Oleh:
Muhammad Hamdi Turmudzi Noor*

Tidak semua kebohongan diharamkan. Ada beberapa keadaan di mana seseorang diperbolehkan untuk berbohong, bahkan wajib. Imam Al-Ghazali selanjutnya mengatakan bahwa berbicara adalah perantara untuk mencapai salah satu tujuan. Setiap tujuan terpuji yang bisa dicapai dengan jujur dan juga berbohong, maka berbohong di dalamnya adalah haram. Jika tujuan terpuji itu hanya bisa dicapai dengan berbohong, dan tidak akan dicapai jika jujur, maka berbohong di sana menjadi mubah. Berbohong menjadi wajib jika tujuannya wajib, misalnya berbohong dalam rangka melindungi nyawa atau harta orang lain yang seandainya berkata jujur, maka akan ada nyawa manusia atau harta yang hilang. Tolok ukurnya adalah jika bahaya yang ditimbulkan dari jujur lebih besar secara syari’at daripada bahaya berbohong, maka seseorang boleh berbohong. Jika ia ragu apakah tujuan yang hendak dicapai ini adalah sesuatu yang penting ataukah tidak, maka kembali kepada hukum asalnya berbohong, yakni haram.

Tujuan tersebut bisa bersifat subyektif. Karena itu, Imam Al-Ghazali mengingatkan agar semaksimal mungkin menghindarkan diri dari hoaks. Begitu pula apabila tujuan tersebut hanya untuk manfaat dirinya secara personal, tidak terkait dengan hak orang lain. Kalaupun seseorang terpaksa untuk berbohong, maka sebisa mungkin ia menggunakan kata-kata yang konotatif, atau yang bermakna ganda. Hal ini dimaksudkan agar kebohongan tidak menjadi kebiasaan dalam dirinya. Sebagaimana kisah Ibrahim bin Adham. Jika ada seseorang yang datang ke rumah Ibrahim bin Adham, sedangkan beliau tidak berkenan menemui, maka beliau berkata kepada pelayannya, “Katakan padanya, ‘carilah Ibrahim bin Adham di Masjid! Jangan kau katakan, ‘ia tidak ada di sini’!.”[1]

Penggunaan kalimat konotatif atau bermakna ganda untuk berbohong tidak diperbolehkan jika tidak urgen dan tidak perlu. Sebagaimana kisah Abdullah bin Utbah dan ayahnya yang menemui Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Abdullah bin Utbah mengenakan baju yang bagus. Setelah selesai, ia pun keluar. Orang-orang membicarakan bajunya. Mereka berkata, “Amirul Mu’minin memakaikan baju ini kepadamu”. Abdullah berkata, “Semoga Allah membalas kebaikan Amirul Mu’minin”. Ayahnya berkata, “Wahai anakku, takutlah berbohong dan yang semisalnya”. Ayahnya melarang demikian, karena ucapan anaknya itu mengandung pengakuan bohong bahwa baju itu memang dipakaikan oleh Sang Khalifah dan ada tujuan berbangga diri.

Menurut Imam Al-Ghazali, tujuan hoaks yang paling banyak terjadi adalah karena mencari keutungan harta dan jabatan. Hoaks karena tujuan tersebut haram hukumnya. Boleh jadi hoaks seperti itu banyak terjadi di masa beliau atau masa sebelumnya. Di masa sekarang, hoaks dengan tujuan mencari keuntungan finansial atau meraih kekuasaan pun masih banyak terjadi.

Pada bab lainnya dalam Ihya’ ‘Ulumiddin, Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa di antara bentuk hoaks adalah ucapan seorang pedagang yang memuji barang dagangannya dengan sifat-sifat yang tidak ditemukan di dalamnya, seperti berkata “barang ini yang terbaik di kota ini”, padahal kenyataannya tidak demikian. Jika pembeli percaya lalu membelinya, maka termasuk penipuan dan perbuatan aniaya. Jika pembeli tidak percaya namun mau membelinya, ucapan pedagang tadi tetaplah hoaks dan menjatuhkan integritasnya sendiri.

Apa yang disampaikan Imam Al-Ghazali tersebut bisa diimplementasikan pada masa sekarang, di mana banyak produsen mempromosikan atau menawarkan produk-produknya melalui iklan di berbagai media. Selain itu pedagang juga sama sekali tidak diperbolehkan bersumpah dengan nama Allah untuk barang dagangannya. Karena seandainya itu bohong, maka ia telah bersumpah palsu yang termasuk dosa besar. Seandainya pun itu benar, maka ia tidak beretika karena telah menjadikan nama Allah sebagai jaminan sumpahnya. Mencari keuntungan duniawi dengan menggunakan nama Allah adalah sesuatu yang rendah.[2]

Hoaks yang banyak terjadi di pasar, menurut Imam Al-Ghazali, adalah menyebutkan modal, misalnya ungkapan “Saya membeli barang ini seharga seratus ribu. Saya untung hanya lima ribu”. Jika ungkapan tersebut hoaks, maka ia menjadi fasiq.

Ada baiknya jika tulisan ini di tutup dengan sebuah hadis yang disebutkan oleh Imam Al-Ghazali dan banyak diriwayatkan oleh pakar hadis, yaitu sabda Rasulullah SAW:
ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ فَهُوَ مُنَافِقٌ، وَإِنْ صَامَ وَصَلَّى وَزَعَمَ أَنَّهُ مُسْلِمٌ: مَنْ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ.[3]
Artinya: “Tiga hal di mana siapapun yang ketiganya berada di dalam dirinya, maka ia munafik, meskipun ia puasa, shalat dan menduga bahwa ia muslim. Yakni seseorang yang apabila berbicara maka ia dusta, apabila berjanji maka ia mengingkari, dan apabila dipercaya maka ia khianat.”

(Selesai)

*Penulis adalah warga Buntet Pesantren



[1] Al-Ghazali, Al-Arba’in fi Ushul ad-Din, (Mesir, Al-Maktabah At-Tijariyah Al-Kubra, t.t), h. 72.
[2] Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulumiddin, juz 2, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, t.t), h. 75.
[3] Hadis dengan redaksi matan ini diriwayatkan oleh Ahmad, Ibn Hibban dan Al-Baihaqi.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama