Tomi bersama Wakil Ketua MPR H A Muhaimin Iskandar dan Dewan Juri KH Abdul Moqsith Ghozali |
Thomiur Ridlo berhasil menjadi terbaik kedua pada ajang Musabaqah Qiraatil Kutub (MQK) Ihya Ulumiddin tingkat nasional di Jakarta pada Jumat (30/11). Warga Buntet Pesantren yang tengah menjalani pengabdian di Pondok Pesantren As-Saadah li Nahdlatil Ulama, Tangerang, Banten itu mewakili provinsi yang menjadi tempat domisilinya saat ini.
Tomi, sapaan akrabnya, sebelumnya berhasil menjadi terbaik pertama di tingkat Provinsi Banten. Ia mampu meraih nilai 93.3, unggul 7.3 poin dari rekannya di peringkat kedua dan peringkat ketiga mendapat nilai 83.
Capaiannya di tingkat provinsi itu tak lepas dari giatnya bertawasul kepada sang penulis kitab tersebut, yakni Imam Al-Ghazali. Hal itu juga membuatnya malu karena pernah menolak permintaan gurunya untuk mengikuti lomba mewakili pondoknya di Lirboyo.
Setelah itu, ia langsung memohon maaf dan restu gurunya. "Alhamdulillah lanjutkan saja. Saya ikut bangga dan bahagia kalau kamu sukses. Semoga sukses, berkah dan manfaat," kata gurunya menjawab permohonan tersebut.
Di tingkat nasional, selain tentu terus melakukan pendalaman, ia juga memohon doa orang tua, guru, dan rekannya untuk mendukung penampilannya di hadapan juri.
Meski Tomi berhasil menjadi terbaik kedua, ia merasa menyesal tak menjadi terbaik pertama. Ditanya bagaimana mengatasi penyeselannya itu, ia hanya menjawab, "Ngopi, Kang."
Mulanya, pria yang tergolong generasi milenial ini merasa optimis bisa menjadi peserta terbaik melihat dua peserta lainnya di ajang grand final. Sebelumnya, tiga peserta ini berhasil menyisihkan 16 peserta lainnya.
Namun, optimisme itu harus pupus manakala ia tampil bagai orang bingung pada maksud teks yang ia baca, yakni tentang laknat.
"Tidak konsisten terhadap satu konsep," katanya.
Tomi (kanan) bersama Dewan Juri Ny Badriyah |
Alhasil, juri pun tak memberi nilai sempurna padanya dan ia menduduki peringkat kedua.
Tomi memilih Ihya karena merasa punya ikatan batin. Intuisinya mengarah ke sana. Sebelumnya, ia ditawari untuk mengikuti lomba Alfiyah Ibnu Malik juga.
Lebih lanjut, ia bercerita bahwa enam bulan silam, gurunya di Lirboyo pernah memintanya menerjemahkan Bab Amar Maruf Nahi Mungkar dalam kitab tersebut. Menurutnya, keberhasilan dalam lomba dan permintaan gurunya itu mengarahkannya agar ia terus mendalami magnum opus Al-Ghazali itu.
(Syakir NF)
Posting Komentar