![]() |
penulis (kanan) |
Mukadimah
Jalanan masih
lengang dan toko-toko belum ada satupun yang buka. Kendaraan umum belum banyak
beroperasi. Bahkan kumandang takbir tak lagi menggema. Hanya terdengar ketika
malam Idul Adha saja.
Begitulah
Maroko. Mereka, para penduduknya, menghabiskan Idul Adha dan hari-hari tasyriq
untuk berkumpul bersama keluarga tanpa melakukan aktivitas apapun di luar rumah.
Tentu berbeda sekali dengan suasana Idul Adha di Indonesia, khususnya Buntet
pesantren yang sampai hari tasyriq ketiga masih banyak orang berlalu lalang
membagikan daging kurban.
Berbicara
tentang Maroko, alhamdulillah saya diberi kesempatan untuk melanjutkan
perjalanan ngangsu kaweruh di negara tempat Sayyidi Syaikh Abu al-Abbas Ahmad
bin Muhammad al-Tijani lahir dan istirahat. Saya tinggal di kota Tangier , atau
dalam bahasa Arab, Tanjah, dan mondok di Muassasah Imam Nafie. Untuk menyampaikan
salam rindu kepada Buntet, saya akan menceritakan sedikit perjalanan tersebut.
Maroko adalah
salah satu negara di ujung Utara Afrika. Negara ini dikelilingi Samudra
Atlantik, Laut Mediterania dan Selat Giblatar. Maroko merupakan salah satu
negara di Benua Afrika yang mempunyai empat musim. Jadi, di kota-kota tertentu
kita dapat menemukan salju turun ketika musim dingin tiba.
Berbeda dengan
tetangga-tetangganya, kebudayaan Maroko sudah bercampur antara kebudayaan Arab,
Eropa, dan Berber. Agama resmi
dan mayoritas di Maroko adalah Islam dengan mengamalkan mazhab Maliki dan
beraqidah Asy’ariyah. Mereka berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Arab atau disebut juga Darija. Selain itu,
bahasa Berber dan bahasa Prancis juga banyak digunakan. Hal tersebut dikarenakan Maroko merupakan
tanah bekas jajahan Prancis.
Pertama kali
tiba di sini, saya sangat senang sekaligus aneh. Senang bisa tiba di negeri
orang dengan selamat. Aneh karena saat datang itu musim gugur. Jam tujuh belum
Maghrib. Malah baru saja Asar.
Dinginnya suhu
di sini membuat siapapun enggan menyentuh air. Masyarakat di sini jarang mandi.
Biasanya seminggu sekali. Ada juga yang menggunakan air panas di rumah. Ada pula
yang pergi ke hammam, tempat pemandian air panas umum. Meskipun menggunakan
air hangat, sangat tidak dianjurkan mandi sering-sering. Pakaian pun harus
berlapis-lapis, kaos manset, sweater, gamis dan jaket atau coat. Celananya khusus
yang bagian dalamnya berbulu. Keluar harus menggunakan boots. Di rumah,
mereka bisa menggunakan kaos kaki rajut dan sepatu rumahan berbulu.
Di sini banyak
anjing liar. Suatu ketika, Maghrib sudah mendekati akhir. Eh, saya kena jilatan
binatang yang dianggap najis oleh Syafiiyah itu. Karena sudah mepet, akhirnya
bekas jilatan yang kering itu tak saya cuci, dibiarkan dan langsung
melaksanakan wudlu dilanjutkan salat. Anjing tidak najis dalam mazhab Maliki.
![]() |
Penulis (kiri) |
Ziarah
Sejarah dan Menyantap Kuliner
“Traveling—it
leaves you speechless, then turns you into a storyteller”
Ingat quotes tersebut? Ya, Ibnu Batutah
pemiliknya. Untuk yang gemar jalan-jalan, Maroko menawarkan keindahan bangunan,
gurun, dan benteng yang indah. Bahkan ada kota yang memang dikondisikan sebagai
kota pariwisata seperti Fez dan Marrakech. Di Fez, kita dapat merasakan suasana
Maroko kuno dan menyambangi pabrik pengrajin kulit, sovenir dan karpet-karpet
yang banyak diekspor. Kita juga dapat berkunjung ke Masjid Qurowiyin dan universitasnya
yang masuk kategori perguruan tinggi tertua di dunia. Qurowiyin ini dibangun
oleh seorang tokoh wanita bernama Fatimah Fihriyah. Di kota inilah Syaikh
Tijani beristirahat. Kita dapat menziarahinya dan kita juga dibolehkan
melantunkan tahlil.
Adapun Marrakech menawarkan
kemegahan istana-istana peninggalan Raja, melihat bangunan kota yang berwarna
merah dan mengunjungi pasar malam jami’ Lfna. Laiknya di Cirebon, selain kita travelling,
kita dapat sekaligus berziarah ke makam para wali, seperti Sab’aturrijal di Marakech.
Tonjah menyajikan Gua Hercules,
tempat persembunyian Hercules dari Bizantium. Kota ini menawarkan satu hal yang
tidak bakal ditemui di belahan dunia manapun. Tentu kita ingat betul dengan
Surat Ar-Rahman ayat 19-20, maraja al-bahrain yaltaqiyan, baynahuma
barzaghun laa yabghiyan. Ya, di kota inilah, Multaqol Bahrain,
tempat bertemunya dua laut yang berbeda warnanya dan tidak bisa bercampur, itu
berada. Seperti dua kota di atas, kita juga bisa berziarah ke Ibnu Batutah,
Ibnu Ajibah dan Syaikh Ghomari.
Lalu bagaimana dengan kuliner?
