Para kiai sedang marhabanan dalam rangka maulid Nabi Muhammad saw. 

Marhabanan, begitulah orang menyebut agenda pembacaan kitab al-Barzanji karya Syaikh Jakfar al-Barzanji. Penyebutan ini tentu bukan tanpa alasan. Berasal dari kata bahasa Arab Marhaban yang diucapkan sebagai jawab atas lirik-lirik yang dilantunkan oleh qori yang memimpin jalannya pembacaan, kata tersebut dijadikan dasar nama kegiatan tersebut. Diberi akhiran –an guna menunjukkan kenominaanya. Maka lahirlah sebutan marhabanan.

Kata marhaban berarti selamat datang, diucapkan sebagai wujud menyambut kedatangan Rasulullah saw. Sebagai tanda penghormatan, maka pembacaan syair-syair itu dilakukan dengan cara berdiri.

Saban Kamis malam santri dan warga Buntet Pesantren menggelar kegiatan tersebut sebagai bentuk takzim atas Rasulullah saw. Di setiap pondok, salawat kepada Nabi menggema. Kisah-kisah tentang keagungan putra pasangan Sayyid Abdullah dan Sayyidah Aminah itu dituturkan.

Berbeda dengan di tempat-tempat lain, Buntet Pesantren punya ciri khas sendiri dalam melagukan mahallul qiyam, syair puji-pujian terhadap Nabi yang terdapat dalam kitab al-Barzanji tersebut.

Lagu mahallul qiyam ala Buntet Pesantren kali pertama digubah oleh KH Abdul Mun’im, adik KH Abdul Jamil. Selanjutnya, lagu ala Buntet Pesantren itu diperbaharui oleh KH Mustahdi Abbas. Sulung Kiai Abbas itu menggubah syair-syair tersebut dengan KH Jawahir Dahlan yang diminta untuk melantunkannya. Qori internasional itu merupakan cucu Kiai Mun’im yang diutus Kiai Abbas untuk menimba ilmu di Banten, tepatnya kepada Tubagus Ma’mun, dalam rangka pertukaran santri.

“Coba bunyi seperti ini,” begitu kira-kira pinta Kiai Mustahdi pada Kiai Jawahir saat menggubah syair srakalan itu.

Lagu yang dibawakan memberikan aura yang beda. Sentuhan nada lagu dan makna syair memberikan getaran yang luar biasa terhadap pelantun dan pendengarnya. Terlebih jika dilantunkan oleh kiai di Masjid Agung Buntet Pesantren saat Maulid Nabi bersama seluruh masyarakat dan santri Buntet Pesantren. Banyak yang tak kuasa membendung air mata. Rindu akan Nabi itu benar-benar begitu terasa.

Persebaran lagu ini tidak begitu luas, hanya lingkup Kecamatan Astanajapura. Hal ini disebabkan kesulitannya dalam melantunkan lagu tersebut. Selain itu, persebaran yang tidak begitu luas juga karena berbagai daerah sudah memiliki ciri khas lagu sendiri dalam melantunkan syair-syair mahallul qiyam itu. Ada hal lain yang melatarbelakangi tidak populernya lagu khas Buntet di lingkup luas, yakni waktu pembacaannya yang cukup lama, memakan waktu hingga satu jam lebih. Tentu saja, tidak meluasnya persebaran lagu ini karena tidak dibuat rekaman khusus unutk diperdengarkan dan disebarluaskan ke khalayak luas.


Syakirnf

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama