21st century society is all about celebrity
(Thomas C.O Guinn)
Di Indonesia, belakangan fenomena jurnalisme selebritis benar-benar sedang mengalami kebangkitan dengan tumbuhnya industri televisi swasta yang semakin memperpanjang jam tayangnya. Karenanya ada semacam keranjingan untuk memberitakan apa pun hal yang dilakukan oleh sosok yang dinamakan selebriti ini, meski, sayangnya, persaingan "industri selebritis" ini tidak disertai kreatifitas insan pertelevisiannya, karena terkesan hanya mengulang-ulang saja dengan isi yang sama. Bahkan ada kecendrungan untuk menayangkan atau membesar-besarkan hal yang remeh-temeh pola para selebriti ini. Siapakah "selebriti" itu?
Selebriti adalah suatu kategori sosiologis yang bisa dikatakan unik,
mengapa? Karena mereka dapat menjadi ekspresi diri yang pada saat yang
sama pula mampu menjadi pembangkit aspirasi bagi para konsumen,
sehingga bisa dikatakan sebagai "heroic image"sebagaimana kata Daniel
Boorstin.
Para selebriti bisa membantu dalam pembentukan identitas dari para
konsumen. Sedangkan dalam sebuah budaya konsumen, identitas menjadi
landasan sebuah aksesori. Sehingga kita dapat dengan mudah menyaksikan
para anak muda dengan gaya yang diimajinasi para selebritis itu.
Maka, tak heran, orang menjadi keranjingan untuk selalu gonta-ganti
mode, dari masalah pakaian hingga model handphone, bahkan budaya
hangout atau budaya "mengisi waktu luang" menjadi sangat booming di
kalangan anak-anak muda, malah bukan hanya anak muda. Inilah yang
kemudian melahirkan generasi yang diilhami oleh selebriti
(celebrity-inspired identity), sehingga memunculkan apa yang disebut
dengan budaya berbasiskan selebriti (celebrity-based culture).
Selebriti dalam budaya konsumen adalah sebagai agen public
relations, yang sengaja diciptakan oleh media populer, utamanya
televisi. Sehingga selebriti adalah juga sebuah pencitraan produk atau
sebuah image yang diciptakan. Media sekarang lebih senang untuk
menciptakan tokoh-tokoh, bintang-bintang, atau para selebritis
tersebut, yang kemudian lalu dapat sewaktu-waktu bisa dihempaskan
begitu saja seiring pergantian gaya atau mode yang baru. Implikasinya
apa? Jarang sekali perhatian diberikan kepada para ilmuan, sastrawan,
atau seorang pendidik, karena profesi-profesi ini tidak menghasilkan
keuntungan bagi media yang menciptakan.
Pembebasan Gaya Hidup
Apa yang saya uraiakan di atas sekadar memberikan sebuah fenomena
yang sedang terjadi. Yakni sebuah fenomena dari akibat lain mata rantai
masa yang dinamakan dengan era posmodern, yang ditandai salah satunya
dengan ciri subjektifitas individu.
Subjektifitas inilah yang kemudian menyemaikan gaya hidup seseorang.
Tak lebih dari itu, masalahnya kemudian adalah jika subjektifitas itu
lalu ditentukan oleh hegemoni kapitalis media demi meraup keuntungan.
Citra diri sengaja diciptakan untuk menyetir gaya hidup, sehingga gaya
hidup menjadi ladang eksploitasi ranah sifat-sifat kemanusiaan itu
sendiri. Pada titik ini, maka bagi sebagian orang lalu berseru untuk
menolak posmodern yang memang sengaja diciptakan dan didengungkan oleh
hegemoni kapitalisme.
Apa yang mungkin dilakukan untuk mengembalikan nilai-nilai
kemanusiaan dalam konteks persemaian gaya hidup itu? Yakni
mengembalikan gaya hidup sebagai sebuah upaya eksistensial ketimbang
sebagai alat pemenuhan pasar. Pengembalian gaya hidup sebagai upaya
eksistensial, berarti juga mengembalikan nilai-nilai kemanusiaan
kembali. Dan itu pula sebagai upaya pembebasan gaya hidup.
A gus Iswanto, alumni Buntet Pesantren Cirebon, tinggal dan belajar di Yogyakarta
Posting Komentar