Sumber : Elfagr.com |
oleh: Ahmad Irsyad Al-Faruq*
Selasa (5/12) lalu,
masyarakat digemparkan dengan penayangan sebuah acara di salah satu stasiun televisi
swasta yang diisi oleh seorang ustazah. Masalahnya, tulisan ayat al-Quran yang
tertera di televisi, tidak sesuai dengan khath (tulisan) Utsmani. Beberapa
netizen mengkritik apa yang ditampilkan di acara tersebut.
Namun, yang mengkritik
pun secara tidak terasa melakukan kesalahan dalam kritiknya. Ada yang mencoba
membuat perbaikan terhadap penulisan lafal al-shalat dalam surat
al-'Ankabut ayat 45 yang ditampilkan melalui layar khusus dengan menambahkan
alif setelah lam kedua, الصلاة. Penulisan tersebut
benar dalam penulisan Arab biasa, tetapi tidak untuk penulisan lafal pada ayat
al-Quran.
Penulisan ayat al-Quran harus sesuai dengan rasm utsmani. Ayat yang ditampilkan di televisi terdapat dalam surat al-'Ankabut ayat 45,
berbunyi:
(اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلٰوةَ ۖ إِنَّ الصَّلٰوةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ ۗ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ)
(Q.S. Al-Ankabut:45)
(اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلٰوةَ ۖ إِنَّ الصَّلٰوةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ ۗ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ)
(Q.S. Al-Ankabut:45)
Lafal yang benar jika mengacu pada rasm usmani adalah الصَّلٰوةَ, menggunakan wawu (setelah lam kedua),
bukan alif. Itulah yang dalam kajian 'ulum al-tafsir dimaksud dengan rasm usmani.
Rasm utsmani berbeda dengan rasm imla' 'arabi yang kita kenal sekarang ini.
Rasm utsmani berbeda dengan rasm imla' 'arabi yang kita kenal sekarang ini.
Penulisan alif dan bukan wawu dalam al-Quran ada delapan kalimat. al-Zarkasyi menulis
dalam kitab al-Burhan fi 'Ulum al-Quran, delapan kalimat tersebut dibagi
menjadi dua. Empat pertama merupakan empat kalimat pokok (أربعة أصول), yakni الصلوة,
الزكوة, الحيوة, dan الربوا, sedangkan empat lainnya
tersebar pada empat kalimat, yakin بالغدوة
(Q.S. al-An'am:52 dan al-Kahfi:28), كمشكوة
(Q.S. al-Nur:35, النجوة (Q.S. Ghafir:41), dan
ومنوة (Q.S. al-Najm).
Semua lafal tersebut
merupakan contoh dari rasm usmani. Tidak berhenti pada penyebutan saja, Al-Zarkasyi
juga menguraikan hikmah di balik penulisan tersebut. Penulisan itu erat
kaitannya dengan agung dan pokoknya lafal-lafal tersebut.
Shalat dan zakat
merupakan dua tiang Islam, hayah (kehidupan) adalah pokok dari nyawa/jiwa,
meninggalkan riba adalah pokok dari keamanan dan kunci dari taqwa. Annajah
(kebahagiaan) adalah kunci/pokok dari taat, alghodah (pagi) adalah pokok dari
waktu, al-misykah (layaknya lubang yang tidak tembus) adalah pokok dari
hidayah, dan al-manah (berhala manah) adalah pokok dari syirik. (lihat
al-Zarkasyi, al-Burhan fi 'Ulum al-Quran, dar al-kutub al-'alamiyyah
hlm.221-222).
Selain lafal-lafal tersebut, ada beberapa contoh lain yang menjadi ciri khas
dari mushaf usmani. Contohnya adalah penulisan alif fariqah yang terdapat
setelah wawu dlomir jama'. Dalam kajian nahwu, kalimat
fiil (baik madli atau mudlori') ketika bertemu dengan wawu dlomir jama' (fa'il
berupa dlomir muttashil waqi' jama' muzakkar ghoib), maka setelah wawu dlomir
harus diimbuhi alif, yang biasa disebut alif fariqoh (alif pembeda). Hal itu
bertujuan untuk membedakan antara wawu dlomir jama' dengan wawu 'athof dalam
beberapa kasus dan membedakannya dengan wawu jama' muzakkar salim, wawu asma'
al-sittah al-marfu'ah, dan dari wawu 'illah pada fiil mudlori' yang mu'tal
akhir dalam kasus yang lain. Contohnya adalah lafadz ضَرَبُوا
dan لَمْ يَضْرِبُوْا. (lihat Tahir Yusuf
al-Khatib, al-Mu'jam al-Mufasshol fi i'rab, alharomayn, hlm. 9).
Namun, teori itu belum
tentu berlaku dalam al-Quran. Banyak sekali lafal-lafal yang serupa dalam
al-Quran, justru tidak ditulis alif nya, seperti dalam surat Saba':5,
al-A'raf:116, al-Furqan:4, al-Furqan:21, Yusuf:16, Yusuf:18, al-Baqarah:226,
al-Hasyr:9, dan al-Nisa:9.
Penulis menayangkan
salah satu di antaranya, yakni yang terdapat pada surat al-Furqan ayat empat
berikut.
وَقَالَ الَّذِينَ
كَفَرُوا إِنْ هَٰذَا إِلَّا إِفْكٌ افْتَرَاهُ وَأَعَانَهُ عَلَيْهِ قَوْمٌ
آخَرُونَ ۖ فَقَدْ جَاءُو ظُلْمًا وَزُورًا
[Q.S. Al-Furqan: 4]
[Q.S. Al-Furqan: 4]
Hal tersebut bukan berarti al-Quran menyalahi aturan nahwu. Justru rasm (bentuk tulisan) al-Quran adalah rujukan teori nahwu.
Selain itu, yang menarik adalah, menurut al-Zarkasyi, pembuangan alif fariqoh
tersebut merupakan rahasia dari al-Quran itu sendiri. Ada makna dibalik
pembuangan alif tersebut.
Ia menjelaskan, bahwa lafal-lafal fiil yang tidak terdapat alif fariqah
biasanya menunjukkan pekerjaan-pekerjaan yang buruk atau bohong (اضمحلال الفعل). Hal itulah yang menyebabkan tidak perlunya
alif fariqoh itu dicantumkan/ditetapkan (لم يثبت الألف).
Secara tidak langsung, fiil-fiil tersebut adalah perbuatan yang harus
dihindari. (Lihat al-Zarkasyi, al-Burhan fi 'ulum al-Quran, dar al-kutub
al-'alamiyyah hlm. 209)
Contohnya adalah kalimat جَاءُو ظُلْمًا وَزُوْرًا
pada penggalan surat al-Furqan ayat 4 di atas. Ayat tersebut sedang menjelaskan
perbuatan orang-orang kafir yang menganggap bahwa al-Quran adalah karya Nabi sehingga
apa yang dilakukan orang-orang kafir adalah dzolim dan kebohongan. Secara tidak
langsung, al-Quran memerintahkan kita untuk menghidari perbuatan dzolim dan
berbohong.
Contoh lain adalah surat Yusuf ayat 16 dan 18:
وَجَاءُو أَبَاهُمْ عِشَاءً يَبْكُونَ
(Q.S. Yusuf: 16)
(Q.S. Yusuf: 16)
وَجَاءُو عَلَىٰ قَمِيصِهِ بِدَمٍ كَذِبٍ ۚ قَالَ بَلْ
سَوَّلَتْ لَكُمْ أَنْفُسُكُمْ أَمْرًا ۖ فَصَبْرٌ جَمِيلٌ ۖ وَاللَّهُ
الْمُسْتَعَانُ عَلَىٰ مَا تَصِفُونَ
(Q.S. Yusuf:18)
(Q.S. Yusuf:18)
Kedua ayat tersebut masih ada kaitannya dengan kisah Nabi Yusuf. Ayat itu
menjelaskan bahwa kedatangan saudara-saudara Yusuf menghadap ayahnya (Nabi
Ya'qub) adalah keburukan dan kebohongan. Karena tangisan dan baju berlumur
darah yang dibawa oleh mereka adalah tangisan dan darah di baju tersebut adalah
bohong. Selain itu, masih ada contoh-contoh yang lain.
Beberapa hal di atas merupakan perhatian buat kita bahwa penulisan al-Quran
tidak bisa main-main dan sembarangan. Ada ilmu al-Quran dan tafsir yang
mengatur semuanya. Khath mushaf usmani bukan tidak sesuai dengan teori nahwu,
akan tetapi justru ada hikmah dan makna tersirat di baliknya.
Oleh karena itu, Imam
Ahmad ibn Hanbal menghukumi haram terhadap penulisan ayat al-Quran yang berbeda
dengan khath (tulisan) al-Quran/mushaf ustmani. Bahkan, dalam penulisan ya',
wawu, alif, dan lainnya.
Oleh karena itu, kejadian viral ustazah di televisi dua hari silam, semoga tidak terulang
kembali. Penulis juga berharap agar stasiun televisi dapat selektif memilih tokoh yang betul-betul mengerti seluk beluk al-Quran. Kita, sebagai
umat Islam juga harus memahami terlebih dahulu sebelum mengkritik sehingga
tidak berlandaskan kebencian, tetapi berdasarkan pengetahuan guna membangun
pribadi lebih baik lagi.
*Penulis merupakan warga Buntet Pesantren dan lulusan studi Ilmu Al-Quran dan Tafsir
Posting Komentar