Penulis (kiri) bersama Sekjen CCA Mattewhs George Chunakara


Oleh Syakir NF

Swadikap

Sebulan lalu, tepatnya pada tanggal 14-20 Oktober 2018, saya berkesempatan mengunjungi Negeri Gajah. Keberangkatan saya ke sana bertujuan menghadiri kegiatan Young Ambassador Of Peace in Asia (YAPA) 2018 yang digelar oleh Christian Conference of Asia (CCA). Saya datang ke lembaga yang berkantor di Universitas Payap, Chiang Mai, Thailand, itu mewakili Nahdlatul Ulama dengan berbekal surat rekomendasi yang ditandatangani oleh salah satu Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), yakni H Eman Suryaman dan Wakil Sekretaris Jenderal PBNU H Ulil Abshar Hadrawi.

Mulanya beberapa bulan lalu saya ditanya oleh pemimpin redaksi NU Online, tempat saya menempa diri, yakni Mas Ahmad Mukafi Niam perihal kesiapan menghadiri kegiatan yang akan digelar pada 14-20 Oktober itu dengan syarat mesti menguasai bahasa Inggris. Sontak saya menyanggupi apa yang disyaratkan itu. Bukan apa-apa, karena ini kesempatan pertama yang tidak akan terjadi untuk kali kedua dan seterusnya. Syarat mesti bisa berbahasa Inggris pun saya angguki saja meskipun sebetulnya saya tidak yakin. Tapi bismillah.

Bulan demi bulan berganti dan saya pun terus mempersiapkan berbagai persyaratannya, seperti membuat paspor dan membuat esai dalam bahasa Inggris. Adalah Kang Mamay Mujahid, seorang dosen bahasa Inggris di Institut Agama Islam Negeri Syekh Nurjati Cirebon, yang membantu mengoreksi esai bahasa Inggris saya yang berantakan. Ia bersedia membaca secara rinci dan mengubah banyak kalimat dan diksi dari tengah malam hingga menjelang pagi, 18-19 Agustus 2018.

Esai saya menjelaskan keberagaman masyarakat Indonesia, mulai dari suku, bahasa, tradisi, budaya, hingga agama. Namun, keberagaman itu justru pemersatu Indonesia. Bahkan, saya menjelaskan bahwa para walisongo penyebar Islam ke Indonesia itu menjadikan hal tersebut sebagai media. Tak aneh jika NU mengusung Islam Nusantara sebagai wacana perdamaian dunia. Sebab, Islam Nusantara ini merupakan metodologi yang mempersatukan antara budaya dan agama. Keduanya tidak patut dipertentangkan.

Tiga minggu setelahnya, tepatnya pada tanggal 7 September 2018, saya mendapatkan kepastian untuk mengikuti program terserbut dengan penerimaan letter of acceptance atau surat penerimaan dari pihak penyelenggara. Saya masuk ke dalam daftar 20 peserta dari seratusan pendaftar.

Di negara yang masih berbentuk kerajaan itu, saya tentu harus menyesuaikan diri dengan berbagai hal. Pertama terkait salat saya mesti salat di ruang ruang yang tidak digunakan, seperti di tangga yang sudah usang, tidak lagi digunakan dengan beralaskan atau bersajadah kertas plano. Saya mesti salat di situ. Hal ini dilakukan karena saya tidak enak hati mengganggu pekerjaan pejabat atau pegawai dari CCA guna menyediakan ruangannya. Selain itu, saat saya hendak beranjak dari Thailand menuju Malaysia, saya harus salat di tempat pemberangkatan. Sebab, bandara tidak menyediakan mushola.

Di samping itu saya juga harus menjaga makanan. Sebab tak sedikit sajian yang berbahan daging babi. Pernah suatu ketika saat sarapan semua sajian mengandung babi dari nasi goreng sampai daging-daging lembaran babi itu. Untung setiap kali sarapan, panitia atau tempat kami tinggal menyediakan roti. Tentu saya mengambil makanan kotak itu dengan mengolesinya margarin atau selai sedikit ditaburi dengan gula dan minuman teh manis hangat.

Konflik dan Perdamaian

Penulis mengenakan batik dan peci hitam (kiri)
Karena forum yang saya hadiri adalah forum perdamaian, maka yang disampaikan di sana adalah berbagai macam konflik yang terjadi di negara dari peserta masing-masing. Myanmar misalnya yang bercerita tentang banyaknya orang tanpa kewarganegaraan di daerah perbatasan antara Myanmar dan Thailand. rohingya tidak dibahas oleh mereka karena posisi Rohingya, mungkin, jauh dari lingkungan kehidupan mereka. Selain itu, mereka juga non-Muslim.

Sementara peserta dari Thailand Selatan tentu bercerita tentang subordinasi, diskriminasi, dan genosida yang terjadi di tanah mereka. Entah kenapa alasannya mereka diperlakukan sedemikian rupa. Tapi tentu saja ada perbedaan yang mungkin melatarbelakangi konflik tersebut seperti masyarakat Thailand Selatan ini mayoritas beragama Islam. Suku dan bahasa mereka juga Melayu sehingga ketika ada orang yang tidak bisa menggunakan atau bercakap berbicara dengan menggunakan bahasa Thai dianggap sebagai orang yang tidak berpendidikan, orang yang terpinggirkan.

India, Pakistan, Nepal, dan Sri Lanka berkisah tentang konflik horizontal yang terjadi di sana dengan berbagai masalahnya seperti perbedaan agama, Islam dan Hindu. Fundamentalisme keberagamaan mereka juga menjadi salah satu faktor utama yang membuat atau menciptakan konflik tersebut.

Sementara di Korea Selatan modernisasi menjadi masalah utama. Kita hanya melihat sisi baiknya atau sisi putih positifnya saja dari meledaknya industri budaya pop Korea. Tetapi bagi orang Korea Selatan sendiri, hal itu justru menjadi satu masalah yang perlu segera diatasi.

Dua puluhan peserta ini berkomitmen untuk membangun perdamaian di negara masing-masing. Hal itu akan dimulai dari hal yang terkecil di wilayah terdekat mereka dengan membuat gerakan di bidangnya masing-masing.

Forum ini juga memberikan saran agar pendidikan memasukkan keberagaman sebagai bagian dari kurikulum. Bukan hanya dipelajari sebagai materi, tetapi juga harus ditindaklanjuti dengan praktik, seperti mengunjungi tempat ibadah agama-agama, atau diskusi dan temu pelajar lintas agama guna menjalin hubungan yang lebih karib.

Oh ya, di malam penutupan, malam pentas kebudayaan, saya tampil menyanyi din al-salam. Mulanya mereka bingung mengingat liriknya berbahasa Arab. Namun, berikutnya, lirik saya ubah dengan bahasa Inggris. Meskipun saya yakin mereka tidak menikmati suaraku yang pas-pasan atau bahkan minus itu, tetapi setelah selesai, dua orang memeluk saya erat, warga India dan warga Korea. Mereka begitu memuji lagunya, bukan suaranya. Hehe. Ya, bagi mereka, lagu itu sangat menyentuh.

Islam di Thailand

Masjid Hidayatul Islam, Banhaw
Islam di Thailand datang dari Yunnan, sebuah provinsi di Republik Rakyat Tiongkok. Saya berkesempatan menunaikan shalat Jumat di Masjid Hidayatul Islam, Banhaw, Chiang Mai. Masjid yang terletak di Halal Street, Night Bazar ini dibangun oleh masyarakat Muslim Tionghoa. Jika dilihat dari cara mereka beribadah, saya mengira mereka bermazhab Syafi’i. Pasalnya, azan Jumat dilakukan dua kali.

Seorang pemateri, Suchart Setthamalinee, Ketua Departemen Studi Perdamaian Universitas Payap, menjelaskan bahwa Islam di Thailand juga kooperatif dengan budaya. Ia diberi nama dengan bahasa Thai, meskipun ia juga memiliki nama berbahasa Arab, yakni Abu Bakar dan nama berbahasa Mandarin, saya tidak hapal.

Lebih lanjut, Suchart menjelaskan bahwa ciri masjid yang dibangun oleh Muslim Tionghoa adalah tulisan masjid di pintu masuk menggunakan aksara Mandarin. Selain itu, terdapat kaligrafi ayat Al-Qur’an yang khas Tiongkok, bukan berjenis Kufi, Farisi, Tsulutsi, Riq’i, Diwani, atau Naskhi. Kaligrafi Cina memiliki ciri khas yang tentu tidak sama dengan khat lainnya. Hurufnya yang melengkung-lengkung dan sangat rapat dan padat dalam satu bentuk kotak adalah cirinya.

Sebagaimana di Indonesia, ada juga orang yang bersedekah makanan di masjid tersebut. Pengemis juga dengan sedia menyambut kita di depan gerbangnya sembari mengucap salam tulus.

Di sekitar masjid itu, dijual makanan halal. Ada berbagai jenis makanan, mulai dari kebab Turki, nasi goreng, hingga kari. Jenis yang terakhir inilah yang paling saya sukai. Sebab, bumbunya yang kaya dan sangat meresap dengan rasa sedikit pedas.

Belanja

Sebagaimana Yogya punya Malioboro, Chiang Mai punya Night Bazar dan Sunday Market. Pasar yang hanya buka pada malam hari ini menyediakan berbagai macam oleh-oleh, seperti kaos, dompet, gantungan kunci, hiasan meja, teh, kopi, dan sebagainya. Sebagai pembeli, kita mesti mahir menawar. Pasalnya, seringkali harga yang ditawarkan cukup tinggi. Kita bisa menawar hingga setengah dari harga penawaran.

Untuk sampai ke dua tempat tersebut, kita bisa menggunakan aplikasi Grab atau menggunakan kendaraan khas sana, yakni mobil merah (red car). Biaya kendaraan perorang umumnya 30 Baht. Namun, jika kita sewa untuk banyak orang, harganya bisa lebih murah.

di Night Bazar
Komunikasi pembeli dan penjual biasanya menggunakan kalkulator. Sebab, keduanya terkendala bahasa, penjual belum mahir berbahasa Inggris kecuali angka tertentu, sementara pembeli juga tidak bisa berbahasa Thai. Penjual akan mencatat nominal pada kalkulator tersebut, sementara pembeli dipersilakan mengubah digit yang tertera di layarnya. Kalkulator tidak lebih berfungsi untuk menghitung jumlah penjualan. Misalnya, saya sangat menyesal membeli kaos seharga 300 Baht dengan begitu mudahnya dari penawaran 600 Baht. Jika semudah itu, hanya dengan dua kali negosiasi, penjual melepasnya. Mestinya, kaos itu bisa lebih murah. Tapi memang, kaosnya sedikit lebih bagus ketimbang yang saya beli dengan harga 100 Baht, atau setara dengan 50 ribu Rupiah.

Penulis adalah warga Buntet Pesantren yang tengah menempuh studi di Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta sembari menjadi jurnalis di NU Online.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama