Oleh : Nuning Mumarisal Haq
Kita sedang membicarakan masalah yang tidak kecil, yakni mengenai
bagaimana kita harus hidup. Kata Socrates, seperti dilaporkan Plato dalam
Republic (sekitar 390 S.M). Ungkapan ini menarik untuk dibahas terkait dengan pandangan terhadap filsafat moral secara umum. Artinya, bagaimana orang umum (bukan agamawan) memandang moralitas.
1. Persolan definisi
Filsafat moral adalah upaya untuk
mensistematisasikan pengetahuan tentang hakikat moralitas dan apa yang dituntut
dari kita --- meminjam kata kata Socrates, tentang "bagaimana
seharusnya kita hidup" dan mengapa demikian. Maka akan sangat berguna
jikalau kita dapat memulainya dengan sebuah definisi yang sederhana dan tidak
kontroversial mengenai moralitas.Tetapi ternyata tidak mungkin demikian sebab
akan muncul definisi pesaing, dimana masing masing mengutarakan konsep yang
berbeda mengenai apa artinya hidup secara moral itu. Parahnya, definisi
yang melampaui rumusan Socrates yang sederhana itu akan saling menyerang satu
sama lain.
Hal ini membuat kita harus berhati-hati, namun
tidak perlu sampai melumpuhkan kita.saya akan coba mengutarakan apa yang saya sebut dengan istilah "konsepsi
minimum"dari moralitas.sebagaimana tampak dari rumusan ini konsepsi
minimum merupakan pokok yang bisa diterima oleh setiap teori moral, paling
tidak sebagai titik tolak.kita akan mulai dengan secara agak mendetail sebuah
kontroversi moral.Sosok dari konsepsi minimum ini akan muncul dari pertimbangan
kita mengenai satu buah contoh di bawah ini
Contoh kasus Bayi
Theresa
Theresa Ann Campo Pearson, seorang anak penderita
rumpang (anencephaly) yang dikenal publik sebagai "bayi Theresa",
lahir di florida tahun 1992.Rumpang otak merupakan cacat bawaan yang paling
buruk.Bayi penderita rumpang otak kadang dianggap sebagai "bayi tanpa
otak" dan hal ini memberi gambaran yang kurang lebih benar, tetapi tidak
tepat.Bagian penting dari otak --- cerebrum dan cerebellum --- hilang, juga
bagian atas dari tengkorak.Namun batang otak tetap ada dan fungsi fungsi
otonomik seperti pernapasan dan detak jantung tetap berjalan.
Kisah mengenai Theresa tidak akan dikenal kalau
orang tuanya tidak mengajukan permintaan yang tidak lazim. Ketika tahu anak
mereka tidak akan hidup lama dan kalaupun dapat hidup, dia tidak akan mempunyai
kesadaran orang tua bayi Theresa kemudian merelakan organ anaknya untuk
transplantasi. Mereka berpikir ginjal, hati, jantung, paru paru dan mata Theresa
dapat disumbangkan untuk anak anak lain, yang dapat memanfaatkannya.
Kemudian para
dokter sepaham, hal ini sebagai sesuatu yang baik. Paling sedikit 2000 anak
memerlukan transplantasi setiap tahunnya dan organ yang bisa digunakan tidak
pernah cukup. Meskipun demikian, organ-organ ini tidak juga diambil karena
hukum di Florida tidak memperbolehkan pengambilan organ-organ kalau si pemberi
belum meninggal. Ketika bayi Theresa meninggal, 9 hari kemudian saat itu sudah
terlambat bagi anak anak lain. Organ-organ
itu tidak dapat ditransplantasikan lagi karena sudah rusak.
Diskusi
Publik
Kisah mengenai bayi Theresa disurat kabar
menimbulkan banyak diskusi publik: Apakah bisa dibenarkan organ-organ seorang
anak, yang mengakibatkan kematiannya, demi menolong anak anak lain? Sejumlah
"etikus" profesional, yang bekerja di unversitas, rumah sakit dan
sekolah sekolah hukum, yang tugasnya memikirkan soal-soal seperti ini diundang
oleh surat kabar untuk memberi komentar. Mengherankan, tenyata hanya sedikit
dari antara mereka yang setuju dengan dokter dan orang tua anak itu. Mereka
setia pada prinsip filosofis yang menghormati waktu tepat dalam pengambilan
organ tersebut."
Tampaknya sangat mengerikan, untuk menggunakan
orang sebagai sarana bagi tujuan orang lain," katakanlah seorang dari ahli
itu dan yang lain menerangkan, "tidaklah etis membunuh dengan alasan untuk
menyelamatkan. Tidak etis pribadi A untuk menyelamatkan pribadi B." dan
yang ketiga menambahkan: "yang sesungguhnya diminta oleh orang tua anak
itu : bunuhlah bayi yang sedang sekarat ini supaya organ-organnya dapat
digunakan untuk orang lain. Waaah, permintaan semacam ini memang
mengerikan."
Apakah memang mengerikan? pendapat orang terbelah
dua. Para etikus ini berpikir begitu, sementara orang tua dan dokter dokter
tidak demikian. Akan tetapi, kita tarik lebih dari sekedar apa yang dipikirkan
orang orang. Kita ingin tahu kebenaran masalah ini apakah orang tua ini benar
atau keliru jikalau merelakan organ-organ bayinya untuk transplantasi? Jikalau
kita ingin tahu kebenaran, kita harus memiliki alasan atau argumentasi manakah
yang diberikan dari kedua pihak itu? Apakah yang dapat dikatakan untuk
membenarkan permintaan orang tua itu, atau untuk menyatakan bahwa permintaan
semacam itu keliru.
Argumentasi Keuntungan
Usulan orang tua Theresa didasarkan pada gagasan
bahwa karena Theresa segera akan meninggal, organ-organ tubuhnya tidak berguna
bagi tubuhnya. Namun anak-anak lain dapat memanfaatkan organ-organ itu. Maka
alasan mereka itu tampaknya: Kalau kita dapat mencari keuntungan dari
seseorang, tanpa merugikan yang lain, kita harus melakukannya. Transplantasi
organ-organ ini akan menguntungkan anak anak lain dan tidak merugikan bayi
Theresa. Maka kita harus melakukan transplantasi organ-organ itu.
Apakah ini benar? Tidak setiap argumen bisa
dibenarkan; dan selain mengetahui argumen mana yang dapat
diberikan untuk suatu pandangan, kita juga ingin tahu, apakah argumen argumen
itu baik. Pada umumnya argumen dianggap baik jikalau pengandaian-pengandaiannya
benar dan kesimpulanya muncul secara logis dari pengandaian itu. Dalam hal ini,
kita boleh mempertanyakan mengenai pernyataan bahwa Theresa tidak dirugikan.
Memang, dia akan meninggal namun bukankah hal suatu
keburukan? Tetapi dengan merenungkannya tampaknya jelas, dalam lingkungan yang
tragis ini, orang tuanya benar --- kehidupan buka membuatnya menjadi baik.
Hidupnya hanya menguntungkan jikalau membuatnya mampu menjalankan dan mempunyai
pikiran, perasaan, dan relasi relasi dengan orang lain --- dengan kata lain,
jikalau hal itu membuatnya memiliki kehidupan. Tanpa adanya kemungkinan untuk
hal hal demikian itu, keberadaan yang
semata-mata biologis tidak ada artinya. Oleh karenanya meskipun Theresa
dapat bertahan hidup untuk beberapa hari lagi, hal itu tidak membuatnya lebih
baik. (kita dapat membayangkan lingkungan di mana orang lain akan memperoleh
sesuatu dengan menjaga kehidupannya, tetapi hal itu tidak sama dengan demi
keuntungan Theresa).
Pada argumentasi keuntungan mengarah kepada
tindakan memberikan alasan yang kuat untuk melakukan transplantasi organ.
Bagaimanakah argumen dari sisi yang lain?
Argumentasi bahwa kita tidak boleh memperlakukan
orang lain sebagai sarana.
Para etikus yang melawan transplantasi mengajukan
dua argumen. Pertama berdasarkan gagasan bahwa kelirulah memperlakukan
orang sebagai sarana untuk tujuan orang lain. Mengambil organ-organ Theresa
berarti mempergunakan dia untuk keuntungan anak anak lain; oleh karenanya hal
itu tidak boleh dilakukan.
Apakah argumen ini benar? gagasan bahwa kita tidak
boleh "menggunakan" orang memang menarik, tetapi perlu dipertajam
karena agak kabur maksudnya. Apa arti persisnya?
"Mempergunakan orang" merupakan
pelanggaran otonomi --- kemampuan mereka untuk memberi putusan untuk dirinya
sendiri, bagaimana harus menghayati hidupnya sendiri, menuruti hasrat dan
nilai-nilai mereka sendiri. Otonomi seseorang bisa dilanggar melalui
manipulasi, kelicikan, dan penipuan. Misalnya, saya berpura-pura menjadi teman
anda hanya karena saya tertarik bertemu dengan saudara anda. Atau saya mungkin
menipu anda untuk memperoleh pinjaman. Atau saya berusaha meyakinkan anda akan
senang menghadiri konser di kota lain hanya karena saya mau anda membawa serta
saya.
Dalam setiap kasus di atas, saya menipu anda untuk
memperoleh sesuatu bagi diri saya. Otonomi juga dilanggar ketika orang dipaksa
melakukan sesuatu yang berlawanan dengan keinginan mereka. Hal ini menjelaskan
mengapa "menggunakan orang" "itu keliru. Hal itu juga menjadi
keliru karena adanya penipuan, kelicikan, atau pemaksaan.
Sedangkan mengambil organ-organ dari tubuh Theresa
tidaklah berkait dengan penipuan, kelicikan atau pemaksaan. Apakah ada arti
lain dari konsep moral selain "menggunakan dia?" tentu saja kita
menggunakan organ-organ itu untuk keuntungan seeorang yang lain. Hal semacam
ini kita lakukan dalam setiap transplantasi. Namun dalam hal ini, kita
melakukan hal itu tanpa seizinnya. Apakah hal ini keliru? jika kita melakukan
hal itu dengan berlawanan dengan kehendaknya, hal itu bisa jadi alasan keberatannya.
Karena hal itu merupakan pelanggaran otonominya. Tetapi bayi Theresa bukan lah
makhluk otonom; dia tidak mempunyai keinginan dan tidak bisa mengambil
keputusan untuk dirinya. Karena dia menderita rumpang otak.
Jika orang tidak mampu mengambil keputusan untuk
diri mereka sendiri dan yang lain harus melakukan hal itu untuknya. Ada dua
petunjuk yang masuk akal yang bisa diikuti. Pertama, kita bisa bertanya
apakah kiranya yang bisa menjadi kepentingannya yang paling baik? Jika kita
terapkan standar ini bagi bayi Theresa, tampaknya tak akan ada keberatan untuk
mengambil organ-organnya, karena sebagaimana telah kita lihat,
kepentingan-kepentingannya tidak akan dipengaruhi dengan cara apapun.Bagaimana
pun juga, dia akan segera meninggal.
Petunjuk kedua menarik bagi kesenangan pribadi
orang yang bersangkutan; Kita bisa bertanya, jika dia
dapat mengatakan kepada kita apa yag ia inginkan, apa kiranya yang akan di
katakannya? pemikiran semacam ini sering berguna ketika kita bermasalah dengan
orang yang kita tau, dia mempunyai kesenangan, namun tidak mampu
mengungkapkannya (misalnya, seorang yang mengalami koma yang memberi
tanda-tanda kemauan untuk hidup).Tetapi sayang, bayi Theresa tidak mempunyai
kesukaan apapun dan tidak akan pernah memilikinya. Maka kita tidak dapat
memperoleh petunjuk apapun darinya, bahkan dalam angan-angan. Pendek kata, kita
dibiarkan untuk melakukan apa yang kita anggap paling baik.
Argumentasi tentang kesalahan membunuh
Para etikus juga
tertarik pada prinsip bahwa membunuh seseorang untuk menyelamtkan yang lain
adalah keliru. Mengambil organ-organ Theresa berarti membunuhnya demi
menyelamatkan yang lain, kata mereka. Oleh karena itu, mengambil organ-organnya
merupakan sesuatu yang salah.
Apakah argumen ini benar? larangan membunuh tentu
saja merupakan satu dari antara aturan moral yang amat penting. Meskipun
demikian sedikit orang yang percaya bahwa membunuh selalu salah --- kebanyakan
orang yakin bahwa pengecualian kadang dapat dibenarkan. Persoalannya adalah
apakah mengambil organ Theresa harus dipandang sebagai pengecualian dari aturan
tersebut.Ada banyak alasan untuk mendukung hal ini, satu dari yang paling
penting, bahwa dia akan segera meninggal, apapun yang diusahakan, sementara
mengambil organ-organnya paling tidak akan memberikan kebaikan bagi anak-anak
yang lain.
Siapapun yang menerima hal ini akan berpandangan
pengandaian pertama dari argumen tersebut keliru. Biasanya memang salah
membunuh seseorang demi menyelamatkan yang lain, tetapi tidak selalu demikian.
Tetapi masih ada kemungkinan lain. Barangkali cara
paling baik untuk memahami keseluruhan situasi adalah memandang bayi Theresa
seolah sudah mati. Jikalau hal ini tanpaknya gila, ingat bahwa "kematian
otak" dewasa ini sangat luas diterima sebagai kriterum untuk menyatakan
secara legal telah meninggal. Ketika standar kematian otak diajukan pertam
kali, hal itu ditolak atas dasar alasan bahwa orang dapat saja mati otaknya,
sementara itu banyak hal dalam dirinya masih berlangsung --- dengan bantuan
alat-alat mekanis, jantungnya dapat terus berdetak, dia masih dapat bernafas,
dan sebagainya. Tetapi pada akhirnya kematian otak diterima dan orang menjadi
terbiasa untuk melihatnya sebagai kematian yang "Nyata". Hal ini
masuk akal karena ketika otak berhenti berfungsi, tidak ada lagi harapan untuk
kehidupan yang sadar.
Rumpang otak tidak memenuhi tuntutan teknis untuk
bisa disebut kematian otak sebagaimana ada dalam perumusan dewasa ini. Akan
tetapi definisi itu barangkali harus ditulis kembali agar rumpang otak dapat
masuk di dalamnya. Sebab bagaimana pun juga, dalam kasus tersebut kehidupan
sadar tak dapat diharapkan lagi, karena alasan bahwa ia tidak mempunyai
cerebrum atau cerebelum. Jika rumusan kematian otak dirumuskan kembali dengan
memasukkan didalamnya juga rumpang otak, kitapun menjadi terbiasa dengan
gagasan bahwa bayi-bayi yang malang ini telah mati tatkala lahir, dan karena
itu kita tidak akan beranggapan bahwa mengambil organ-organ mereka sama dengan
membunuh. Argumen bahwa membunuh selalu salah pun lantas bisa diperdebatkan.
2. Akal dan Ketidakberpihakan
Apakah yang dapat kita pelajari dari semua ini
menyangkut hakikat moralitas? Sebagai awal, kita dapat mencatat dua pokok utama
: Keputusan moral harus didukung oleh akal yang baik; moralitas menuntut
pertimbangan tak berpihak dari setiap kepentingan individual.
Moralitas dan akal
Kasus bayi Theresa dapat melibatkan emosi tinggi.
Perasaan seperti ini sering merupakan tanda dari seriusnya masalah moral dan
karenanya patut di kagumi. Tetapi perasaan kuat semacam ini juga dapat menjadi
penghambat untuk menemukan kebenaran. Jika kita merasakan emosi yang kuat
terhadap suatu isu, maka muncul dugaan bahwa kita tahu manakah kebenaran yang
sesungguhnya, bahkan tanpa harus mempertimbangkan argumentasi dari sisi lawan.
Sayang, kita tidak dapat mengandalkan perasaan-perasaan kita, betapapun kuatnya
perasaan ini. Pertama, karena mungkin hal itu irasional; semua itu bukan
apa-apa selain dari hasil kecurigaan, penekanan kepentingan diri, atau pun
pengondisian kultural. Lebih lanjut, perasaan orang yang berbeda-beda sering
menyatakan kepada mereka persis sesuatu yang justru berlawanan.
Jadi jika kita mau menemukan kebenaran, kita harus
mencoba membiarkan perasaan kita dibimbing sejauh mungkin oleh akal budi, atau
argumentasi, yang bisa diberikan untuk melawan pandangan pandangan itu.
Moralitas, pertama-tama dan terutama merupakan soal yang bertautan dengan akal;
hal yang secara moral benar untuk dilakukan, dalam lingkup dari apapun juga,
ditentukan oleh alasan-alasan terbaik yang ada untuk melakukannya.
Hal yang demikian ini tidak hanya berlaku untuk
lingkup pandangan moral yang sempit, melainkan merupakan tuntutan umum dari
logika yang harus diterima oleh setiap orang tak peduli posisi mereka dalam isu
moral khusus manapun. Pokok yang dasariah boleh jadi dirumuskan dengan amat
sederhana. Andaikata seseorang berkata bahwa anda harus melakukan hal ini atau
hal itu (atau bahwa melakukan ini atau itu adalah salah), maka anda berhak
untuk bertanya mengapa anda harus melakukan hal itu (atau mengapa itu keliru),
dan jika tidak ada alasan yang baik yang diberikan, anda boleh menolak anjuran
itu sebagai sesuatu yang tak berdasar.
Denga cara demikian, keputusan keputusan moral
dibedakan dari sekedar ungkapan dari selera pribadi.
Jikalau seorang berkata "saya suka kopi," ia tidak perlu mempunyai
alasan --- dia hanya membuat suatu pernyataan mengenai dirinya, dan tak lebih
dari itu. Tak ada hal yang disebut "pembelaan secara rasional" dari
kesukaan atau ketidak sukaan orang akan kopi. Maka tak ada perbantahan mengenai
hal itu. Sejauh ini ia melaporkan dengan cermat seleranya, apa yang dikatakan sudah bisa disebut benar.
Lagipula, tak ada implikasi bahwa orang lain harus merasakan hal yang sama.
Jika setiap orang lain di dunia membenci kopi, itu pun tak ada masalah. Tapi
jika seseorang berkata bahwa suatu hal salah secara moral ia membutuhkan alasan
alasan; dan jika alasan-alasannya jernih, orang lain harus mengakui kekuatan
alasan itu. Sementara kalau ia tidak mempunyai alasan yang baik atas apa yang
ia katakan, ia hanya bikin ulah dan kita tak perlu memberikan perhatian
padanya.
Tentu saja, tidak setiap alasan yang dikemukakan merupakan alasan yang baik. Ada
juga alasan yang buruk sebagaimana ada yang
baik, dan kebanyakan dari keterampilan berpikir moral berupa
membicarakan perbedaan antara keduanya. Tetapi orang menyatakan perbedaan itu,
bagaimana kita harus menaksir argumentasinya, contoh-contoh diatas melukiskan
beberapa pokok yang relevan.
Yang pertama adalah memperoleh faktanya langsung.
Sering hal ini tidak mudah seperti kedengarannya. Salah satu sumber dari
kesukaran itu adalah "fakta"-nya kadang kadang sulit dipastikan ---
persoalannya mungkin begitu kompleks dan rumit sehingga para ahlipun tidak
sepaham mengenai fakta itu. Persoalan lainnya menyangkut kecurigaan manusiawi.
Sering kita bersedia untuk mempercayai beberapa versi dari fakta hanya karena
hal itu mendukung prekonsepsi kita. Tetapi fakta itu ada terlepas dari
keinginan kita dan pemikiran moral yang bertanggung jawab, berawal ketika kita
mencoba melihat hal hal sebagaimana adanya.
Sesudah faktanya ditetapkan, dan sejauh
dimungkinkan prinsip-prinsip moral diajukan untuk dimainkan. Dalam contoh bayi
Theresa sejumlah prinsip diajukan: bahwa kita "tidak boleh
menggunakan" orang; bahwa kita tidak boleh membunuh seseorang untuk
menyelamatkan orang lain; bahwa kita harus melakukan apa yang menguntungkan orang yang terkena tindakan
kita; bahwa setiap kehidupan itu suci; dan bahwa keliru untuk mendiskriminasikan
orang-orang cacat.
Kebanyakan argumen moral terdiri dari prinsip
prinsip yang dikenakan pada fakta dari kasus kasus khusus.
Maka pertanyaan yang paling jelas untuk diajukan adalah apakah prinsip prinsip
itu benar dan apakah digunakan secara cerdik. Tetapi hal semacam ini tidaklah mengherankan.
Penerapan metode yang sudah biasa di luar kepala tidak pernah menjadi pengganti
yang memuaskan untuk inteligensi yang kritis di wilayah manapun. Tak terkecuali
dalam pemikira moral.
Tuntutan
untuk tidak berpihak
Hampir setiap teori penting dari moralitas meliputi
pula gagasan untuk tidak berpihak. Gagasan dasarnya adalah bahwa setiap
kepentingan individual mempunyai kepentingan yang sama: dari sudut pandang
moral, tidak ada orag yang istimewa. Oleh karena itu, setiap dari kita harus
mengenal bahwa kesejahteraan orang lain sama pentingnya dengan kesejahteraan
kita. Tetapi pada saat yang sama, tuntutan untuk tidak berpihak
mengecualikan skema apapun yang mengancam anggota kelompok yang kurang
beruntung dan dianggap sebagai lebih rendah (inferior) secara moral ---
sebagaimana orang kulit hitam, kaum yahudi (di Amerika) dan lainya dalam
berbagai kesempatan telah diperlakukan secara demikian.
Tuntutan untuk tidak berpihak sangat erat kaitannya
dengan pokok bahwa putusan moral harus didukung oleh alasan alasan yang baik.
Tuntutan untuk tidak berpihak, dengan demikian, pada dasarnya tidak lain
daripada suatu penolakan terhadap sikap semena-mena dalam perlakuan terhadap
sesama. Tuntutan semacam ini menjadi aturan yang melarang kita memperlakukan
satu orang secara berbeda dari yang lain jikalau tak ada alasan yang tepat untuk melakukan hal itu. Tetapi
jika hal ini menjelaskan apa yang
keliru pada rasisme, maka hal ini juga mejelaskan mengapa dalam
kasus-kasus khusus perlakuan berbeda terhadap yang lain bukan serta merta suatu
sikap rasis. Misalnya, seorang direktur film membuat sebuah film mengenai hidup
Martin Luther King, Jr. Ia tentu saja mempunyai alasan baik untuk mengecualikan
Tom Cruise, untuk peran bintang tersebut --- karena pemilihan pemain seperti
itu tidak masuk akal. Karena ada alasan yang tepat untuk itu,
"diskriminasi" sang direktur bukanlah sesuatu yangsemenamena dan
karenanya tidak bisa sikenai kritik
3. Konsepsi Minimal
Untuk Moralitas
Konsep minimum dapatlah sekarang dinyatakan dengan
pendek: moralitas, setidak-tidaknya (sebeli-belie tah red J ),
merupakan usaha untuk membimbing tindakan seseorang dengan akal, --- yakni,
untuk melakukan apa yang paling baik menurut akal, seraya memberi bobot yang
sama menyangkut kepentingan setiap iindividu yang akn terkena oleh tindakan itu
Hal ini antara lain memberi kepada kita suatu
gambaran mengenai apa artinya menjadi pelaku moral yang sadar. Pelaku moral
yang sadar adalah seseorang yang mampu mempunyai keprihatinan, tanpa pandang
bulu kepada kepentingan setiap orang yang terkena apa yang ia lakukan; dia
dengan hati-hati menggeser fakta dan meneliti imlikasi implikasinya; dia
menerima prinsip-prinsip tingkah laku hanya setelah menyelidikinya dengan
seksama untuk memperolah kepastian bahwa prinsip prinsip itu sehat; dia mau
"mendengarkan akal bahkan juga kalau itu berarti bahwa keyakinan keyakinan
sebelumnya perlu diperbaharui. Akhirnya dia juga bersedia untuk betindak demi
hasil-hasil peryeimbangan ini.
Tentu saja, sebagaimana dapat diharapkan, tidak setiap
teori dapat menerima "minimum" ini --- namun, teori-teori yang menolak konsepsi minimum akan menemui
kesulitan-kesulitan yang berat karena menolak itu. Kebanyakan filsuf menyadari
hal ini, maka kebanyakan teori moralitas memasukkan konsepsi minimum kedalam
suatu bentuk atau bentuk yang lain. Mereka tidak setuju bukan menyangkut
minimum itu tetapi mengenai bagaimana teori-teori itu harus diperluas, dan
mungkin dimodifikasi supaya memperoleh suatu perhitungan yang sangat memuaskan.
Waallohu a’lam bishshawab. (bagaimana menurut Anda? )
Nuning Mumarisal Haq, Putri ke-5 KH. Fuad Hasyim, Mahasiswa S2 Fakultas FIlsafat dan ilmu budaya, Universitas Indonesia
Posting Komentar