posoOleh : M. Zaim Nugroho*


Setiap kita menyelesaikan melaksanakan shalat, kita menengok ke kanan dan ke kiri sebagai ungkapan untuk menebarkan salam di sekeliling kita. Setiap tahun ada  ramadhan bulan yang penuh kasih sayang dimana kita sebagai umat manusia dituntut untuk memanifestasikan rasa kasih sayang itu untuk peduli dan saling menghormati terhadap sesama umat manusia.  Kekerasan massa dimanapun berada telah banyak mencoreng bangsa ini.



 



Tahun-tahun sebelumnya  misalnya di Poso,
meninggalkan luka mendalam korban dari sebuah kekerasan massa yang
terjadi akibat konflik yang timbul atas nama Agama. Agama yang
sejatinya dituntut untuk membawa umat manusia menjadi pengayom bagi
kehidupan manusia dirusak karena masalah fanatisme sempit dan
buta,mereka menggap kelompok lain sebagai sesuatu yang layak untuk
dimusnahkan. Untuk itu pulalah saya akan sedikit mendiagnosa kekerasan
Massa dalam sudut pandang Ilmiah.



 





Di dalam bukunya memahami negatifitas “ diskursus
tentang Massa, Teror, dan Trauma, F.Budi Hardiman mempertanyakan
Mengapa manusia melakukan kekerasan kepada sesamanya? Pertanyaan itu
akan muncul karena timbul keheranan dari diri kita. Keheranan adalah
sebuah persaan yang timbul dari diri kita ketika menghadapi sesuatu
yang tidak lazim. Bayangkan bila di dalam masyarakat kita kekerasan
dianggap sesuatu yang lazim. Pasti tak ada keheranan yang muncul
atasnya, akal pun tertidur dan secara bersamaan dengan itu kekerasan
tidak pernah dipersoalkan.







Kekerasan massa seperti kerusuhan, huru-hara,
pengeroyokan, penjarahan, pembantaian, pemberontakan, revolusi dan
seterusnya meruapakan fenomena yang sangat diminati tidak hanya oleh
para politikus ,melainkan juga para sejarawan, sosiolog, filusuf,
psikolog, sastrawan, dan kritikus kebudayaan. Kekerasan sering meletus
dalam sejarah umat manusia. Pemberontakan budak dizaman Romawi
kuno,peralawanan rakyat Prancis melawan Raja Lois ke IV adalah
peristiwa kekerasan massa yang dicatat didalam sejarah dunia.






Kekerasan memang tidak hanaya terajadi di dunia
Eropa, tetapi sering juga terjadi di Dunia ke tiaga. Indonesia adalah
salah satu contoh negara yang mempunyai tradisi kekerasan massa yang
cukup rutin .Pembunuhan masal di tahun 60-an terhadap anggota PKI,
tragedi Priok dan masih basah dalam ingatan bayak orang kerusuhan yang
berbau SARA pada tanggal 13-14 mei 1998 belum juga kekerasan yang
terjadi di Sampit dan masih banyak kekerasan lainya.








Yang jadi persoalan bagi kita adalah mengapa gempa
sosial itu bisa terjadi? bagaimana kita bisa menerangkan kondisi
kondisi kekerasan massa semacam itu untuk menemukan “ struktur struktur
“ tertentu dari peristiwa yang tampaknya tak tersruktur itu.? Untuk itu
saya akan mengutip beberapa pandangan para tokoh yang menyumbangkan
teori teorinya tentang kekerasan Massa yang begitu destruktif.








“ Massa “ istilah ini banayak digunakan dalam banyak
arti dan sering tidak tepat karena mengacu pada berbagai fenomena.
Dalam ranah ini saya hanya akan mengungkapkan istilah “massa” yang
berarti massa yang tidak mengindahkan norma norma sosial yang berlaku
sehari hari. Massa yang berkaitan hanya pada situasi khusus yang
sifatnya Abnormal .Gustave le Bone ,bapak psikologi massa, mengatakan
bahwa massa itu bodoh, mudah diprovokasi, bersifat rasistits atau
singkat kata irrasoanal.






Massa menurutnya terkungkung dalam batas batas
ketidak sadaran, tunduk pada segala pengaruh,mudah diombang ambing oleh
emosi dan mudah percaya. Di dalam massa individu individu yang berbeda
memiliki ” dorongan -dorangan, nafsu-nafsu dan perasaan-perasaan yang
sangat mirip “ dan bertingkah laku sama.








Sigmund Freud ( bapak psikoanalisa ) juga mengatakan
situasi massa adalah “ regresi ke aktiviatas psikis yang
primitif…bangkitnya kembali gerombolan purba dalam diri kita,” teori
–tori itu mungkin akan berlainan dengan apa yang dikatakan toori Marxis
yang lebih melihat massa sebagai sebuah massa yang sadar kelas. Teori
Marxis tidak memandang fenomena massa sebagai ledakan emosi atau
pelampiasan naluri naluri biadab,karena aksi massa yang revolusioner
berasal dari konflik kepentingan kelas kelas atau ketidak samaan
struktural. Artinya mereka peserta aksi massa tidak bertindak melulu
karena emosi, melainkan “strategis” :mereka mengikuti
kepentingan-kepentingan kelas mereka yang bersifat objektif. Atau
dengan kata lain aksi massa mereka bersifat rasional.








Manusia yang ikut serta dalam aksi massa tidak
melulu digerakan oleh kemarahan, frustasi, agresi, kebencian atau
ketidakpuasan seperti binatang buas yang lapar. Mereka juaga tidak
murni mengikuti orientasi strategis yang melekat pada kepentingan
kepentingan mereka. Aksi massa bukanlah “ prilaku kolektif ” , juga
bukan “ akibat logis “ dari mekanisme struktural. Menurut teori
tindakan kolektif misalnya yang mendekati akis massa sebagai ”
tindakan”. Disini perilaku dibedakan secara tegas dari tindakan :
perilaku berkenaan dengan spontanitas naluriah, sementara tindakan
menyangkut kesadaran manusiawi. Dalam keadaan keadaan tertentu orang
berkumpul dan bertindak bersama diluar kerangka institusional itu untuk
mengubah sesuatu yang secara individual tak bisa mereka lakukan.








Dari teori teori diatas dapat dilihat kekerasan
massa seperti kerusuhan, penjaharan, konflik etnis, agama dan
sebagainya adalah prilaku yang sama sekali irrasional, yang tidak
mencerminkan rasa kemanusian, dalam ranah moderen sekarang konflik itu
terus terjadi bahkan kalu dibiarkan akan semakin menjadi seiring dengan
rasa dendam dan rasa akan diri dan kelompok yang merasa paling benar
terus terpelihara, krisis identitas itu juga akan semakin tumbuh
seiring dengan rasa ego akan diri yang juga bisa meletus sewaktu waktu
menjadi kekerasan massa.








Dalam tulisan ini juga saya ingin mengatakan dalam
diskursus epistemologi kekerasan massa dipandang sebagai sesuatu yang
tidak hanya regresi atau amarah suatu kelompok belaka tetapi lebih jauh
lagi merupakan sebuah kekacauan dan ketidakstabilan norma norma sosial,
dimana sebuah tatanan didobrak secara paksa dengan alasan dendam atau
dengan sengaja ingin menghancurkan tatanan sosial tersebut.





Wallahualam…………..









 



*Penulis adalah masasiswa UIN Syarif hidayatullah, Bergiat di FORMACI.( Forum Mahasiswa Ciputat ) Artikel ini pernah dimuat dalam buntetpesantren.com
2006-11-14 13:32:05

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama