Oleh: Abdul Wahid

Memang John Kennedy, mantan presiden negeri Paman Sam (Amerika Serikat)
ini pernah bilang ”jangan tanya apa yang akan diberikan negara
kepadamu, tetapi bertanyalah pada dirimu apa yang akan engkau berikan
untuk negaramu”, namun apa yang disampaikan Kennedy ini sering
disalahmaknakan atau diselingkuhkan interpretasinya oleh kalangan elit
politisi, khususnya mereka yang sedang duduk di ranah pemimpin
(pejabat, birokrat).



Ungkapan itu ditembakkan kepada rakyat supaya
rakyat berfikir, bersikap, dan berbuat semata-mata hanya
(mengabsolutkan loyalitas) untuk dan demi negara. Rakyat dilarang atau
diharamkan berfikir, bersikap, dan berbuat yang tidak untuk negara,
termasuk segala daya yang dipunyai oleh rakyat harus dipersembahkan
pada negara, baik negara ini meminta atau tidak.

Kalau sudah seperti
itu, maka yang besar tentulah negara, pasalnya segala yang dimiliki
oleh rakyat dipersembahkan atau halal diambil oleh negara. Rakyat tak
lebih dari sekedar sebagai sekumpulan manusia yang menunggu perintah,
menantikan jadi obyek pemberlakuan hukum, dan tidak sepantasnya
menolak, apalagi sampai melakukan oposisi pada negara.

Dalam posisi
itu, negara menjadi organisasi suci, kiblat utama paradigma, atau
kekuatan monoloyalitas yang tak terbantahkan, karena di dalam dirinya
terdapat sumber-sumber sakralitas dan superioritas, serta privilitas
yang membuat rakyat hanya bisa mengikuti apa yang dimaui oleh negara,
dan bukan negara yang mengikuti apa yang dimauinya.

Jika paradigma
yang bertahan atau dilestarikan dalam diri negara itu adalah
monoloyalitas rakyat, maka negara seperti ini tidak lebih dari sebuah
gambaran ”negara tanpa kelamin” atau negara tanpa alat vital, negara
tanpa aurat, negara tanpa merasa perlu punya harga diri. Paradigma ini
dapat terbaca dalam kasus lumpur lapindo misalnya, yang menempatkan
warga Porong layaknya kurcaci yang tak punya negara.

Di dalam
dirinya (negara) hanya tersimpan ambisi, rumusan target-target, atau
pergulatan kepentingan yang menempatkan rakyat sebatas kumpulan korban
yang absah dikorbankan secara sistemik dan berlapis, kumpulan
manusia-manusia kalah yang permisif untuk terus dikalahkan, atau
sekumpulan kurcaci yang tak boleh dikasih hati atau hanya ”berhak” mati
dimana saja kapan mereka mau, termasuk diseret oleh banjir lumpur
lapindo yang sewaktu-waktu bisa terjadi.

Paradigma Kennedy di atas
sebenarnya tidak akan menempatkan negara membuat rakyat terpinggir,
tergusur, dan terkerangkeng dalam ketidakberdayaannya, manakala setiap
elemen bangsa menempatkan dirinya sebagai rakyat. Kalau dalam ranah ini
memberdaya prinsip egalitarianisme, alias tidak ada diskriminasi dalam
pemberlakuan kewajiban terhadap negara, maka rakyat kebanyakan tidak
akan kesulitan menjalani kehidupannya dengan atmosfir kesejahteraan,
kedamaian, dan kemakmuran.

Yang membuat rakyat di negari ini tetap
kesulitan menuai kesejahteraan hidupnya adalah sikap dan perilaku
sebagian kecil rakyat, yang sedang dipercaya mengemban misi besar
negara atau kemana-mana merepresentasikan dirinya sebagai ”rasul
negara”, yang aktifitas kesehariannya bukan diperuntukkan
sebesar-besarnya demi negara dan untuk negara, melainkan demi
kepentingan pribadi, golongan, kroni, korporasi, dan partai-partainya.

Diantara
elit kekuasaan (pemimpin) negeri ini, sangat gampang kita ditemukan
mental mentolelir, menasbihkan gaya asal boleh, asal aman, dan
menguntungkan, atau menghalalkan berbagai bentuk penjualan atau
pembisnisan aset-aset rakyat. Apa saja yang menjadi sumberdaya atau
penyangga keberlanjutan hidup bangsa terus menerus digali,
dieksploitasi, dan dikomoditi guna memperbesar pundi-pundi keuntungan
ekonomi atau sekedar memuaskan ambisi-ambisinya yang tidak pernah kenal
titik nadir.

Target memperkaya diri dan kelompok, serta meningratkan
status sosial telah membuat pemimpin kita layaknya segerombolan
”pembunuh berdarah dingin” yang menebar ancaman kematian dimana-mana.
Meski mereka ini tak membuat rakyat mati mengenaskan secara langsung,
namun akibat apa yang diperbuatnya, rakyat terkeroposi keberdayaan dan
keberlanjutan hidupnya.

Rakyat tidak ubahnya kantong basah yang
terus menerus dikuras dan diperasnya supaya konstruksi kekuatannya
habis. Apa saja yang masih melekat dalam diri rakyat terus dicari dan
kemudian dikalkulasi secara matematis nilai keuntungan yang bisa
diperolehnya jika dijadikan obyek jual, baik kepada pebisnis di dalam
negeri maupun kalangan sindikat global.

Sindikat global telah
membuat elit pemimpin negeri ini terpuruk dalam ketidakberdayaan,
sehingga saat rakyat dilecehkan, diperdaya habis-habisan, atau mulai
dari kekayaan intelektual (seperti jenis lagu sampai reog) hingga
kekayaan fundamental yang paling menentukan hajat hidup (keberlanjutan)
bangsa dirampok orang atau negara lain, elit-elit kita tidak punya
kekuatan melawannya, atau surut nyali dengan apologis yang irasional
dan disobyektifitas.

Sebut saja mulai dari pasir, habitat laut,
kekayaan hutan, hingga anak-anak bangsa yang masih berumur belasan
tahun, telah diperlakukan oleh pemimpin bermental pedagang dan
tengkulak itu untuk dijual kepada sindikat-sindikat global atau
oknum-oknum pemodal dari negara lain, yang sudah menempatkan Indonesia
sebagai ”Republik Tengkulak”, yang berjaya.

Rakyat di negeri ini
tidak banyak yang paham kalau dirinya punya kedaulatan yang idealnya
dijunjung tinggi dan ditegakkan dengan titik darah penghabisan (kinerja
maksimal) oleh ”rasul negara”. Mereka sebenarnya tidak banyak
”meminta”, apalagi sampai memaksa dengan radikalitas dalam hidup
bermasyarakat dan bernegara ini.

Mereka misalnya cukup diberi hak
pangan murah, jaminan layanan kesehatan dan pendidikan gratis, upah
standar minimum dan perlindungan keselamatan kerja, yang jika ini
diwujudkan oleh ”rasul negara”, maka mereka tentu akan jadi kelompok
pendiam atau membisukan diri dalam kesederhanaan, atau tidak sampai
susah-susah menggelar demo dan menciptakan apa yang disebut oleh JK.
Skolnick ”peradilan tanpa pengadilan” (baca: pengadilan jalanan).

Identitas
sebagai ”rasul negara” yang melekat dalam diri segelintir elit jauh
dari mencerminkan nilai-nilai moral kenabian (keberagamaan), mengingat
dalam dirinya hanya membara keinginan atau ambisi-ambisi yang berpola
penaklukan, penjarahan, dan penghancuran sumberdaya bangsa. Apa saja
yang masih tersisa, layak digali, dan dikalkulasi mendatangkan
keuntungan ekonomi dan politik berlaksa, dijadikannya sebagai obyek
penguatan dirinya.

Segelintir elit yang terkadang lancar bertitah
kalau dirinya sekumpulan pemimpin itu tidak lebih dari sosok atau
pemain panggung kekuasaan yang terseret menghilangkan ”kelamin” negara.
Mereka tidak merasa malu, tak menggunakan standar moral, mengeliminasi
parameter etika, dan bahkan ”membunuh” komitmennnya untuk memanusiakan
rakyat negeri ini.


* Dekan Fakultas Hukum Unisma, Ketua LTNU Kota Malang, dan Penulis Buku ”Republik Kaum Tikus”

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama