Oleh:
Muhammad Hamdi Turmudzi Noor*
Para santri
yang mendalami ilmu Nahwu tentu mengenal kitab Alfiyah Ibn Mu’thi. Perekenalan
mereka dengan kitab ini bermula melalui
perantara Alfiyah Ibn Malik, di mana di dalam mukaddimahnya Ibn Malik berkata:
فَائِقَةً أَلْفِيَّةَ ابْنِ مُعْطِي
Artinya: “Alfiyah ini mengungguli
Alfiyahnya Ibn Mu’thi.”
Namun perkenalan mereka pada umumnya hanya sebatas nama, tidak lebih.
Faktornya selain kitab ini sulit didapatkan bahkan tidak dijual di toko-toko di
Indonesia, kitab ini juga tidak dipelajari di pesantren-pesantren atau
lembaga-lembaga pendidikan di tanah air. Alfiyah Ibn Malik memang telah
mengunggulinya dari segi banyaknya digunakan dan dipelajari oleh masyarakat
pendidikan, utamanya pendidikan agama Islam, baik di dalam negeri maupun di
luar negeri.
Ibn Mu’thi bernama Yahya bin ‘Abd al-Mu’thi bin ‘Abd an-Nur Az-Zawawi
Al-Maghribi Al-Hanafi. Kun-yahnya adalah Abu al-Hasan atau Abu Zakaria. Ia
populer dengan nama Ibn Mu’thi yang ejaannya boleh menggunakan Ya (ابْنُ مُعْطِي) atau tanpa Ya (ابْنُ مُعْط). Nama Az-Zawawi merupakan nama
marga/nisbat dari Zawawah, yakni sebuah suku besar di kota Bejaia, Aljazair.
Ia lahir di Maroko pada tahun 564 H. Selanjutnya pada sekitar tahun 590
Hijriyah ia pindah ke Damaskus, Syiria
pada masa Dinasti Ayyubiyah. Boleh jadi kepindahan ia ke Damaskus ini didorong
oleh faktor ekonomi. Karena secara ilmiah, ia sudah mencapai tingkatan yang
tinggi.
Ibn Mu’thi
memiliki hubungan dengan Al-Kamil, penguasa Dinasti Ayyubiyah saat itu. Al-Kamil
merupakan penguasa yang mencitai ilmu, sebagaimana umumnya penguasa-penguasa
Ayyubiyah. Setiap malam Jum’at, Al-Kamil mengumpulkan ulama-ulama dan
tokoh-tokoh untuk berdiskusi. Pada suatu ketika, Al-Kamil bertanya, “Apakah
pada kalimat زَيْدٌ
ذَهَبَ بِهِ, lafal زَيْدٌ
boleh dibaca nashab?”. Mereka menjawab, “Tidak boleh”. Ibn Mu’thi menjawab,
“Boleh dibaca nashab dengan cara fa’il-nya ذَهَبَ adalah mashdarnya, yaitu الذهاب.
Sedangkan jar majrur -yakni lafal بِهِ- berkedudukan nashab. Maka kalimat ini menjadi seperti زَيْدٌ مَرَرْتُ بِهِ, di mana “زَيْدٌ” di sini bisa dibaca nashab. Begitu pula di sana.”
Al-Kamil puas mendengar dengan jawaban Ibn Mu’thi ini. Al-Kamil pun mengajak ia pergi ke Mesir. Tidak diketahui secara
pasti kapan ia ke Mesir. Kemudian ia ditetapkan menjadi pengelola dan pengajar
nahwu dan sastra di Masjid Jami’ ‘Amr bin al-‘Ash. Namun Ibn Mu’thi tidak lama
berada di Mesir. Ia wafat di Mesir tahun 628 Hijriyah dan dimakamkan di dekat
makam Imam Asy-Syafi’i.
Ibn Mu’thi memang bukan ulama yang pertama kali
menulis ilmu nahwu dalam bentuk nazham. Karena Imam Al-Khalil bin Ahmad Al-Farahidi
(w. 173 H/791 M)), gurunya Imam Sibawaih, telah mendahuluinya. Hanya saja nazham
Imam Al-Khalil ini tidak berupa buku/kitab, akan tetapi sebatas pada masalah
huruf ‘athaf. Kemudian muncul Ahmad bin Manshur Al-Yaskuri (w. 370 H)
yang menulis nahwu dalam bentuk nazham dengan bahr rajaz di mana
jumlah baitnya mencapai 2910 bait.
Meskipun bukan yang pertama menulis nazham nahwu, Ibn Mu’thi adalah ulama pertama yang menggunakan kata “Alfiyah” untuk nama
kitabnya. Saat
menyelesaikan kitab monumentalnya itu, ia masih berusia 31 tahun. Selanjutnya ulama-ulama lain mengikutinya. Nama Alfiyah itu sendiri tidak
dikhususkan untuk ilmu nahwu saja, tetapi juga untuk ilmu-ilmu lainnya, seperti
Alfiyahnya Zainuddin Al-Iraqi (w. 806 H) dalam Ilmu Hadis dan Alfiyahnya
Syamsuddin Al-Burmawi Asy-Syafi’i (w. 831 H) dalam Ushul Fiqh. Disebut
“Alfiyah” karena berisi 1000 bait atau lebih.
Pada umumnya, ulama dalam menyusun nazham hanya terdiri dari satu
macam bahr. Namun Alfiyahnya Ibn Mu’thi terdiri dua macam bahr,
yaitu rajaz dan sari’. Dalam ilmu nahwu, ia bermazhab Bashrah,
meskipun dalam beberapa masalah ia sependapat dengan mazhab Kufah.
Alfiyah Ibn Mu’thi banyak diperluas (syarh) oleh ulama-ulama
generasi berikutnya. Salah satunya syarh sekaligus tahqiq karya
Doktor Ali Musa Asy-Syumali yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1985 oleh
Maktabah Al-Khirriji di Riyadh. Syarh-syarh lainnya masih berupa
manuskrip.
Setelah Ibn Malik, muncul Jalaluddin As-Suyuthi (w. 911) yang menulis
Alfiyah dalam ilmu nahwu. Di dalam mukadimahnya, As-Suyuthi berkata:
فَائِقَةً أَلْفِيَّةَ ابْنِ مَالِكِ
Artinya: “Alfiyah ini mengungguli
Alfiyahnya Ibn Malik”.
Kemudian muncul Ali Nuruddin Al-Ujhuri Al-Maliki (w. 1066 H) yang juga
menulis Alfiyah. Al-Ujhuri berkata:
فَائِقَةً أَلْفِيَّةَ السُّيُوطِي
Artinya: “Alfiyah ini mengungguli
Alfiyahnya As-Suyuthi”.
Barangkali di kemudian hari ada yang menulis Alfiyah
juga, lalu berkata:
فَائِقَةً أَلْفِيَّةَ الأُجْهُورِي
Artinya: “Alfiyah ini mengungguli
Alfiyahnya Al-Ujhuri”.#
والله أعلَم
*Penulis adalah guru Madrasah Aliyah Nahdlatul Ulama (MANU) Putra
Kang ,ada kitabnya gk kang ? Ana mau beli kitab alfiyyah ibnu mukthi tpi susah nyarinya
BalasHapusPosting Komentar