Sumber: NU Online |
Oleh: Muhammad Fayad Hazami
Selamat tahun baru 2019! Di tahun ini, terdapat sebuah hajatan
besar yang akan dihelat oleh negara kita, yaitu pemilihan presiden periode
2019-2024.
Sudah sepatutnya perhelatan ini menjadi momentum bagi kita, bangsa
Indonesia, untuk membuktikan bahwa sistem demokrasi di negeri ini adalah yang
terbaik di dunia. Namun alih-alih mempererat kekompakan, bangsa ini justru
kerap kali terpecah belah menjelang pilpres yang kian dekat. Hal itu banyak
disebabkan oleh berita-berita hoaks yang disebar secara sistematis. Ambil
contoh salah satu yang paling sering dikemukakan dan memang sudah sejak lama
beredar, adalah kabar Presiden Joko Widodo yang berasal dari etnis China dan
dianggap antiislam.
Berbicara mengenai hoaks, kita sudah tidak asing lagi dengan kata
tersebut. Beberapa tahun belakangan kita memang jadi sering mendengar kata
yang, menurut KBBI, merupakan kata cakapan dan bermakna 'berita bohong' itu.
Lantas, sejauh mana sebuah kabar bisa dikatakan bohong dan dianggap hoaks?
Jika merunut pada ilmu Nahwu, ilmu tatabahasa Arab, yang dikaji di
pesantren, dijelaskan bahwa kalam khobar ialah sebuah perkataan yang masih
mungkin benar ataupun salah.
مَا يَحْتَمِلُ الصِّدْقَ
وَالْكَذِبَ
Jadi pada dasarnya, selama itu bukan kalam insya', maka semua
perkataan masih memiliki kemungkinan mengandung unsur kebohongan. Bahkan
Al-qur'an pun, jika tidak meninjau Allah sebagai qo'il, adalah sekumpulan kalimat
yang masih mungkin bohong. Kemudian, kalam khobar bisa benar-benar dianggap
bohong adalah bila ucapan tersebut tidak sesuai kenyataan.
الْكَذِبُ مَا لَا يُوَافِقُ
الْوَاقِعَ
Namun kendati demikian, kita pun tidak boleh terlalu kaku untuk
menetapkan sebuah pernyataan sebagai hoaks, hanya karena tidak sesuai dengan
kenyataan. Dalam ilmu Balaghoh yang diajarkan di pesantren, terdapat sebuah bab
yang memaparkan dengan jelas bentuk-bentuk kalimat yang tidak sesuai dengan
kenyataan, namun tidak bisa dikatakan hoaks (kebohongan). Syekh
Abdurrahman al-Akhdlari, misalnya, mencatat dalam kitabnya yang berjudul al-Jauhar
al-Maknun sebagai berikut.
وَلَيْسَ فِى الْإِيْهَامِ
وَالتَّهَكُّمِ # وَلَا التَّغَالِيْ بِسِوَى الْمُحَرَّمِ
مِنْ كَذِبٍ وَفِى الْمِزَاجِ
قَدْ لَزِبْ # بِحَيْثُ لَا مَنْدُوْحَةٍ عَنِ الْكَذِبْ
Nadzom diatas menjelaskan bahwa ada
tiga jenis susunan kalimat yang tidak bisa dikatakan hoaks kendati
berbeda dengan kenyataan, yaitu iihaam, tahakkum dan taghaali. Sebagai contoh,
iihaam, atau yang biasa disebut tauriyah, dalam syarahnya dicontohkan ayat Al-Qur'an.
وَالسَّمَاءَ بَنَيْنَاهَا
بِأَيْدٍ
Secara harfiah, ayat tersebut berarti, "Dan telah Aku bangun
langit dengan menggunakan tangan". Jika demikian, ayat itu mengindikasikan
bahwa Allah swt. mempunyai tangan. Padahal pendapat para ulama mengatakan bahwa
Allah swt adalah Dzat yang tidak mempunyai jisim. Lantas apakah dengan adanya
ayat tersebut bisa dikatakan Al-Qur’an telah menyebar berita hoaks? Tentu
tidak. Karena lafadz أيد dalam ayat tidak
ditafsiri 'tangan', melainkan 'kekuasaan'. Itulah yang dinamakan jenis susunan
kalimat tauriyah.
Melalui penjabaran di atas, sudah jelas bahwa kita sebagai santri
yang mengamalkan ilmu, dituntut untuk teliti dan selektif dalam menyaring
berita yang beredar, agar tidak terjerumus ke dalam jurang hoaks. Terlebih saat
akan membagikan ulang berita yang kita baca di grup whatsapp misalnya. Jika ternyata
itu adalah hoaks, maka disamping merugikan diri sendiri, kita juga akan
merugikan orang lain. Sikap selektif ini sudah diajarkan dalam Al-Qur’an surat
Al-Hujurat ayat 6, Allah swt. berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءَكُمْ فَاسِقٌ
بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَن تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ
مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
Artinya: "Wahai orang-orang beriman, jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu".
Allah swt. memerintahkan kita untuk mencari tahu kebenaran berita yang
datang kepada kita lebih dahulu, dan tidak menelannya mentah-mentah. Karena, besar
kemungkinan berita yang datang dari orang fasiq tersebut mengandung kebohongan.
Dalam tafsir Ash-showiy dijelaskan, فاسق
yang dimaksud dalam ayat adalah نمام
(pengadu domba). Sangat relevan bukan dengan kondisi bangsa Indonesia menjelang
pilpres seperti ini?
Penulis adalah warga Buntet Pesantren
Posting Komentar