Pepnews.com |
oleh: Muhammad Hamdi Turmudzi Noor
Kata “hoaks “
belakangan ini ramai digunakan, terutama di media sosial
pada tahun-tahun politik seperti sekarang ini. Kata yang berasal dari bahasa
Inggris ini telah terdaftar dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi V
yang tersedia juga secara daring (online). Asal kata ini ditulis dengan
ejaan “hoax”, namun dalam bahasa Indonesia ditulis dengan ejaan “ks” di
belakang, sehingga menjadi “hoaks”.[1] Dalam
KBBI daring, “hoaks” diartikan dengan “berita bohong”.[2]
Penyebaran hoaks
tertuang dalam UU Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (ITE) Pasal 28 ayat (1) dan (2) berikut ini:
(1)
Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong
dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi
Elektronik.
(2)
Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi
yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu
dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan
antargolongan (SARA).
Adapun
pidananya adalah penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak 1
milyar Rupiah sebagaimana tertuang dalam Pasal 45 ayat (2) UU tersebut.
Hoaks bukanlah
persoalan yang baru muncul kekinian. Ia telah ada sejak dahulu kala. Umat nabi-nabi
sebelum Rasulullah SAW pun sudah ada yang menyebarkan hoaks. Seperti kisah
tersesatnya kaum Nabi Musa yang menyembah patung anak sapi yang dibuat oleh
As-Samiri. As-Samiri membuat berita bohong kepada Bani Isra’il dengan
mengatasnamakan Nabi Musa untuk menyesatkan mereka.
Penyebaran
hoaks juga terjadi di masa Rasulullah SAW. Abdullah bin Ubay, seorang pimpinan
munafiq, adalah orang pertama yang menyebarkan hoaks tentang perselingkungan
‘Aisyah, isteri Rasulullah SAW, dengan Shafwan bin Al-Mu’aththal. Hoaks yang
dikenal dengan hadits al-ifk ini kemudian menyebar di Madinah. Tiga orang Sahabat ikut terpengaruh
oleh hoaks tersebut dan ikut menyebarkannya. Mereka adalah Misthah bin
Utsatsah, Hamnah binti Jahsy dan Hassan bin Tsabit. Setelah turunnya firman
Allah yang menyatakan kebersihan ‘Aisyah, yakni Surat An-Nur ayat 11 sampai
ayat 26, ketiga Sahabat tersebut dikenai hukuman cambuk karena tuduhan mereka
kepada ‘Aisyah.[3]
Lalu bagaimana pandangan
ulama terdahulu mengenai hoaks? Tulisan singkat ini ingin mengungkapkan
pandangan Imam Al-Ghazali mengenai hoaks. Penulis memilih Imam Al-Ghazali (w.
505 H/1111 M), karena pengaruh beliau yang besar bagi pemikiran Islam. Tidak
hanya pengaruhnya dalam tasawwuf dan filsafat, karya-karya beliau dalam bidang
fiqh dan ushul fiqh pun sangat memengaruhi ulama-ulama generasi berikutnya,
khususnya kalangan Syafi’iyah.
Salah satu
karya Imam Al-Ghazali yang sangat populer dan fenomenal adalah Ihya’ ‘Ulumiddin
(إحياء علومِ الدين) -dengan dibaca kasrah huruf Mim-nya. Bukan
‘Ulumuddin (dengan dhammah), sebagaimana yang banyak ditulis-.
Dalam kitabnya
tersebut, Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa keburukan lisan sangatlah banyak.
Setidaknya mencapai dua puluh keburukan. Tidak ada cara untuk selamat dari keburukannya
kecuali dengan diam. Salah satunya adalah debat kusir. Luqman berkata kepada
puteranya, “janganlah engkau mendebat para ulama yang bisa membuat mereka
membencimu”.
Ada sementara
orang yang suka berkomentar negatif setiap perkataan seseorang tertentu. Ini
merupakan salah satu keburukan lisan yang diperingatkan oleh Imam Al-Ghazali. Mengomentari
perkataan orang lain dengan mencoba membeberkan kekeliruan di dalamnya, baik kekeliruan
dari sisi redaksi kalimatnya, kekeliruan dalam maknanya atau kekeliruan arah
perkataan orang tersebut, adalah salah satu yang harus dihindari.
Menghindarinya adalah dengan cara tidak mengomentarinya. Imam Al-Ghazali
menegaskan bahwa setiap pembicaraan yang didengar, jika itu sebuah fakta, maka
percayalah. Tetapi jika itu hoaks atau batil dan tidak ada kaitannya dengan
urusan agama, maka diamlah.
Di antara keburukan
dari lisan adalah berbohong di dalam ucapan ataupun dalam bersumpah. Menyebarkan
hoaks termasuk berbohong. Imam Al-Ghazali mengatakan berbohong termasuk dosa
yang hina dan aib yang keji. Nabi Isa as bersabda: “Barangsiapa yang banyak
berbohong, maka hilanglah ketampanannya dan barangsiapa menantang para tokoh,
maka hilanglah muru’ah (kejantanan)nya”.
Abu Bakr
Ash-Shiddiq di dalam khutbahnya berkata, “Takutlah kalian akan berbohong,
karena sesungguhnya berbohong adalah bersama kejahatan. Keduanya berada di
neraka.” Rasulullah SAW bersabda:
Artinya: “Sebuah
pengkhianatan besar jika engkau mengabarkan kepada saudaramu sebuah kabar yang
ia mempercayaimu, sedangkan engkau berdusta kepadanya.”
Rasulullah SAW
juga bersabda:
Artinya:
“Celakalah bagi orang yang berbicara lalu ia berdusta untuk membuat kaum
tertawa dengan dustanya itu. Celakalah baginya, celakalah baginya.”
Bersambung ...
*Penulis adalah warga Buntet Pesantren
[1]http://nasional.kompas.com/read/2017/02/28/13203281/kata.hoaks.dan.meme.sudah.tercatat.di.kamus.bahasa.indonesia, diakses tanggal 27 Februari 2018.
[3] Ibn
Katsir, Al-Bidayah wa An-Nihayah, juz 6, (Mesir: Dar Hajr, 1997),
cet.ke-1, h. 199.
[4] Hadis
ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab Al-Adab al-Mufrad, Abu
Dawud dalam Sunan-nya, dan Al-Baihaqi dalam As-Sunan al-Kubra.
Hadis ini di-dha’if-kan oleh Ibn ‘Adi. Ath-Thabrani juga
meriwayatkannya dengan sanad berbeda yang jauh lebih baik.
[5] Hadis
ini diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa’i, Ad-Darimi, Ath-Thabrani,
Al-Hakim dan Al-Baihaqi.
Posting Komentar