liberalOleh : M Fathi Royyani




Suatu kali ada SMS (Short Message Service) dari seorang kawan yang berisi tentang pokok-pokok keyakinan dia terhadap doktrin kebenaran yang ia temukan dalam ayat suci al-Quran. Pada kesempatan yang lain ada SMS dari kawan lain yang mempunyai keyakinan yang bertolak belakang dengan kawan pertama. Ia juga selalu membarengi dengan teks-teks suci tetapi dengan penafsiran yang berbeda. Masing-masing mengklaim bahwa yang benar adalah kelompoknya. Dari pesan yang terbaca tampaknya mereka tidak rela bila hidup berdampingan secara wajar.


 



Pertanyaan yang kemudian timbul adalah: sebenarnya kebenaran itu milik siapa? Dan apakah kita sudah berada pada jalan kebenaran, padahal semua menuju pada kebenaran? Gambaran di atas menunjukkan fenomena dan sekaligus dilema kehidupan keberagamaan yang ada di Indonesia.


 




Respons masyarakat Islam terhadap dampak negatif dari globalisasi atau modernitas dapat dipilah menjadi dua aliran besar, pertama fundamentalis yang melawan arus globalisasi dan modernisasi dengan cara berhadapan. Mereka memberikan alternalif dunia yang bisa dimiliki dengan cara kembali kepada kitab suci dan contoh perilaku nabi, tetapi dengan penafsiran yang tekstual. Hal ini menurut mereka akan bisa menyelesaikan krisis moral yang melanda masyarakat Islam karena dampak buruk dari globalisasi.




Respons yang kedua adalah dengan cara toleransi, aliran ini melakukan perselingkuhan dengan globalisasi dan modernisasi. Menurut kelompok ini umat Islam mundur karena mereka tidak bisa beradaptasi dengan zaman yang modern, untuk itu perlu adanya penafsiran ulang atas teks suci dan perilaku nabi. Penafsiran yang baru tersebut tidak melihat teks suci secara tekstual atau apa yang tersurat tetapi juga dengan melihat apa yang tersirat.




Yang menarik dari munculnya dua respons di atas adalah mereka masing-masing mengklaim kebenaran ada di pihaknya dan mereka cenderung bermusuhan antara satu dengan lainnya. Di samping itu ketika memahami realitas yang sama mereka merujuk pada sumber yang sama namun berbeda cara mengambil maksud dari sumber yang diambil, dan hal ini yang menjadi titik lemah dari keberagamaan umat Islam.




Kaum fundamentalis dan kaum liberalis dalam masyarakat Islam khususnya di Indonesia bila menghadapi realitas sosial akan kembali ke sejarah, mereka akan menengok ke belakang (hadis) untuk menatap realitas ke depan. Artinya keberagamaan kita masih mempunyai tali yang sangat kuat dengan sejarah nabi. Karena itu, pertama, perlu adanya bacaan baru terhadap hadis. Sebuah teks hadis bisa saja dibaca secara tekstual karena memang seperti itu adanya. Kedua, mengambil substansi dari teks hadis. Ketiga, bisa saja teks hadis tersebut
tidak dibaca. Ketiga bacaan terhadap hadis tersebut disesuaikan dengan realita yang dihadapi oleh masyarakat.




Gerakan fundamentalis




Munculnya gerakan liberalisasi besar-besaran dalam kancah pemikiran Islam di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari konteks keberagamaan yang kini sedang marak. Wajah Islam di Indonesia akhir-akhir ini diwarnai dengan gerakan ekstremisme dan radikalisme agama. Suatu keniscayaan sejarah tampaknya yang menggerakkan mengapa banyak kalangan yang semula hanya sekadar bersikap moderat, kemudian dengan lantang menyuarakan ketidaksetujuannya dengan pola gerakan dan perjuangan kelompok-kelompok Islam yang sering dianggap sebagai kalangan fundamentalis Islam. Memang, keberadaannya juga tidak dapat dicegah karena kehadirannya merupakan respons sejarah dan gerak zaman yang terkesan memojokkan peran dan kipran umat Islam.




Wajar saja jika istilah fundamentalis sampai kini masih menjadi perdebatan, karena asal dari istilah itu sendiri bukan berasal dari Islam, melainkan dari agama Kristen Protestan yang menganjurkan untuk merujuk pada teks klasik dan ditafsirkan secara literer terutama ketika mereka dihadapkan pada teori evolusionisme Darwin. Sehingga menurut satu pandangan adalah tidak tepat dalam memberikan persamaan dengan masyarakat Islam, karena realitas yang dihadapi berbeda.




Tetapi pandangan yang lain justru menerima itu sebagai istilah yang digunakan dalam memahami masyarakat Islam, menurutnya istilah fundamentalis bukan sebagai istilah yang menyudutkan melainkan sebagai istilah akademik semata.
 
Terlepas dari perdebatan seputar istilah fundamentalis, baik yang pro atau yang kontra, yang terpenting bagi kita sekarang adalah pemaknaan terhadap istilah fundamentalis dan menjelaskan fenomena yang terjadi dalam masyarakat. Karena antara satu negara dengan negara yang lain mempunyai pemaknaan yang berbeda terhadap istilah fundamental. Di Afrika misalnya, istilah fundamental merujuk pada aliran yang tidak berpegang pada formalisme agama melainkan pada substansi dari agama.




Setidaknya terdapat dua teori besar dalam menjelaskan fenomena fundamentalis di Indonesia. Pertama, teori yang melihat fenomena tersebut sebagai  kesinambungan dengan sejarah panjang umat Islam yang mengalami banyak perubahan sosial, seperti yang dilakukan oleh Ernest Gellner. Menurutnya, Islam sebagai agama yang hidup di tengah masyarakat akan selalu menunjukkan pada dua model Islam, yaitu Islam Tinggi atau Islam yang ada dalam mayarakat atau kelas elite Islam dan biasanya tumbuh di wilayah perkotaan. Islam model ini dalam bahasa Ernest disebut dengan Islam tradisi Tinggi (high tradition).




Sedangkan model yang lain adalah Islam yang hidup dalam masyarakat biasa. Ajaran agama Islam dalam tradisi ini sudah bercampur baur dengan tradisi lokal yang sebelumnya telah hidup di masyarakat dan biasanya hidup dalam masyarakat pedesaan. Untuk model Islam yang hidup di tengah masyarakat seperti ini istilah yang digunakan oleh Ernest adalah Islam tradisi rendah.

Kedua model Islam ini selalu hadir dalam sejarah sosial yang dilewati oleh masyarakat Islam, semenjak zaman nabi sampai dengan sekarang ini. Walaupun teori ini banyak terdapat peluang untuk kritik, tetapi teori ini setidaknya bisa menjelaskan keterkaitan gerakan fundamentalis dengan gerakan puritan yang terjadi ratusan tahun yang lalu dalam sejarah sosial umat Islam.




Teori yang kedua adalah teori yang melihat gerakan fundamentalis sebagai gerakan yang melawan pengaruh dari luar. Munculnya globalisasi dan pesatnya perkembangan teknologi, informasi dengan segala dampaknya akan terasa bagi umat Islam yang pada akhirnya bisa memunculkan gerakan perlawanan. Contoh yang paling aktual adalah invasi Amerika ke Irak. Dengan adanya teknologi informasi yang canggih, maka rencana serangan itu cepat diketahui oleh masyarakat Islam di belahan dunia yang lain. Bagi gerakan fundamentalis, rencana serangan Amerika tersebut makin memberi peluang untuk bersuara.
Mereka menafsiri rencana serangan ke Irak sebagai rencana penghancuran Islam.

Contoh yang lain adalah serangan teroris yang terjadi pada tanggal 11 September 2001. Dampak serangan ini dan publikasi media massa, dengan cepat mampu menyulut sikap anti-Islam bagi gerakan fundamentalis Kristen. Peristiwa itu seolah menjadi jeda bagi pihak yang merasa terganggu dengan Islam fundamentalis, untuk melancarkan pembumihangusan terhadap para teroris. Dan kelompok Islam-lah yang menjadi sasaran utama dengan ikon teroris tersebut. Kita bisa membaca bagaimana Afghanistan menjadi ajang tekanan psikologis sekaligus gertakan terhadap mereka yang berani melawan kalangan liberal kapitalis, khususnya AS.




Fenomena Islam liberal




Dalam konteks inilah, terdapat genre baru dari kelompok Islam yang lain, menyuarakan getir-getir gagasan yang telah tercecer dari pemikir sebelumnya. Suara yang telah lirih didendangkan seorang Nurcholish Madjid atau Abdurrahman Wahid, umpamanya, kini terdengar lagi dengan lantang. Adalah kelompok Jaringan Islam Liberal yang dengan gagah dan tegas menyuarakan perlawanannya terhadap kelompok Islam yang secara literal dan menggunakan aksi kekerasan dalam memperjuangkan ke-Islamannya terutama penegakan syariat Islam.




Tentu saja kehadiran Jaringan Islam Liberal ini mendapat respons yang bervariasi karena masyarakat Islam di Indonesia telah terpilah-pilah berbagai faksi, dan yang terbesar adalah NU dan Muhammadiyah. Namun mereka tampaknya sepakat bahwa proses liberalisasi harus dilakukan. Moderasi dan toleransi yang selama ini diusung NU misalnya harus secara tegas disuarakan sebagai bentuk liberalisasi terhadap pemahaman atas teks-teks Islam.




Istilah liberal sendiri masih memberikan makna pejoratif di kalangan masyarakat. Karenanya akan sangat baik jika kita menelusuri akar istilah ini agar tidak menjadi bumerang bagi gerakan liberalisasi Islam yang kebablasan. Tampaknya istilah ini diadopsi dari Revolusi Prancis yang mendengungkan kebebasan bersuara, berpendapat. Kata liberal berarti bebas, dan bila ini dikaitkan dengan Islam maka yang muncul adalah gerakan yang mendukung Islam sebagai agama pembebasan, atau ajaran Islam pada dasarnya pro-kebebasan. Untuk kasus Indonesia, istilah yang menyamai dengan liberal adalah Islam Inklusif yang dipopulerkan Alwi Shihab, Islam Pluralis yang digaungkan Nurcholish Madjid, atau Islam Emansipatoris dan Islam Post-Tradisional yang dilambungkan Abdurrahman Wahid (Gus Dur).




Aliran ini pada dasarnya ingin menjelaskan bahwa Islam sebagai agama maupun norma sosial sesuai dan akan selalu sesuai dengan zaman, tentunya melalui penafsiran ulang yang terus-menerus. Kelompok ini juga mengatakan bahwa Islam bisa hidup berdampingan dengan siapa saja. Ajaran Islam bersifat terbuka terhadap ideologi dan perkembangan zaman. Oleh sebab itu, dapatlah kita sebut gerakan baru ini sebagai bentuk liberalisasi baru atau neo-liberal, karena dalam perjuangannya lebih terbuka dan berani dengan menggunakan institusi yang jelas-jelas  mengkampanyekan pemaknaan dan pemahaman baru atas Islam.

Institusionalisasi pemikiran inilah yang membedakannya dengan angkatan tahun 1970-an yang lebih cenderung pada tataran pemikiran saja. Namun bukan tanpa masalah ketika berada dalam tataran praksis. Kelompok ini selalu berhadapan dengan aliran fundamentalis dan masing-masing mengklaim kebenaran ada di pihaknya. Contohnya adalah kasus yang menimpa Ulis Abshar Abdalla. Ia menulis dan menafsirkan ajaran agama secara bebas, tetapi sayangnya dalam tulisan Ulil seolah menafikan adanya komunitas yang memiliki tafsiran yang berbeda terhadap teks suci.




Hal ini tidak akan terjadi kalau mereka memahami realitas masing-masing. Di sini yang diperlukan adalah adanya kesepakatan bahwa mereka berbeda dan tetap menghargai perbedaan itu, maka nanti yang akan terjadi adalah penghargaan terhadap komunitas yang lain. Dan apabila melihat realitas Indonesia sekarang, yang kita butuhkan adalah bukan argumen yang kuat dan benar, tetapi bagaimana kiprah mereka dalam memperbaiki kehidupan masyarakat yang lebih luas.





M. Fathi Royyani, putra Keluarga Buntet Pesantren; Peneliti LIPI, Tinggal di Bogor.  Alumni MANU Buntet Pesantren Cirebon







Artikel ini diambil dari Harian Republika.




 

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama