Barongsai meramaikan Haul Buntet |
Selain memiliki anak kandung, Kiai Abbas juga memiliki seorang anak
angkat. Dia bernama Usman. Masyarakat Buntet akrab memanggilnya Man Us. Man Us
sejak kecil dididik oleh Kiai Abbas layaknya anak sendiri. Seperti anaknya
pula, ia dikirimkan ke pesantren di Jawa Timur untuk lebih mendalami berbagai
ilmu agama. Setamatnya dari pesantren, ia mengabdi sebagai pengajar di sekolah
dasar.
Usman dikenal sangat alim. Keilmuannya tak perlu diragukan lagi.
Ini terbukti ketika ia selalu berhasil menjawab soal-soal yang diajukan Kiai
Akyas, adik Kiai Abbas. Kiai Akyas sering mengetes keilmuan guru-guru di
madrasah dengan mengajukan berbagai pertanyaan seputar keagamaan. Kiai yang
hafal Alquran dan puluhan ribu hadis beserta sanadnya itu selalu dipaksa
mengakui kepintaran Usman.
“Siapa Usman?”
Dia adalah seorang putra Tionghoa peranakan. Kiai Abbas
mengangkatnya sebagai anak sedari kecil mula. Menurut KH Ahmad Syauqi Chowas,
salah satu cicit Kiai Abbas, Usman dikhitan bersama ayahandanya, yakni Kiai
Chowas. Selain itu juga dengan Kiai Hisyam Manshur dan Kiai Amak Soleh. Kiai
Abbas pula yang mengadakan walimatul khitan. Tidak ada yang dikecualikan
di sana.
Kiai Usman tinggal di daerah Cangkol, Kota Cirebon. Dia sangat
gigih dalam berdakwah. Namanya tercatat sebagai salah satu pengurus Persatuan
Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Cirebon. Selain itu, hingga wafatnya, beliau
mendedikasikan dirinya menjadi Imam Masjid Agung Sang Cipta Rasa Cirebon. Saban
Subuhan, beliau juga senantiasa mengisi pengajian di masjid yang terletak di
Keraton Kasepuhan tersebut. Ia juga mendonasikan rumahnya untuk dijadikan Taman
Kanak-kanak.
Kedekatannya dengan masyarakat Tionghoa itu lantas mengalir natural
dalam diri Nyai Sukaenah, putri Kiai Abbas. Ia mengangkat Shiem Oek sebagai
sopir pribadinya selama 10 tahun sejak ia pertama kali memiliki mobil angkutan
pada tahun 1977.
Jalinan persaudaraan Buntet dengan Tionghoa kian erat tatkala KH
Abdurrahman Wahid terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia keempat.
Ditetapkannya Hari Imlek sebagai hari libur nasional semakin menambah
kepercayaan warga peranakan itu terhadap kalangan pesantren.
Setiap Haul Almarhumin Sesepuh dan Warga Pondok Buntet Pesantren
selalu hadir Barongsai untuk menghibur adik-adik peserta khitanan masal.
Tradisi budaya Tionghoa ini dinikmati oleh masyarakat pribumi. Masyarakat dari
berbagai penjuru desa datang berbondong-bondong guna menyaksikan agenda tahunan
itu. Mereka rela berpanas-panasan, bercucuran keringat demi pentas Barongsai
yang hanya digelar sekali setahun di wilayah kecamatan Astanajapura.
Kiai Abbas dan keluarganya telah memberikan teladan dalam
berkehidupan sosial. Masyarakat Buntet tentu saja mengetahui hal tersebut.
Sikap demikian perlu terus dipupuk dan disiram dalam jiwa dan laku agar terus
tumbuh dan tidak layu.
Selesai.
Syakirnf
Syakirnf
Posting Komentar