Walisongo, Maulana Malik Ibrahim, yang wafat pada tahun 1419, dikenal sebagai grand
master tradisi pesantren. Sementara itu, pesantren tertua Jawa adalah
Tegalsari di Ponorogo, Jawa Timur, yang didirikan 300 tahun silam oleh Hasan
Besari. Ronggowarsito, seorang penyair besar Jawa, adalah salah satu muridnya. Beberapa
pesantren tua yang masih beroperasi sampai saat ini antara lain: Pesantren Sidogiri
di Pasuruan, Jawa Timur, yang didirikan pada tahun 1745; Pesantren Jamsaren di
Surakarta, Jawa Tengah, berdiri tahun 1750; Pesantren Miftahul Huda di Malang,
Jawa Timur, berdiri tahun 1768; Pesantren Buntet di Cirebon, berdiri tahun
1785; Darul Ulum di Pamekasan, Madura, Jawa Timur, berdiri tahun 1787; dan
Langitan di Tuban, Jawa Timur, berdiri tahun 1830.
Beberapa pesantren yang sekarang banyak
dikenal sebenarnya didirikan beberapa tahun setelahnya, seperti Pesantren
Tebuireng di Jombang, Jawa Timur (berdiri pada tahun 1899), Pesantren Lirboyo
di Kediri (berdiri tahun 1910) dan Pesantren Gontor di Ponorogo, Jawa Timur
(berdiri tahun 1926). Di dataran tinggi Minangkabau di Sumatra Barat, terdapat lembaga
mirip pesantren yang disebut surau, begitu juga dengan dayah di Aceh.
Lembaga pendidikan sekuler baru didirikan
oleh Pemerintah Hindia Belanda pada awal 1840-an atas saran Snouck Hurgronje. Tujuan
utamanya adalah untuk mendapatkan lebih banyak tenaga terdidik untuk menjadi
pegawai administrasi pemerintah Belanda dan perusahaan-perusahaan swasta. Tetapi,
pembangunan lembaga pendidikan sekuler ini juga diyakini bertujuan menantang
pengaruh pesantren yang mulai mengganggu pemerintahan kolonial Belanda.
Menurut Hurgronje, budaya Hindia Timur
harus dikombinasikan dengan budaya Eropa. Sehingga sistem pendidikan Belanda
diperluas dan menjadikan lebih banyak lagi orang-orang Indonesia yang masuk. Kebijakan
pendidikan ini, yang kemudian menjadi bagian ‘kebijakan etis’ terhadap bidang
studi kolonial, dianggap sebagai keputusan politik terbaik untuk mengurangi dan
akhirnya mengalahkan pengaruh Islam di Hindia Belanda.
Pada tahun 1919, Sekolah Teknologi Bandung
didirikan, diikuti oleh Sekolah Hukum pada tahun 1924 dan Sekolah Kedokteran
pada tahun 1926 di Jakarta. Yang menarik adalah bahwa meskipun banyak pelajar mendapatkan
pendidikan barat, mereka tidak kehilangan identitasnya. Mereka berkumpul di Jakarta pada bulan
Oktober tahun 1928 untuk melangsungkan Kongres Pemuda II, yang menghasilkan
Sumpah Pemuda. Momen itu membentuk embrio kemerdekaan Indonesia. Untuk mencapai
visi ini, periode-periode berikutnya memperlihatkan kerja sama dan pengertian
antar parapendiri bangsa, yang merupakan lulusan pesatren dan pendidikan barat.
Pada tahun 1950, Menteri Agama pada masa
itu, Wahid Hasyim, dan Menteri Pendidikan, Bahder Johan, menandatangani akta
kesepahaman (MoU) untuk menggabungkan pendidikan Islam dan sekuler. Lebih lanjut
lagi, pesantren turut pula berkontribusi terhadap pendirian Universitas Islam
Indonesia (UII) sebagai perguruan tinggi swasta pertama di Indonesia. Para pendukung
perguruan tinggi Islam kemudian mengizinkan alumni pesantren melanjutkan
studinya dalam disiplin ilmu manapun yang mereka pilih.
Sekarang ini terdapat sekira 28.000
pesantren di seluruh Indonesia, sebagian besar di Jawa Timur. Pada tahun 1971
terdapat sekira 4.200 pesantren, lalu meningkat sampai 8.000 pada tahun 1998,
dan naik lagi hingga mencapai 22.000 sampai tahun 2008. Peningkatan jumlah
pesantren ini menunjukkan apresiasi masyarakat yang tinggi sebab banyak masyarakat memilih
mengirimkan anak-anaknya ke pesantren, yang melanjutkan tradisi mereka selama ratusan
tahun dalam mendidik masyarakat.
Penulis adalah pengasuh Pesantren
Tebuireng, Jombang, Jawa Timur
*Diterjemahkan dari The Jakarta Post.
Artikel asli terdapat pada alamat URL berikut:
Posting Komentar