Tujuh santri Pondok Buntet Pesantren Cirebon berangkat ke Mesir
guna melanjutkan studinya di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Mereka
berhasil melewati serangkaian seleksi yang cukup panjang dari administrasi,
seleksi ujian, hingga wawancara. Mereka juga mampu menyisihkan ribuan pendaftar
lainnya.
KH Ahmad Abu Nashor, Dewan Pengasuh Pondok Pesantren Al-Khoir
Buntet Pesantren, mengungkapkan bahwa gabungan pemikiran pesantren dan Al-Azhar
dapat memberikan dampak positif bagi perkembangan keilmuan di dunia pendidikan
pesantren.
“Cara berpikir mereka pun mungkin bisa lebih moderat digabung
dengan model pesantren yang ada di Indonesia, ini akan membawa sesuatu yang positif
dalam dunia pendidikan khususnya pesantren,” katanya di Bandara Soekarno Hatta,
Tangerang, Banten, Jumat (24/11).
Sementara itu, KH Fikri Mubarok, Wakil Kepala Madrasah Aliyah
Nahdlatul Ulama (MANU) Putra, menyatakan bahwa jumlah pemberangkatan santri
Buntet Pesantren setiap tahun meningkat.
“Alhamdulillah sudah sekitar tiga sampai empat tahun ini animo
santri Buntet alumni sangat besar untuk melajutkan ke luar neger. Ada yang ke Sudan,
ada yang ke Maroko, dan beberapa ini ke Mesir,” ujarnya.
Kang Fikri, sapaan akrabnya, menjelaskan bahwa pesantren dan
sekolah di Buntet Pesantren mempersiapkan fasilitas tambahan bagi para santri
yang memiliki minat melanjutkan studi ke Timur Tengah. Mereka diberi kewajiban
menghafal Al-Qur’an dan mata pelajaran bahasa Arab secara khusus.
“Dari kelas satu aliyah sudah dipersiapkan bagi mereka yang
menginginkan untuk studi ke sana,” jelasnya.
Di samping itu, Kang Fikri juga mengatakan bahwa pihaknya mengundang
para alumni yang masih belajar di sana atau yang sudah menyelesaikan studinya
di sana untuk daatang ke sekolah, memberikan motivasi kepada adik-adiknya.
Tingginya kualitas pendidikan menjadi alasan Abdullah Syafi’i
melanjutkan studi ke sana. Alumnus MANU Putra itu mengatakan bahwa banyak
alumni Universitas Al-Azhar yang menjadi tokoh berpengaruh di Indonesia. KH
Quraisy Shihab, KH Ahmad Mustofa Bisri, adalah dua di antaranya. Bahkan, sosok
kiainya, pengasuh pondok saat ia tinggal di Buntet Pesantren sekaligus Kepala
MANU Putra itu, KH Ade Nasihul Umam, juga merupakan alumni kampus yang sama.
“Memilih Al-Azhar karena memang saya percaya bahwa kualitas
pendidikan serta syekh di sana memiliki standar yang tinggi,” ungkap pria yang
memilih jurusan bahasa dan sastra itu.
Sementara itu, tak ada biaya kuliah alias gratis menjadi alasan
lain Siti Nur Hasanah memilih salah satu kampus tertua itu. Perempuan yang
memilih jurusan Syariah Islamiyah itu menjelaskan bahwa Al-Azhar menjadi salah
satu kiblat pengetahuan Islam.
“Al-Azhar itu kiblat pengetahuan Timur dan Barat,” ujar alumnus
MANU Putri Buntet Pesantren itu.
Sampainya ia ke Negeri Kinanah itu dengan upaya penuh. Ia mencari
beasiswa dari berbagai lembaga. Ia sadar tak ingin merepotkan orangtua lebih
banyak.
Sementara itu, Dita Laely Chiyaroh, santri Pondok Pesantren
Al-Khoir itu, mengungkapkan bahwa tiga jurus supaya bisa studi di sana adalah percaya
diri, usaha, dan berdoa. Usaha yang perlu dilakukan menurut Nurul Islah, santri
Pondok Pesantren Al-Istiqomah, adalah menguasai bahasa Arab dan memiliki
hafalan Al-Qur’an dua juz.
Adapun Ismail, santri Buntet asal Tegal, mengatakan bahwa mengenal lembaga
atau jaringan yang mampu mengantarkan ke sana. Informasi ini, lanjutnya, bisa diperoleh
dengan bertanya kepada guru-guru.
Selain mereka, Ahmad Fariq Asybal Aufa, putra KH Cecep Nidzomuddin,
juga akan berangkat studi ke negara yang kini dipimpin oleh Presiden Abdul Fattah Al-Sisi itu.
Mas Fariq, sapaan akrabnya, berangkat atas beasiswa kerjasama Universitas
Al-Azhar dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
Lain dari enam santri di atas, M Fahd Al Dhiya meneruskan studinya
ke Sudan. Ia diterima di salah satu kampus di sana.
(Syakir NF)
Posting Komentar