Demo yang terjadi pada hari Kamis (3/7) di depan Walikota Cirebon yang mentasnamakan ribuan santri yang datang dari wilayah Cirebon terkait dengan penolakan TV Lokal Cirebon tidak melibatkan komunitas pesantren Buntet.





"Secara lembaga tidak, sebab tidak ada yang
mengajak atau meminta untuk ikut serta menolak atau berdemo. Bahkan
memberi tahu masalahnya saja tidak juga." Ungkap KH. Aris Ni'matullah
pada redaksi.

 Tidak heran para kyai di Buntet Pesantren sendiri tidak tahu-menahu
adanya demo itu sendiri. Jangankan ikutan tahu masalahnya saja tidak
mengerti. Paling-paling beberapa kyai melihat tayangan di TV atau
membaca koran masalah demo tersebut, namun tidak merasa ikut serta.

Dengan demikian komunitas belum bisa dikatakan menerima atau menlak
keberadaan TV tersebut karena masalahnya tidak jelas. "ya tidak bisa
dibilang setuju atau menolak keberadaan TV tersebut wong tidak tahu
masalahnya  jeh." komentarnya.

Namun bagi kyai muda yang akrab membina anak-anak muda Buntet dalam
berolah raga itu, menuturkan bahwa apa yang dilakukan oleh warga santri
kota dan kyainya itu merupakan aspirasi dari masyarakat. "Tentunya
aspirasi itu boleh-boleh saja dan harus didengar oleh Walikota Cirebon
selama tidak anarkis," pungkasnya.

Anti Perubahan
Seperti berita yang dilansir oleh berbagai media, banyak mengundang
komentar negatif seperti di detik.com bahkan terkesan ada anggapan
bahwa santri Cirebon itu terkesan anti perubahan bahkan dianggap santri
di Cirebon itu bodoh.

"Gimana santri-santrinya mau pinter kalo pembangunan TV lokal aja
diprotes, sholeh itu bukan membatasi ilmu pengetahuan tapi bisa
membatasi diri mana yg boleh diambil mana yg dibuang. Orang punya
inovasi dengan membuka lapangan kerja melalui pembukaan stasiun TV
Lokal ... Diminta tutup oleh masyarakat setempat. Bagaimana logikanya
orang-orang ini yach?"

Namun ketua Ansor Cirebon membantah bahwa tidak benar kalau santri
Cirebon itu anti perubahan. "Kita kan punya sebuah prinsip meskipun
secara praxis belum terlaksana sepenuhnya, yaitu Al Muhafadzotu Min
Qodimi as Sholih wal Akhdu bil Jadidi al Aslah, artinya menjaga tradisi
lama yang masih baik dan menerima/mengambil tradisi baru yang lebih
baik." ungkap lulusan S2 Antropologi Budaya UI berkomentar.

Karenanya, menurut Nuruzzman, alumni Buntet ini berpendapat bahwa jika
televisi itu membawa perubahan yang baik tentu kita terima namun bila
ternyata malah merusak ya tentu wajar kalau warga Cirebon dan
sekitarnya itu menolak. "Jadi jika santri Cirebon itu menolak perubahan
itu tidak benar," pungkasnya.

Isu Kristenisasi
Namun apa yang didemo oleh para santri dari kota Cirebon itu terkait
dengan ajaran kristenisasi yang menggunakan televisi sebagai medianya.
Karena mereka kemudian menolak pembangunan TV tersebut.

Dalam demo yang digelar pada bulan April lalu, Cahaya TV disegel karena
belum mengantongi izin pendirian. Koordinator lapangan, Alan Endy
Pasha, menjelaskan penyegelan itu dilakukan karena studio TV tersebut
dinilai akan menyiarkan program acara yang mengandung unsur pemurtadan.
Hal itu, dinilainya, akan dapat menimbulkan keresahan umat beragama.
''Cirebon adalah kota wali yang menjadi pusat penyebaran agama Islam di
tanah Jawa. Kami tidak rela jika Cirebon dijadikan tempat pemurtadan
dan kristenisasi,'' ujar Alan menegaskan.

Terkait kepemilikan Cahaya TV itu sendiri terungkap dalam koran
Republika, tanggal 15 April 2008 PT CT I (Cahaya TV/CTV) merupakan
stasiun TV milik Nikodemus Sudirgo, putra dari Gideon Sudirgo. Selama
ini, Gideon Sudirgo dikenal sebagai pimpinan jemaat Gratia. Atas
desakan umat Islam, aktivitas peribadatan di gedung pertemuan Gratia
juga dihentikan aparat Pemkot Cirebon pada akhir 2007-an."

Dulu TV ini juga didemo oleh massa yang tergabung dalam Gerakan Anti
Pemurtadan dan Aliran Sesat (Gapas) dan  Forum Ukhuwah Islamiyah (FUI)
se-wilayah III Cirebon.   'TV Misionaris Ini Disegel Oleh Umat Islam
Wilayah III Cirebon Karena Berpotensi Menjadi Media Pemurtadan dan
Kristenisasi'.

Terkait dengan kepemilikan oleh orang Kristen Gratia itu menurut KH.
Abbas Billy Yachsy berpendapat berbeda. "Kalau memang TV itu benar
milik penganut Kristen Gratia adanya aksi demo itu sangat wajar, karena
memang TV milik warga Muslim sendiri belum punya." ungkapnya.

Namun demikian sebuah media televisi jika dikuasai oleh kalangan agama
tertentu bukan televisi secara umum, maka itu bisa menjadi preseden
yang tidak baik bagi komunitas agama lain. Apalagi seandainya pemiliki
TV itu terkesan fanatik,  konservatif atau bahkan radikal.

Sama saja jika TV itu juga dikuasai oleh umat Islam yang radikal, maka
negara pun akan hancur. Sebab "radikal vs radikal, fanatif dan
konservatif vs fanatif dan konservatif. Jika itu terus berlanjut, maka
sentimen, pertentangan antar agama akan memicu persoalan lokal bangsa
yang lebih luas.

Karenanya menurut lulusan S3 UIN ini berpendapat dalam masalah urusan
publik yang terkait dengan keagamaan, beliau berpendapat "kita
membutuhkan pemimpin yang jangan hanya menjadi pemimpin agama saja
tetapi yang bagus adalah selain menjadi pemimpin agama juga memiliki
kemampuan sebagai pemimpin bangsa." pungkasnya. (Zal)





Post a Comment

Lebih baru Lebih lama