Maroko memang tidak sekaya Indonesia dalam urusan ini. Namun, ada beberapa masakan
yang patut dicoba. Pada dasarnya, Maroko merupakan negara yang memegang adat
sangat kuat. Pun dalam urusan makanan. Ketika berbuka puasa misalnya, kita
tidak akan menemukan hidangan makanan berbuka seperti umumnya. Tetapi, kita
hanya disajikan harira, sop atau masyrubat yang terbuat dari sayuran yang sudah
ditim dan dihaluskan serta halawiyat, kue kering yang rasanya sangat manis dan
wangi. Baru setelah tarawih, kita dapat menyantap makanan seperti umumnya.
Roti dan lauk pauk seperti tajin (sebut
saja empal gentong versi Maroko), lubiya, baisor dan lainnya menjadi makanan mereka
sehari-hari. Namun hanya pada hari Jumat, kita akan menyantap couscous (nasi jagung
bertoping kismis), ayam bumbu kuning dan sayuran yang direbus. Lalu pada pagi
hari, biasanya mereka akan sarapan dengan croisant, khubz dengan amlou, selai
kacang, dan tidak lupa attai bina’na’, teh dengan daun mint.
Menuai Pelajaran dari Budaya Maroko
Banyak pengalaman unik yang saya
temui sepanjang satu tahun di sini. Namun saya lebih berkesan untuk menceritakan
hal itu dalam proses pembelajaran khususnya dalam menghafalkan Al-quran. Di
sini, mereka akan mengaji di lembaga khusus untuk menghafalkan Al-quran atau di
masjid-masjid kepada ustadz/ustadzah.
Mereka akan memulai menghafalkan
dengan menulis ayat demi ayat di atas kayu dengan memakai pena dari kayu yang
dirumcingkan dan mangsi sebagai tintanya. Mereka menyebutnya dengan menulis di
atas lauh. Kemudian mereka akan membaca berulang-ulang dan
menghafalkannya sambil duduk dan menggerakkan badannya maju mundur dengan suara
lantang. Mereka tidak akan menyetorkan hafalan sebelum lancar, karena guru
mereka tidak akan segan untuk memukul memakai kayu jika hafalannya nggratul-nggratul.
Meskipun mereka masih berusia 6 atau 7 tahun.
Mereka mengaji menggunakan toriqoh
dengan riwayat dan membagi Alquran berdasarkan hizb bukan juz. Satu juz sendiri
adalah 2 hizb, maka 30 juz adalah 60 hizb. Dalam penulisannya, mereka mempunyai
jenis khot tersendiri. Sampai saat ini, saya masih kesulitan membacanya.
Orang Arab keras bukan hal yang
aneh bagi kita. Ternyata itu semua berasal dari didikan keras sejak kecil.
Memukul kepala anak kecil atau nempeleng bukanlah hal yang tabu di sini.
Menendang pantat atau bahkan menyeret badan mereka ketika bermalas-malasan sah
saja dilakukan oleh orang tua atau bahkan orang lain sekalipun. Jadi sudah tak
lagi asing di telinga, jika mendengar orang-orang saling berteriak mengumpat di
jalanan. Atau taksi yang tiba-tiba menelantarkan penumpang hanya karena gemas
dengan taksi lain yang menyerobot. Itu pula sebagian hal aneh juga berkesan
yang saya temui. Dan jika menemukan hal aneh lain, seperti tembok-tembok yang
menjadi wc umum atau lainnya katakan saja, ‘idza kunta fi al-maghrib, fa laa
tastaghrib’, jika Anda di Maroko, maka janganlah kebarat-baratan.
![]() |
Jalan Sukarno di Kota Rabat, Maroko |
Mesranya Indonesia-Maroko
Teman-teman tahu Jalan Casablanca
yang terbentang dari Tanah Abang sampai Kampung Melayu di Jakarta itu? Ya. Itulah
tanda kemesraan Indonesia dengan Maroko. Maroko pun menyimpan nama Sukarno menjadi
nama jalan di ibu kotanya, Rabat. Letaknya tidak jauh dari stasiun kereta Casa
Voyager. Pengambilan nama jalan yang diresmikan langsung oleh Raja Mohammed V
pada tahun 1960 ini bukan tanpa alasan, mengingat peran sentral Presiden
Sukarno menggalang dukungan negara-negara lain untuk mengakui kemerdekaan
Maroko yang berawal dari diadakannya Konferensi Asia Afrika (KAA) pada tahun
1955 di Bandung.
Setidaknya ada empat kekaguman
masyarakat yang saat ini dipimpin oleh Raja Mohammed VI ini terhadap Indonesia.
Pertama, karena luas negaranya. Kedua, jumlah penduduk muslimnya yang menjadi
terbanyak di dunia. Ketiga, tartilnya bacaan Alquran santri Indonesia. Mereka lebih
mementingkan hafalan tenimbang kebenaran tilawahnya. Keempat, toleransi
di tengah keberagamannya itu. Hal terakhir ini disebabkan mereka masih
berpandangan miring terhadap masyarakat non Islam yang jumlahnya tak lebih dari
satu persen di sana. Ada beberapa orang Yahudi dan Nasrani yang menjadi
pendatang di sana untuk bekerja.
Mukhtatamah
Buntet, begitulah sedikit yang bisa
saya ceritakan. Doamu sangat saya nantikan, karena bermuamalah juga melanjutkan
belajar di sini tidak melulu berkesan indah seperti ketika jalan-jalan ataupun
yang dibayangkan. Kedatangan dari teman-teman untuk belajar di sini pun saya
tunggu selalu. Dan jika ada yang ingin bertanya-tanya lebih, marhaban bi
sualikum.
Salsabila Wilhelmina Arwani Amin
Santri Muassasah Imam Nafie,
Tangier, Maroko.
Posting Komentar