Para kiai Buntet Pesantren saat perayaan Maulid Nabi Muhammad saw. di Masjid Agung Buntet Pesantren |
Oleh:
Muhammad Hamdi Turmudzi Noor
Saat ini kita telah memasuki bulan Rabi’ul Awal, bulan kelahiran
Rasulullah SAW. Kajian mengenai peringatan hari kelahiran Rasulullah SAW
kembali ramai khususnya di bulan ini. Perdebatan mengenai hukum perayaan Maulid
Nabi SAW seakan kembali menjadi sesuatu yang sangat penting dan mendesak bagi
umat Islam kendati seharusnya perdebatan mengenai hal ini telah selesai karena kuatnya
dalil dan dukungan dari para ulama bahkan Sahabat akan keutamaannya.
Namun sebagian kalangan tetap enggan menerima kenyataan yang
berlawanan dengan keyakinan mereka. Mereka bertanya mengenai hukum memperingati
hari kelahiran Nabi SAW bukan untuk mencari kebenaran, akan tetapi lebih karena
untuk memperkeruh keadaan yang sedang kondusif, memecah persatuan atau sekadar
menunjukkan eksistensi mereka.
As-Sayyid
Muhammad bin ‘Alawy Al-Maliki (w. 2004 M) mengatakan bahwa perayaan Maulid Nabi
SAW adalah bentuk dari kesenangan dan kegembiraan akan datangnya Rasulullah SAW
sebagai salah satu ekspresi dari cinta kepada Rasulullah SAW. Perayaan Maulid
Nabi SAW merupakan sebuah perkumpulan untuk mendengarkan sirah
Rasulullah SAW, pujian-pujian terhadap beliau, memberikan makanan, memuliakan
orang-orang miskin dan kurang mampu, serta memberikan kegembiraan di hati para
pecinta Rasulullah SAW. Perkumpulan ini adalah media dakwah di mana ini merupakan
kesempatan bagi para ulama dan da’i untuk mengingatkan umat tentang akhlak, perilaku,
sejarah, ibadah dan aktifitas sosial Rasulullah SAW.[1]
Orang
yang pertama kali memperingati hari kelahiran Rasulullah SAW adalah Rasulullah
SAW itu sendiri. Dalam hadis riwayat Muslim, Rasulullah SAW ditanya tentang
berpuasa di hari Senin. Lalu beliau menjawab:
Artinya:
“Itu adalah hari di mana aku dilahirkan di dalamnya.”
Kalau
kemudian ada pertanyaan mengapa Rasulullah SAW tidak mengadakan peringatan
Maulid pada bulan Rabi’ul Awal? Imam Abu Abdillah bin Al-Hajj Al-‘Abdari (w.
737 H) menjawab bahwa sebagaimana diketahui dari kebiasaan Rasulullah SAW
adalah tidak mau memberatkan umatnya, terlebih sesuatu yang berkaitan dengan
pribadi beliau.[3]
Al-Hafizh
Ibn Hajar Al-‘Asqalani (w. 852 H) mengatakan bahwa peringatan Maulid
bersumber dari dalil yang kuat dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَدِمَ الْمَدِينَةَ فَوَجَدَ الْيَهُودَ صِيَامًا، يَوْمَ عَاشُورَاءَ،
فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَا هَذَا الْيَوْمُ
الَّذِي تَصُومُونَهُ؟" فَقَالُوا: هَذَا يَوْمٌ عَظِيمٌ، أَنْجَى اللهُ
فِيهِ مُوسَى وَقَوْمَهُ، وَغَرَّقَ فِرْعَوْنَ وَقَوْمَهُ، فَصَامَهُ مُوسَى
شُكْرًا، فَنَحْنُ نَصُومُهُ.[4]
Artinya: “Dari Ibn Abbas r.a, bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW
datang ke Madinah lalu menemukan orang-orang Yahudi berpuasa pada hari
‘Asyura’. Lalu Rasulullah SAW bertanya kepada mereka, “Hari apa yang kalian
puasai ini?” Mereka menjawab, ini adalah hari besar, Allah menyelamatkan di
dalamnya Nabi Musa dan kaumnya, menenggelamkan Fir’aun dan kaumnya, lalu Nabi
Musa berpuasa hari itu karena bersyukur, maka kami pun berpuasa.”
Dari
hadis ini dapat diambil poin penting mengenai bersyukur kepada Allah atas apa
yang telah Dia anugerahkan pada hari tertentu berupa pemberian nikmat atau
penolakan dari bahaya. Bersyukur dapat dilakukan dengan berbagai bentuk ibadah
seperti shalat, puasa, shadaqah atau membaca Al-Qur’an. Nikmat apalagi yang
lebih besar daripada munculnya Nabi Muhammad SAW, Sang Nabi yang agung ini?
Oleh karena itu, agar sesuai dengan kisah Nabi Musa di hari ‘Asyura’, maka
peringatan Maulid diadakan tepat pada hari kelahiran Rasulullah SAW. Kalaupun
seseorang memperingatinya namun tidak bertepatan dengan hari kelahiran beliau,
setidaknya mereka telah melakukan sesuatu yang berkaitan dengan dasar dalil
ini.[5]
Imam Jalaluddin
As-Suyuthi (w. 911 H) mengeluarkan dalil lainnya, yakni hadis yang diriwayatkan
oleh Imam Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra:
عَنْ
أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
عَقَّ عَنْ نَفْسِهِ بَعْدَ النُّبُوَّةِ.[6]
Artinya: “Dari Anas r.a., bahwa sesungguhnya Nabi SAW ber-aqiqah untuk
diri beliau sendiri setelah kenabian.”
Datang
pula riwayat bahwa kakek beliau, Abdul Mutthallib, telah meng-aqiqahi untuk
beliau di hari ketujuh setelah kelahiran. Sementara aqiqah tidak dilaksanakan
secara berulang. Dengan demikian, apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW adalah
dalam rangka menampakkan rasa syukur atas karunia dari Allah kepada beliau
sebagai rahmat bagi seluruh alam dan kemuliaan umatnya. Maka disunnahkan
kepada kita untuk menampakkan pula rasa syukur atas kelahiran Nabi SAW dengan
mengumpulkan saudara-saudara, memberikan makan kepada mereka atau apapun berupa
kebaikan-kebaikan lainnya.[7]
Al-Hafizh
Syamsuddin Al-Jazari (w. 660 H) dalam kitab ‘Urf at-Ta’rif bil Maulid
Asy-Syarif mengatakan bahwa Abu Lahab mendapatkan keringanan siksa neraka
setiap malam Senin karena telah memerdekakan Tsuwaibah, budak perempuannya,
yang mengabarkan akan kelahiran Nabi SAW dan menjadikan Tsuwaibah sebagai ibu
susuan Nabi SAW. Jika Abu Lahab –di mana Surat Al-Qur’an turun untuk
mencelanya- saja dibalas sebab kegembiraan pada kelahiran Nabi SAW, lalu
bagaimana dengan seorang muslim ahli tauhid yang turut bergembira dengan
kelahiran Nabi SAW dan memberikan apa yang mampu ia berikan karena cinta kepada
Rasulullah SAW?
Bergembira
dengan keberadaan Rasulullah SAW ada tuntutannya dari Al-Qur’an. Allah SWT
berfirman:
قُلْ
بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا (يونس: ٥٨)
Artinya: “Katakanlah: Dengan kurnia Allah dan
rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira.” (QS. Yunus: 58)
Allah
SWT memerintahkan kita untuk bergembira dengan rahmat, sedangkan Nabi SAW
adalah rahmat terbesar. Allah SWT berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنٰكَ
إِلَّا رَحْمَةً لِلْعٰلَمِينَ (الأنبياء: ١٠۷)
Artinya: “Dan tiadalah Kami mengutus kamu,
melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiya’: 107)
Dikuatkan
pula oleh tafsiran Surat Yunus ayat 58 dari Ibn Abbas. Beliau berkata bahwa “فَضْلُ
اللَّهِ” adalah “ilmu” dan “رَحْمَتُهُ” adalah “Nabi Muhammad
SAW”.[8]
Perayaan
Maulid Nabi SAW meskipun dengan formatnya yang sekarang tidak ada pada masa
Nabi SAW sehingga dikatakan bid’ah, namun itu bid’ah yang baik karena berdasar
pada dalil-dalil syar’i dan kaidah-kaidah kulli, karena meskipun format
perkumpulannya itu baru, namun parsial-parsial di dalamnya seperti memuji dan meneladani
Rasulullah SAW, bergembira dengan kehadiran beliau, memberikan makanan, atau
semacamnya, telah ada pada masa Nabi SAW.
Imam Ibn Hajar
Al-Haitami (w. 974 H) mengungkapkan perkataan Khulafa’ ar-Rasyidin dan
para ulama tentang Maulid Nabi SAW dalam kitabnya, An-Ni’mat al-Kubra ‘ala
al-‘Alam fi Maulid Sayyid Walad Adam. Abu Bakr Ash-Shiddiq r.a berkata:
“Barangsiapa menginfakkan satu dirham atas pembacaan Maulid Nabi SAW, maka ia
adalah temanku di surga.”
Sayyidina Umar
r.a berkata: “Barangsiapa mengagungkan Maulid Nabi SAW, maka sungguh ia telah
menghidupkan Islam.”
Sayyidina Usman
r.a berkata: “Barangsiapa menginfakkan satu dirham atas pembacaan Maulid Nabi
SAW, maka seolah-olah ia ikut dalam perang Badar dan Hunain.”
Sayyidina Ali
r.a berkata: “Barangsiapa mengagungkan Maulid Nabi SAW dan ini menjadi penyebab
ia membacanya, maka ia tidak keluar dari dunia kecuali dengan membawa iman dan
akan masuk surga tanpa hisab.”
Imam Hasan
Al-Bashri berkata: “Aku senang seandainya memiliki emas sebesar gunung Uhud,
lalu aku menginfakkannya atas pembacaan Maulid Nabi SAW.”
Imam Junaid
Al-Baghdadi (w. 298 H) berkata: “Barangsiapa menghadiri Maulid Nabi SAW dan
mengagungkan derajat beliau, maka ia akan memperoleh kebahagiaan dengan
keimanan.”[9]
Imam Ibn
Taimiyah (w. 728 H) mengatakan bahwa mengagungkan Maulid dan menjadikannya
sebagai hari besar adalah sesuatu yang terkadang dilakukan oleh sebagian orang dan
baginya terdapat pahala yang besar karena tujuannya yang baik serta
penghormatannya kepada Rasulullah SAW.[10]
[1]
As-Sayyid Muhammad bin ‘Alawy Al-Maliki, Haul al-Ihtifal
Bidzikra al-Maulid An-Nabawi Asy-Syarif, Beirut: Al-Maktabah Al-‘Ashriyah,
2010, h. 13-15.
[2] Shahih
Muslim hadis nomor 1162.
[3] Jalaluddin
As-Suyuthi, Husn al-Maqshid fi ‘Amal al-Maulid, Beirut: Dar
Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, 1985, h. 58.
[4] Shahih
Al-Bukhari hadis nomor 2004 dan 4737, Shahih Muslim hadis nomor
1130, Musnad Ahmad hadis nomor 2644 dan 2831, Sunan Abi Dawud hadis nomor 2444,
Sunan Ibn Majah hadis nomor 1734.
[6] Al-Baihaqi,
As-Sunan Al-Kubra, hadis nomor 19273.
[7]
Jalaluddin As-Suyuthi, Husn al-Maqshid fi ‘Amal al-Maulid, h. 65.
[8]
As-Sayyid Muhammad bin ‘Alawy Al-Maliki, Haul al-Ihtifal
Bidzikra al-Maulid An-Nabawi Asy-Syarif, h. 25.
[9] Ibn
Hajar Al-Haitami, An-Ni’mat al-Kubra ‘ala al-‘Alam fi
Maulid Sayyid Walad Adam, Istanbul: Maktabah Al-Haqiqah, 2003, h. 5-6.
[10] Ibn
Taimiyah, Iqtidha’ ash-Shirat al-Mustaqim, Beirut: Dar Al-Fikr, 2003, h.
269.
Terima kasih artikelnya, mencerahkan sekali.
BalasHapusPosting Komentar