Sumber: NU Online

Oleh: Muhammad Hamdi Turmudzi

Kehidupan manusia yang senantiasa bergerak dinamis dan kondisi sosial masyarakat yang berbeda berdasarkan letak geografis, pengaruh politis, ataupun tingkat ekonomi menuntut kecerdasan para pemikir muslim untuk me-reinterpretasi ajaran-ajaran Islam.

Upaya untuk menemukan penafsiran baru teks-teks agama ini tidak mudah. Selain dibutuhkan seperangkat persyaratan ilmiah yang ketat dan integritas diri yang tinggi, seringkali upaya ini dihadapkan dengan tuduhan-tuduhan negatif dari sebagian kelompok. Teks-teks yang dimaksud bukanlah yang bersifat qath’i al-dalalah (definitive of textual implication) atau teks yang di sana tidak ada peluang bagi akal untuk memalingkannya dari makna yang dikehendaki oleh Sang Pembina syari’at (asy-syari’).

Menemukan universalitas ajaran Rasulullah saw sebagai rahmat lil-‘alamin di tengah kehidupan fisik beliau yang terbatas dalam ruang dan waktu adalah salah satu tantangan bagi para mujtahid. Rasulullah saw sebagai satu-satunya sumber dari wahyu menjadi obyek utama dari kontekstualisasi ajaran Islam. Segala yang berasal dari beliau atau disandarkan kepada beliau, baik berupa perkataan, perbuatan, sifat ataupun diamnya merupakan obyek yang akan senantiasa dikaji oleh kaum muslimin sepanjang masa.

Kontekstualisasi ajaran agama bukanlah hal yang baru, karena pernah dilakukan oleh para Sahabat di saat Rasulullah saw masih hidup. Seperti yang terjadi pada saat beliau mengutus beberapa Sahabat ke Bani Quraizhah. Beliau melarang mereka untuk melakukan shalat Ashar kecuali apabila telah sampai di Bani Quraizhah. Di tengah perjalanan, waktu Ashar hampir berakhir, sementara mereka belum sampai ke tujuan. Sebagian Sahabat melaksanakan shalat sebelum waktu Ashar berakhir. Para Sahabat ini tidak memaknai larangan Nabi tersebut secara tekstual, melainkan memahaminya dari makna yang tersimpan, yakni agar mereka cepat dalam mengadakan perjalanan. Sebagian lainnya menunda shalat Ashar sampai mereka tiba di tujuan meskipun waktu Ashar telah berlalu, karena memaknainya secara tekstual. Ketika berita mengenai adanya perbedaan ini sampai ke Baginda Nabi saw, beliau membenarkan keduanya.

Kata “kontekstualisasi” memiliki kata dasar “konteks” yang artinya menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, yaitu bagian suatu uraian atau kalimat yang dapat mendukung atau menambah kejelasan makna dan situasi yang ada hubungannya dengan suatu kejadian. Sehingga “kontekstual’ berarti “berhubungan dengan konteks”. Dalam bahasa Arab, “kontekstual” diterjemahkan menjadi “qarini” (indikasi) atau ”siyaq al-kalam” (alur pembicaraan).

Kontekstualisasi di sini maksudnya adalah memahami agama tidak semata secara tekstual, namun memahaminya berdasarkan situasi ketika teks (Al-Qur’an dan hadis) itu diturunkan kemudian mengimplementasikannya dalam kehidupan kekinian. Gus Dur mengistilahkan kontekstualisasi ajaran Islam dengan “pribumisasi Islam”. Sementara KH M. Quraish Shihab menggunakan istilah “Membumikan Al-Qur’an” –yang menjadi salah satu judul bukunya- dalam rangka mengimplementasikan nilai-nilai Al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari.

Secara garis besar, sejarah kehidupan Rasulullah saw terbagi ke dalam dua periode. Periode sebelum beliau diangkat menjadi seorang utusan Allah (qabl al-bi’tsah) dan periode pasca diutusnya beliau (ba’da al-bi’tsah). Periode ba’da al-bi’tsah itu sendiri diklasifikasikan lagi menjadi dua bagian, pra-hijrah dan pasca-hijrah.

Para pakar hadis akan memperhatikan semua yang berkaitan dengan Rasulullah saw, baik qabl al-bi’tsah maupun ba’da al-bi’tsah, karena yang menjadi perhatian mereka adalah sosok Rasulullahnya itu sendiri. Sementara para ushuli (pakar Ushul Fiqh) hanya melihat sejarah beliau ba’da al-bi’tsah, itupun hanya yang berkaitan dengan hukum (law), karena perhatian mereka adalah dalam masalah hukum. Belum ada hukum sebelum nabi diutus.

Setidaknya dibutuhkan tiga hal dalam upaya kontekstualisasi sejarah Nabi SAW dengan pendekatan ilmu Ushul Fiqh. Pertama, kedudukan dan peran Rasulullah Saw. Pada diri Nabi saw terdapat beragam kedudukan dan peran. Beliau adalah pembina syari’at untuk seluruh umat Islam. Pada saat yang sama beliau juga seorang kepala negara, hakim, mufti, pemberi nasihat, kepala keluarga dan seorang hamba Allah. Pada saat yang sama pula beliau adalah seorang manusia biasa”, dalam arti memiliki karakter-karakter tertentu yang unik. Seorang ushuli harus mampu membedakan kedudukan Kanjeng Nabi ini, karena akan memiliki konsekuensi yang berbeda dalam menentukan hukum (hasil ijtihad). Kedudukan beliau sebagai pembina syari’at (tasyri’) memang yang paling dominan, namun tidak bersifat mutlak. Keputusan Rasulullah saw terhadap dua orang Sahabat yang bersengketa, misalnya, tidak selalu bisa diterapkan untuk kasus yang sama jika itu terjadi pada orang yang lainnya.

Kedua, kondisi sosial-budaya masyarakat ArabKondisi sosial-budaya pada masyarakat di masa Rasulullah saw juga menjadi hal penting yang harus diperhatikan. Kondisi masyarakat Arab ketika beliau bersabda atau menetapkan sesuatu, dan keadaan Sahabat yang bertanya dalam hadis yang berupa dialog juga menjadi pertimbangan para mujtahid dalam menggali hukum. Keadaan ini biasa dikenal dengan istilah asbab al-wurud, meskipun mayoritas ulama berpegang pada kaidah al-‘ibrah bi ‘umum al-lafzh, la bi khushush as-sabab (العِبرَة بِعُموم اللفظ لا بِخصوص السبَب), yang menjadi pertimbangan hukum adalah redaksinya yang general, bukan sebabnya yang tertentu.

Ketiga, pengetahuan hadis yang holistik. Seseorang yang mengetahui satu hadis saja bukanlah jaminan ia mampu menggali hukum (istinbath), sampai ia yakin bahwa tidak ada hadis lainnya yang berlawanan, mambatasi (takhshish) atau yang membatalkan (naskh) hadis tersebut. Ini dari sisi matan hadis. Dari sisi sanad, ia juga harus mengetahui kualitas hadis berupa shahih, hasan atau dha’if, serta mengetahui rijal al-hadis (para perawi hadis). Pengetahuan terhadap hadis yang holistik ini dibutuhkan agar pemahamannya terhadap teks-teks hadis selamat dari cela secara ilmiah.

Selain ketentuan ilmiah, dalam rangka menjaga obyektivitas kontekstualisasi redaksi hadis, disyaratkan pula beberapa hal yang sifatnya non-ilmiah. Seperti terbebasnya diri dari keyakinan-keyakinan yang menyimpang, tidak memiliki fanatisme yang berlebihan dalam salah satu mazhab, netralitas dalam politik dan mengutamakan budi pekerti yang luhur dalam bertindak.

Kontekstualisasi hadis Nabi saw dengan pendekatan Ushul Fiqh juga harus mampu menggali maqhasid asy-syari’ah (tujuan ditetapkannya suatu hukum) yang mencakup tiga tingkatan, yaitu dharuriyat (primary needs), hajiyat (secondary needs) dan tahsiniyat (complementary needs). Bahkan maqhasid asy-syari’ahi telah menjadi cabang ilmu tersendiri yang harus dikuasai oleh seorang mujtahid kontemporer.

Kontekstualisai adalah sebuah keniscayaan di tengah masyarakat yang senantiasa berubah. Para pemikir muslim harus menemukan konteks dari teks-teks Al-Qur’an dan hadis untuk selanjutnya diaplikasikan dalam menyikapi kehidupan kekinian. Memahami makna redaksi Al-Qur’an dan hadis tidak hanya sebatas dari sisi linguistik (lughah), karena ada banyak faktor di luarnya yang menentukan hasil penafsiran dan ijtihad. Kontekstualisasi dilakukan bukan dalam rangka membuat syari’at yang baru, namun untuk kemaslahatan umat manusia dengan tidak meninggalkan pokok-pokok dan prinsip-prinsip agama yang telah disepakati.

Penulis adalah pengajar di Madrasah Aliyah Nahdlatul Ulama (MANU) Putra Buntet Pesantren

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama