sejarah Oleh: M. Zaim Nugroho


MENULIS sejarah Wahabi tidak terlepas dari negara asalanya aliran ini berasal,
yaitu Arab Saudi. Arab Saudi adalah satu-satunya negeri di mana para
ulama masih mendominasi peran perubahan masyarakat. Di negeri ini,
nasionalisme, Pan-Arabisme, Pan-Islamisme, sosialisme Islam, yang
memainkan peran di negeri-negeri Muslim lainnya, tidak punya gaung.
Satu-satunya doktrin yang ditoleransi adalah paham Wahhabiyah. Dengan
itu, Arab Saudi menjadi sebuah kerajaan yang totalitarian, tak kenal
kompromi.



Tidak mengherankan jika kerajaan Saudi memandang
nasionalisme Nasser di Mesir sebagai ancaman langsung terhadap
keberadaannya. Untuk menahan pengaruh Nasser yang makin menguat,
kerajaan Saudi mengulurkan tangannya kepada para aktivis Ikhwanul
Muslimin – tidak saja mereka yang terusir dari Mesir, tetapi juga dari
negara-negara Arab sekular lainnya seperti Syria dan Irak.

Nama
“Wahabisme” dan “Wahabi” berasal dari Muhammad ibn Abd al Wahhab
(1703-1792). Nama ini diberikan orang-orang yang berada di luar gerakan
tersebut, dan kerap kali dengan makna yang terkesan buruk. Kaum Wahabi
sendiri lebih suka istilah al-Muwahhidun atau Ahl al-Tawhid sebagai
nama kelompok mereka. Menurut Algar, penggunaan nama-nama ini
mencerminkan keinginan untuk menggunakan secara eksklusif prinsip
tawhid, yang merupakan landasan Islam itu sendiri.

Pada saat yang sama,
mereka membedakan diri dari seluruh umat Islam yang lain, yang mereka
cap telah melakukan syirik. Akan tetapi, tidak ada alasan menerima
monopoli atas prinsip tawhid tersebtu, dan karena gerakan yang menjadi
pokok pembahasan ini merupakan karya seorang manusia, yakni Muhammad b.
‘Abd al-Wahhab, maka cukup beralasan dan lazim untuk menyebut mereka
“Wahabisme” dan “kaum Wahabi” (Algar, 2003: 1-2).

Dalam sejarah
pemikiran Islam yang telah berlangsung lama dan sangat kaya, Wahabisme
tidak menempati tempat yang begitu penting. Secara intelektual gerakan
ini adalah marjinal, tetapi bernasib baik karena muncul di Semenanjung
Arab (meski di Najd, yang relatif jauh dari semenanjung itu) dan karena
itu dekat dengan Haramayn, yang secara geografis merupakan jantung
dunia Muslim.

Selain itu, dinasti Saudi, yang menjadi patron gerakan
Wahabisme, bernasib baik ketika pada abad keduapuluh mereka memperoleh
kekayaan minyak yang luar biasa, yang sebagiannya digunakan
menyebarluaskan Wahabisme. Jika tidak ada dua faktor tersebut,
Wahabisme mungkin saja hanya dicatat dalam sejarah sebagai gerakan
sektarian yang marjinal dan berumur pendek. Kedua faktor yang sama
pula, yang diperkuat dengan adanya sejumlah kesamaan dengan
kecenderungan-kecenderungan kontemporer lainnya di dunia Islam, telah
menyebabkan Wahabisme dapat bertahan lama. (Algar, 2003: 2)

Sebagai
aliran pemikiran atau sekte tersendiri, Wahabi dicirikan, khususnya
oleh para pengamat non-Muslim yang mencari deskripsi ringkas
mengenainya, sebagai kaum Sunni yang “ekstrem” atau sebagai kaum Sunni
yang “konservatif,” dengan kata-kata sifat seperti “keras” atau “ketat”
ditambahkan di belakangnya, untuk memberikan gambaran yang lebih pasti.
Namun, kalangan Sunni mengamati bahwa kaum Wahabi, sejak pertama kali
aliran mereka dikumandangkan, tidak bisa dimasukkan sebagai bagian dari
Ahl al-Sunnah wa al-Jama`ah. Hal itu karena hampir semua praktik,
tradisi dan keyakinan yang dikecam oleh Muhammad b. `Abd al-Wahhab
sudah lama diakui sebagai bagian integral dari Islam Sunni, diuraikan
dalam banyak sekali literatur dan diterima oleh sebagian besar kaum
Muslim.

Karena alasan ini, banyak ulama yang hidup pada masa ketika
Wahabisme pertama kali dikampanyekan mengecam pendukungnya sebagai
bukan bagian dari Ahl al-Sunnah wa al-Jama`ah. Bahwa sekarang Wahabisme
dipandang sebagai bagian dari Sunni, hal itu menunjukkan bahwa istilah
“Sunni” mulai memperoleh makna yang luar biasa longgar. (Algar, 2003:
2-3)

Karena ketertarikan yang ditunjukkan Muhamad b. ‘Abd al-Wahhab
pada karya-karya Ibn Taymiyah, Wahabisme senantiasa diklaim
mencerminkan kemunculan yang tertunda dari warisan Ibn Taymiyah. Klaim
ini sulit dipertahankan. Apapun pendapat orang tentang posisi atau
sikap Ibn Taymiyah, tidak diragukan bahwa ia adalah pemikir yang jauh
lebih canggih dan produktif dibandingkan dengan Muhammad b. ‘Abd
al-Wahhab. Lebih dari itu, perbedaan kunci antara kedua orang ini
adalah: kendati Ibn Taymiyah menentang aspek-aspek tertentu Sufisme
pada zamannya yang ia pandang keliru atau menyimpang, ia tidak menolak
Sufisme secara keseluruhan. Ia sendiri adalah pelopor tarikat
Qadiriyyah. Sebaliknya, Muhammad b. ‘Abd al-Wahhab menolak tasawuf
secara lebih luas, akar maupun cabangnya, bukan hanya manifestasi
tertentu tasawuf. (Algar, 9-10)


Ekspansi Wahabi

Wahhabisme atau
Wahhabiyah diambil dari Syeikh Muhammad ibn `Abd al-Wahhab (1703-1792),
pendiri gerakan puritanisme keagamaan di Semenanjung Arabia yang pada
akhirnya berujung pada pembentukan negara Islam Arab Saudi. Ia
dilahirkan pada tahun 1703 di Uyaina, sebuah kota yang sekarang ini
sudah tidak ada lagi, di wilayah Najd, Arabia. Ia memperoleh pendidikan
agama, dan pernah belajar di Madinah. Ia kemudian berkelana ke
mana-mana, berkunjung dan belajar ke tempat-tempat seperti Syria, Irak,
Kurdistan, dan Persia. Ketika kembali ke Arabia, ia mulai mengajarkan
bentuk Islam yang puritan, yang menyerukan kaum Muslim untuk kembali
kepada dasar-dasar Islam seperti yang dikemukakan dalam al-Qur’an dan
hadis, tentunya sebagaimana yang ia sendiri pahami dan tafsirkan.

Pada
sekitar tahun 1777, ia tinggal di Dariyah, Arabia, dan di sana ibn
al-Wahhab menjadi “pemimpin spiritual” keluarga besar Sa`ud. Pada masa
itu, klan Sa`ud adalah sebuah kelompok pembesar atau elite lokal yang
sedang berusaha untuk memperluas pengaruh dan wewenang. Wahhab lalu
menandatangani semacam “perjanjian kerja sama” dengan Muhammad ibn
Sa`ud, pemimpin klan di atas. Ibn al-Wahhab dan pengikut-pengikutnya
akan mendukung upaya-upaya keluarga ibn al-Sa`ud untuk memperluas
pengaruh dan wewenang mereka, dan keluarga al-Sa`ud – sebagai
konpensasinya – akan menyebarkan versi Islam Wahhabi yang puritan itu.
Tentang pertemuan keduanya di Oasis Dir`iyyah. Menurut Abu Hakimah, salah satu penulis sejarah ibn al-Wahhab:

Muhammad
ibn Sa`ud menyambut Muhammad ibn al-Wahhab dan berkata, “Oasis ini
milikmu, dan jangan takut kepada musuh-musuhmu. Dengan nama Allah,
bahkan jika semua [orang] Najd dipanggil untuk menyingkirkan kamu, kami
tidak akan pernah setuju untuk mengusirmu.” Muhammad ibn `Abd al-Wahhab
menjawab, “Anda adalah pemimpin mereka yang menetap di sini dan Anda
adalah seorang yang bijak. Saya ingin Anda menyatakan sumpah Anda
kepada saya bahwa Anda akan melaksanakan jihad (perang suci) terhadap
orang-orang kafir. Sebagai imbalannya, Anda akan menjadi imam, pemimpin
masyarakat Muslim, dan saya akan menjadi pemimpin dalam masalah-masalah
keagamaan. (dikutip dalam al-Rasheed, 2002: 17).

Dengan
terbentuknya koalisi antara Ibn Sa`ud dan `Abd al-Wahhab, Wahhabiyah
menjadi ideologi keagamaan bagi suatu unifikasi antarsuku di Arabia
Tengah dan apa yang dapat disebut sebagai gerakan Wahhabiyah pun
dimulai. Sebagai imam kembar gerakan Wahhabiyah, Ibn Sa`ud dan `Abd
al-Wahhab menjadi pemimpin spiritual dan temporal wilayah itu.
Banyak
deskripsi mengenai keberhasilan ekspansi Wahhabi-Saudi yang awal
menekankan fakta bahwa raid sejalan dengan praktik-praktik kesukuan
yang dominan kala itu. Sekalipun mengandung kebenaran, hal ini
menyepelekan pentingnya dimensi spiritual koalisi itu, yang menjadi
daya tarik sedikitnya bagi sebagian pengikut Wahhabi yang awal. Selain
keuntungan material, Wahhabisme juga menawarkan penyelamatan bukan saja
di dunia ini, melainkan juga di akhirat kelak. Menurut sejarawan Madawi
al-Rasheed (2002: 20), al-Wahhab membawa sesuatu yang baru, yakni
pentingnya tawhid, ke dalam tradisi keislaman Najd yang sebelumnya
didominasi fiqh.

Mereka dengan sengaja mengaitkan gerakan mereka
dengan kaum Khawarij, kelompok puritan dan ekstremis pertama dalam
sejarah Islam, dan seperti kelompok pendahulunya yang fanatik itu,
mereka memfokuskan kemarahan mereka pertama-tama ke dalam, untuk
menghancurkan apa yang mereka pandang sebagai sebab-sebab kemunduran
kaum Muslim. Karena itu, mereka mulai memerangi suku-suku yang ada di
sekeliling mereka dan memaksa suku-suku tersebut untuk mengikuti versi
Islam mereka.

Di bawah kepemimpinan militer `Abd al-`Aziz, anak
Muhammad ibn Sa`ud, mereka mulai ekspansi mereka ke Riyadh, Kharj, dan
Qasim di wilayah Arabia Tengah pada 1792. Setelah berhasil menduduki
wilayah itu, mereka melanjutkan ekspansi ke timur ke Hasa, dan
menghancurkan kekuasaan Banu Khalid di wilayah itu. Para pengikut
Syi`ah di kawasan ini, yang jumlahnya cukup banyak, dipaksa untuk
menyerah dan mengikuti Wahhabisme atau dibunuh. Lalu, ekspansi
dilanjutkan ke Teluk Persia dan Oman: Qatar mengakui kekuasaan
Saud-Wahhabi pada 1797, dan Bahrain menyusul tak lama kemudian. Mereka
semua diwajibkan untuk membayar zakat ke Dir`iyyah.

Ekspansi awal
Wahhabi-Saudi yang menentukan berlangsung ke barat, khususnya ke Hijaz,
di mana dua kota suci Islam, Mekkah dan Madinah, berada. Dalam ekspansi
ini mereka berhadapan dengan otoritas keagamaan yang lain, yakni Syarif
Mekkah, yang memperoleh legitimasinya dari Khalifah Turki Usmani.
Terlepas dari upaya keras orang-orang Hijaz untuk bertahan, koalisi
Wahhabi-Saud berhasil memantapkan hegemoni mereka di Ta’if pada 1802,
Mekkah pada 1803, dan Madinah setahun kemudian. Setelah kemenangan itu,
para ulama Wahhabi memerintahkan penghancuran kubah yang ada di
makam-makam Nabi Muhammad dan para sahabatnya di Madinah.

Kemenangan
di Hijaz mendorong koalisi Wahhabi-Sa`ud untuk meneruskan ekspansi ke
wilayah selatan ke `Asir, di mana para pemimpin lokalnya segera memeluk
Wahhabisme dan ikut serta dalam ekspansi selanjutnya ke Yaman. Kuatnya
pertahanan orang-orang Yaman, ditambah dengan kondisi geografis yang
kurang dikuasai pasukan Wahhabi, membuat Yaman tidak berhasil
ditundukkan sepenuhnya.

Ekspansi lain mencapai ladang subur
Mesopotamia, sekaligus mengancam bagian-bagian penting daerah kekuasaan
Turki Usmani, Pada 1802, di hari suci `Asyura, mereka melabrak tembok
Karbala dan membunuh 2.000-an pengikut Syi`ah yang sedang bersehbahyang
sambil merayakan Muharram. Dengan kemarahan yang tak terkontrol, mereka
menghancurkan makam-makam Ali, Husayn, imam-imam Syi`ah, dan khususnya
kepada makam puteri Nabi, Fatimah.

Pada tahun 1803-1804, pasukan
Wahabi juga menyerbu Mekkah dan Medinah. Mereka membunuh syekh dan
orang awam yang tidak bersedia masuk Wahabi. Perhiasan dan perabotan
yang mahal dan indah – yang disumbangkan oleh banyak raja dan pangeran
dari seluruh dunia Islam untuk memperindah banyak makam wali di seputar
Mekkah dan Madinah, makam Nabi, dan Masjidil Haram – dicuri dan
dibagi-bagi. Pada 1804, Mekkah jatuh ke tangah Wahabi. Dunia Islam
guncang, lebih-lebih karena mendengar kabar bahwa makam nabi telah
dinodai dan dijarah, rute jamaah haji ditutup, dan segala bentuk
peribadatan yang tidak sejalan dengan praktik Wahabi dilarang (Allen,
2006: 64).

Abd al-Aziz, yang setelah kematian Muhammad ibn Abd
al-Wahhab memegang dua gelar amir dan imam sekaligus, wafat pada 1806.
Ia dibunuh ketika sedang sembahyang di masjid Dir`iyyah. Pembunuhnya
adalah pengikut Syiah dari Karbala yang memburunya dalam rangka
membalas dendam terhadap perbuatan pasukan Wahabi di Karbala. Ia
digantikan oleh putranya, Sa`ud ibn Sa`ud yang berkuasa sampai 1814,
yang digantikan putranya bernama Abdullah ibn Sa`ud.

Reaksi Konstantinopel
Dominasi
Wahabi di tanah suci juga menjadi tantangan langsung terhadap otoritas
Khalifah di Turki. Beberapa kali serangan dilancarkan oleh Khalifah
dari Baghdad tetapi gagal. Muhammad Ali Pasya, wazir atau wakil
Khalifah di Mesir, diserahi tanggungjawab mengambil alih Hijaz dan
tanah suci dan mengembalikannya kepada Khalifah sebagai khadimul
haramayn. Setelah gagal di tahun 1811, pada 1812 pasukan kekhalifahan
Usmani dari Mesir tersebut berhasil menduduki Madinah. Pada tahun 1815,
kembali pasukan dari Mesir menyerbu Riyadh, Mekkah, dan Jeddah. Kali
ini pasukan Wahhabi kucar-kacir.

Ibrahim Pasya, putra sang
penguasa Mesir, datang dengan kekuatan sekitar 8000 pasukan kavaleri
dan infantri dari Mesir, Albania, dan Turki. Ibrahim menawarkan enam
keping perak untuk setiap kepala pengikut Wahabi yang berhasil dibunuh.
Di akhir pertempuran, lapangan di depan markasnya berdiri piramida
kepala pengikut Wahhabi. Pada 1818, pertahanan terakhir Wahabi yang
dipimpin Abdullah ibn Sa`ud di Dir`iyyah diserbu dan setelah beberapa
bulan dikepung, mereka menyerah.

Ibrahim Pasya mengumpulkan semua
ulama Wahabi yang bisa didapat, kira-kira lima ratusan ulama, dan
menggiring mereka ke masjid besar. Di sana, selama tiga hari, ia
memimpin debat keagamaan dalam rangka meyakinkan ulama Wahabi bahwa
ajaran mereka sesat. Di akhir hari keempat, kesabarannya habis dan ia
memerintahkan pengawalnya supaya membunuh mereka sehingga masjid
Dir`iyyah, dalam kata-kata pengelana William Palgrave, ‘menjadi kuburan
berdarah teologi Wahabi.’

Abdullah ibn Sa`ud sendiri beserta
beberapa anggota keluarganya ditawan dan dibawa ke Kairo dan kemudian
ke Konstantinopel. Di ibukota Khilafah Usmani itu dia dipermalukan,
diarak keliling kota di tengah cemoohan penonton selama tiga hari.
Kemudian kepalanya dipenggal dan tubuhnya dipertontonkan kepada
kerumunan yang marah. Sisa-sisa keluarga Sa`udi-Wahabi menjadi tawanan
di Kairo.

Kehancuran Wahabi disambut gembira di banyak negeri
Muslim. Seorang ulama mazhab Hanafi bernama Muhammad Amin ibn Abidin
yang hidup di awal abad XIX mengatakan, “Ia mengaku pengikut mazhab
Hanbali, tapi dalam pemikirannya hanya dia saja yang Muslim dan semua
orang lain adalah musyrik. Ia mengatakan bahwa membunuh Ahlussunnah
adalah halal, sampai akhirnya Allah menghancurkannya pada tahun 1233
Hijriah (1818) melalui pasukan Muslim.” (Allen, 2006: 68).

Demikianlah,
fase pertama aliansi Wahabi-Saudi, yang juga dikenal dengan Negara
Saudi I, berhenti secara brutal, sekejam serbuan dan penaklukan yang
mereka lakukan sejak aliansi terbentuk. (Bersambung)

Zaim Nugroho, keluarga dari Buntet Pesantren, Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah. Kini aktif di salah satu Lembaga Penelitian Pemilu.


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama