Sumber : kisahmuslim.com |
Oleh : Muhammad Hamdi Turmudzi Noor
Masjid
Al-Aqsha adalah satu dari tiga masjid di mana perjalanan syar’i tidak boleh
diadakan kecuali perjalanan menuju ke tiga masjid tersebut. Rasulullah SAW
bersabda:
لَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ
مَسَاجِدَ: مَسْجِدِ الْحَرَامِ، وَمَسْجِدِي هَذَا، وَالْمَسْجِدِ الْأَقْصَى
(رواه السبعة)
Artinya: “Janganlah suatu
perjalanan diadakan kecuali ke tiga masjid; Masjid Al-Haram, masjidku ini
(Masjid Nabawi) dan Masjid Al-Aqsha.” (HR. Tujuh Ahli Hadis)[1]
Kata “Al-Aqsha” merupakan isim tafdhil dari
kata “القَصَى
(al-qasha)” yang artinya “jauh”, sehingga “Al-Aqsha” berarti “paling jauh”.
Masjid ini dinamakan demikian karena jauhnya jarak antara Masjid Al-Haram di
Mekkah dan Masjid Al-Aqsha, atau karena tidak ada masjid lagi di belakangnya,
lalu sifat ini ditetapkan menjadi namanya meskipun di kemudian hari ada banyak masjid
yang lebih jauh darinya. Boleh jadi pula yang dimaksud dengan “Al-Aqsha” adalah
“yang jauh”, bukan “yang paling jauh”. Masjid Al-Aqsha merupakan masjid paling
jauh dari penduduk Mekkah yang diagungkan dengan berziarah ke sana.[2]
Masjid Al-Aqsha dibangun oleh Nabi Ya’qub a.s.
Masjid ini juga dinamakan Bait al-Maqdis, Bait al-Muqaddas dan Masjid Iliya.[3]
Berdasarkan pendapat ini bahwa Nabi Ya’qub –yang juga bernama Isra’il-
membangun Masjid Al-Aqsha 40 tahun setelah Nabi Ibrahim dan Nabi Isma’il
membangun Masjid Al-Haram. Lalu Nabi Sulaiman a.s memperbarui Masjid Al-Aqsha
-bukan yang pertama kali membangunnya- karena jarak antara Nabi Ibrahim dan
Nabi Sulaiman lebih dari 40 tahun. Hadis yang menyatakan bahwa Nabi Sulaiman
membangunnya diarahkan ke makna ini.[4]
Imam Muslim meriwayatkan hadis dari Abu Dzar
bahwa ia bertanya kepada Rasulullah SAW:
سَأَلْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ عَنْ أَوَّلِ مَسْجِدٍ وُضِعَ فِي الْأَرْضِ؟ قَالَ "الْمَسْجِدُ
الْحَرَامُ" قُلْتُ: ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ: "الْمَسْجِدُ الْأَقْصَى"
قُلْتُ: كَمْ بَيْنَهُمَا؟ قَالَ: "أَرْبَعُونَ عَامًا، ثُمَّ الْأَرْضُ لَكَ
مَسْجِدٌ، فَحَيْثُمَا أَدْرَكَتْكَ الصَّلَاةُ فَصَلِّ"[5]
Artinya: “Aku bertanya kepada
Rasulullah SAW tentang masjid pertama yang dibangun di bumi. Beliau menjawab:
“Masjid Al-Haram”. Aku bertanya (kembali): Lalu masjid apa?, beliau menjawab: “Al-Masjid
Al-Aqsha”. Aku bertanya: Berapa jarak antara keduanya?, beliau menjawab: “40
tahun, kemudian bumi adalah masjid bagimu. Di mana pun shalat menemuimu, maka
shalatlah”. (HR. Muslim)
Pendapat lain mengatakan bahwa Masjid
Al-Aqsha dibangun pertama kali oleh Nabi Adam a.s. Ibn Hisyam (w. 213 H) menyebutkan
bahwa setelah Nabi Adam membangun Ka’bah, Allah memerintahkannya untuk berjalan
ke Bait al-Maqdis untuk membangunnya. Lalu Nabi Adam membangunnya dan beribadah
di dalamnya.[6]
Masjid Al-Aqsha adalah kompleks bangunan yang
terdiri dari 15 pintu. 10 pintu di antaranya terbuka dan 5 lainnya tertutup
sejak masa Shalahuddin Al-Ayyubi (w. 589 H/1193 M). Di dalamnya meliputi
Al-Mushalla Al-Jami’ yang disebut juga dengan “Al-Jami’ Al-Qibli” karena berada
di arah kiblat, Qubbah ash-Shakhrah (Dome of The Rock), Al-Mushalla Al-Marwani
(terletak di bagian tenggara Masjid Al-Aqsha), tembok Al-Buraq (orang Yahudi
menyebutnya “Tembok Ratapan”), dan semua bagian-bagian di dalamnya yang tidak
beratap. Luasnya mencapai 144 acre[7].
