KH Ridwan Sururi mencium tangan KH Nahduddin Abbas sebagai bentuk takzim santri kepada kiainya |
Oleh : M. Aminullah RZ
“Sebagai alumni pesantren, penting bagi kita untuk tetap memegang
teguh erat prinsip-prinsip santri”
Mungkin nasehat diatas terdengar biasa, namun yang perlu ditekankan di sini adalah perilaku sebagaimana santri saat kita mondok dulu.
Dalam fase remaja, peralihan dari fase anak ke fase dewasa memang
agak sulit diatur, tak jarang perilaku-perilaku menyimpang di lingkungan saat
ini dilakukan oleh remaja, seperti halnya perkelahian, mengkonsumsi narkoba,
berpacaran, dan sebagainya. Untuk mengontrol fase tersebut, kiai di pondok
sudah membuat aturan-aturan yang ketat dan menekankan segala aktivitas dengan
spiritual yang tinggi, seperti sholat berjama’ah, dzikir, ziarah, hafalan
nadoman, dan lain-lain. Jika melanggar maka akan ditakzir guna membuat
pelakunya jera.
Pada umumnya, santri ketika sudah menjadi alumni, mencari kebebasan
setelah menjalankan dan mentaati aturan-aturan yang dibuat pondok, dan kembali
merantau untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. Ini adalah fase pencarian
jatidiri. Perbedaannya adalah sudah tidak ada kontrol lagi dari kiai. Nah ini
yang dimaksud penting agar tetap memegang teguh prinsip-prinsip santri.
Bagaimana agar kita tetap memagang teguh prinsip-prinsip santri?
Pertama yang harus dilakukan adalah sederhana saja. Layaknya aktivitas
santri di pondok, kita mesti tetap menjalankan sholat berjamaah di
masjid/mushola terdekat, berdzikir, mendaras
Alquran, bersholawat (marhabanan) setiap malam Jumat, dan ziarah ke tokoh-tokoh
masyarakat di lingkungan tempat kita tinggal.
Kedua, hindari berkawan dengan yang jauh dari akhlak santri. Kita
harus mencari jaringan alumni pesantren di mana kita tinggal guna menjaga
jalinan silaturahim. Lebih dari itu, buatlah suatu forum untuk membangun
kemajuan organisasi/komunitas alumni tersebut agar skill yang dimiliki
masing-masing santri dapat terasah dengan baik.
Hal terakhir yang tidak kalah penting, yakni tetap takzim kepada
para guru, kiai, dan orang yang lebih tua secara usia maupun keilmuan dengan
mengirim hadiah fatihah kepada mereka setiap bakda sholat. Tentu, kita juga
wajib tetap jalin komunikasi.
Sebagai bentuk takzim, kita juga dapat mengonsultasikan setiap
langkah kita apakah baik atau tidak kepada kedua orang tua, para ulama, kiai,
dan guru-guru kita di pesantren, baik melalui sambungan telfon atau sekadar
obrolan melalui media sosial. Lebih afdhol (utama) silaturahim langsung. Di
akhir pertemuan, usahakan memohon doa, “pandongane,” begitu biasanya
para santri menutup pertemuannya dengan orang tua dan kiainya.
Di era yang semakin memprihatinkan, jauh dari perilaku-perilaku
yang baik, semoga kita tetap menjadi santri yang istiqomah memegang teguh nilai-nilai
agama yang telah diajarkan oleh para kiai kita.
*Warga Buntet Pesantren yang kini menjadi pengajar di Sekolah Citra
Alam, Jagakarsa, Jakarta.
Posting Komentar