Jika 1 acre = 0,4 hektar, maka luas Masjid Al-Aqsha adalah 57,6 hektar. Sumber
lain menyebutkan bahwa luas Masjid Al-Aqsha adalah 144 KM persegi, karena 1
acre = 1000 meter persegi.[8]
Dulu, jika disebut “Masjid Al-Aqsha”, maka
yang dimaksud adalah kompleks di mana seluruh bangunan yang dikelilingi oleh
tembok itu berada. Namun sekarang, orang-orang pada umumnya menyebut Masjid
Al-Aqsha hanya pada Al-Mushalla Al-Jami’ (masjid besar yang berada di sebelah
selatan halaman Masjid Al-Aqsha), karena di tempat inilah yang sekarang
digunakan untuk shalat 5 waktu dan shalat Jum’at. Al-Mushalla Al-Jami’ dibangun
oleh Khalifah Abdul Malik bin Marwan (w. 86 H/705 M) dari Dinasti Umawiyah dan
disempurnakan oleh putranya, Al-Walid bin Abdul Malik pada tahun 705 M. Panjang
bangunan ini mencapai 80 meter dengan lebar 55 meter.[9]
Masjid Al-Aqsha merupakan kiblat pertama umat
Islam dalam shalat. Rasulullah SAW bersama kaum muslimin shalat menghadap Bait
al-Maqdis selama 16 bulan sebelum turunnya ayat tentang pengalihan kiblat ke
Masjid Al-Haram.
Masjid Al-Aqsha disifati oleh Allah dalam
Al-Qur’an dengan الَّذِي بٰرَكْنَا حَوْلَهُ (yang telah Kami
berkahi sekelilingnya). Jika sekelilingnya saja dipenuhi keberkahan, maka
keberkahan di dalamnya tentu lebih banyak. Keberkahannya baik secara duniawi
dengan berupa kesuburan tanahnya, ataupun keberkahan spiritual, yakni menjadi
tempat tinggalnya para nabi, tempat ibadah mereka dan tempat turunnya wahyu dan
malaikat.[10]
Masjid ini adalah satu-satunya tempat di bumi
di mana seluruh nabi mulai dari Nabi Adam a.s sampai Nabi Muhammad SAW
berkumpul. Rasulullah SAW mengimami shalat -dengan para nabi sebagai ma’mumnya-
pada perkumpulan teragung dalam sejarah ini. Peristiwa ini terjadi pada malam
Isra’. Hal ini mengisyaratkan akan kepemimpinan umat Rasulullah SAW terhadap
Masjid Al-Aqsha sekaligus menginformasikan bahwa Rasulullah SAW mewarisi
kesucian ajaran nabi-nabi sebelumnya dan agama Islam sebagai pewaris
agama-agama sebelumnya.[11]
Di antara keutamaan Masjid Al-Aqsha lainnya adalah
shalat satu raka’at di sana sama dengan shalat seribu raka’at di masjid-masjid
lainnya selain Masjid Al-Haram di Makkah dan Masjid Nabawi di Madinah. Ibn
Majah meriwayatkan sebuah hadis:
عَنْ مَيْمُونَةَ، مَوْلَاةِ النَّبِيِّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفْتِنَا فِي
بَيْتِ الْمَقْدِسِ قَالَ: "أَرْضُ الْمَحْشَرِ وَالْمَنْشَرِ ائْتُوهُ
فَصَلُّوا فِيهِ، فَإِنَّ صَلَاةً فِيهِ كَأَلْفِ صَلَاةٍ فِي غَيْرِهِ"
قُلْتُ: أَرَأَيْتَ إِنْ لَمْ أَسْتَطِعْ أَنْ أَتَحَمَّلَ إِلَيْهِ؟ قَالَ: "فَتُهْدِي
لَهُ زَيْتًا يُسْرَجُ فِيهِ، فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَهُوَ كَمَنْ أَتَاهُ".
Artinya: “Dari Maimunah, mantan
hamba sahaya perempuan Nabi SAW, ia berkata: “Wahai Rasulullah, fatwakanlah
kepada kami tentang Bait al-Maqdis. Nabi SAW bersabda: “Tanah tempat
digiringnya dan disebarkannya manusia, maka shalatlah kalian di dalamnya,
karena sesungguhnya satu (raka’at) shalat di dalamnya seperti seribu (raka’at)
shalat di selainnya. Aku berkata: “Bagaimana menurut Anda jika aku tidak mampu
menanggung untuk pergi ke sana?”, beliau bersabda: “Engkau menghadiahkan minyak
yang digunakan untuk meneranginya. Barangsiapa yang melakukan demikian, maka ia
seperti orang yang mendatanginya.” (HR. Ibn Majah)
Orang-orang Yahudi meyakini bahwa istana Nabi
Sulaiman berada di bawah Masjid Al-Aqsha. Dalam istilah bahasa Arab, istana ini
disebut Al-Haikal Al-Maz’um (الهيكل المزعوم). Al-Haikal Al-Maz’um merupakan asas akidah Yahudi. Ia menjadi
penyebab utama bagi mereka untuk merebut Palestina, khususnya Yerusalem, dan
merobohkan Masjid Al-Aqsha.
Masjid Al-Aqsha bukan hanya situs milik
Palestina, akan tetapi ia juga milik seluruh umat Islam di dunia sejak Umar bin
Al-Khattab menerima kuncinya dan kaum muslimin berkorban dengan darah mereka di
bawah komando Shalahuddin Al-Ayyubi melawan Pasukan Salib.#
والله أعلَم
[1] Tujuh
Ahli Hadis tersebut ialah Ahmad bin Hanbal, Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud,
At-Tirmidzi, Ibn Majah dan An-Nasa’i. Matan hadits dengan redaksi
seperti di atas adalah riwayat Abu Dawud dan Ibn Majah. Al-Bukhari memiliki
redaksi matan yang berbeda dalam hadisnya nomor 1189, dan Muslim dalam
hadis nomor 1397.
[2] As-Sayyid
Muhammad bin Alawi Al-Maliki, Wahuwa Bi al-Ufuq al-A’la, Maktabah Dar
al-Jawami’ al-Kalimah, Kairo, h. 31-32.
[3] Iliya
adalah nama kuno untuk kota
Quds. Kota Quds juga dinamakan Yerusalem yang artinya “kota kedamaian”. Dalam Shahih
Muslim, Rasulullah SAW menamakan Masjid Al-Aqsha dengan “Masjid Iliya”.
[4] Ibn
Katsir, Al-Bidayah wa an-Nihayah, juz 1, Dar al-Fikr, h. 162
[5] Shahih
Muslim hadis nomor 520.
[6] Ibn
Hajar Al-Asqalani, Fath al-Bari, juz 6, Dar al-Ma’rifah, Beirut, h. 409.
[7] ‘Abd
bin Muhammad Barku, Al-Masjid al-Aqsha al-Mubarak wa al-Haikal al-Maz’um,
Damaskus, 2010, h. 31.
[8] DR.
Abdullah Ma’ruf Umar, Al-Madkhal ila Dirasah al-Masjid al-Aqsha al-Mubarak,
Dar al-‘Ilm Li al-Malayin, Beirut, 2009, h. 32.
[9] ‘Abd
bin Muhammad Barku, Al-Masjid al-Aqsha al-Mubarak wa al-Haikal al-Maz’um,
h. 32.
[10] As-Sayyid
Muhammad bin Alawi Al-Maliki, Wahuwa Bi al-Ufuq al-A’la, h. 32.
[11] DR.
Isa Al-Qadumi, Al-Masjid al-Aqsha Arba’un Ma’lumah Najhaluha, Kuwait,
2010, h. 20.
Posting Komentar